Pengabdian guru di Pegunungan Menoreh saat pandemi

Kontan.co.id Pandemi Covid-19 telah membuat dunia berubah termasuk proses belajar mengajar yang dianjurkan untuk dilakukan secara daring.

Sayangnya tidak semua siswa memiliki akses internet terutama di kawasan pelosok, sehingga dibutuhkan guru yang rela mendatangi rumah para murid untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Salah satunya adalah Henricus Suroto (59 tahun), seorang guru SD Kanisius Kenalan, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sejak pandemi Covid-19 ini pihak sekolah tempat Suroto mengajar telah mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan pembelajaran daring, namun banyak siswa yang tidak bisa mengakses internet karena kondisi medan di daerah pegunungan.

Selain itu, sebagian orang tua siswa tidak memiliki gawai berbasis android sehingga tidak bisa untuk melakukan pembelajaran secara daring.

Demi berlangsungnya pendidikan untuk siswanya, Suroto mengunjungi rumah murid untuk melakukan pembelajaran tatap muka.

Meskipun melakukan pembelajaran tatap muka, Suroto tetap melakukan protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak.

Suroto menuturkan sekitar satu minggu setelah anak belajar di rumah akibat pandemi COVID-19 pada pertengahan Maret 2020, ia bersama teman-teman guru lain mengambil inisiatif untuk mendatangi rumah murid untuk belajar bersama.

Agar lebih efisien, Suroto melakukan pertemuan secara kelompok, dua hingga enam anak dalam satu dusun, untuk belajar bersama di tempat yang sudah ditentukan. Sementara untuk siswa yang terpisah jauh rumahnya, Suroto juga tetap mendatangi rumahnya.

SD Kanisius Kenalan berada di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang di Kawasan Pegunungan Menoreh yang letaknya berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga beberapa siswanya juga berasal dari Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo.

Suroto juga mendatangi murid-muridnya yang tinggal di wilayah Kabupaten Kulonprogo dengan jarak terjauh siswa yang harus didatangi sekitar 6 kilometer.

Suroto menegaskan inisiatif dirinya mengunjungi murid, bukan hanya karena susah sinyal telepon seluler, tetapi tanggung jawab sebagai guru pendamping karena pengalaman belajar secara daring kurang maksimal.

“Meski pembelajaran bisa dilakukan secara daring, tapi tidak bisa menggantikan kehadiran sosok seorang guru,” tuturnya.

Suroto merasa jerih payahnya selama ini direspon positif oleh wali murid karena anak-anak mereka yang tidak bisa melakukan pembelajaran daring dapat kembali melanjutkan proses belajarnya di era pandemi yang entah kapan akan berakhir.

Exit mobile version