Kisah Apikmen, Fesyen Etnik yang Disukai Pasar Global

Cnnindonesia.com – Berawal dari kegemaran pribadi terhadap batik dan lurik, Agus Tri Santosa tak pernah menduga bakal sukses merintis lini fesyen batik tradisional sampai menembus pasar global dengan nama Apikmen.

Agus yang mengaku mengenakan batik setiap hari sejak lama mengungkapkan, ide berbisnis muncul karena kekhawatiran di-PHK oleh kantor. Kala berjalan-jalan ke mall bersama sang istri Elva Fahrima, Agus mendapat tantangan dari salah satu toko yang dikunjungi.

“Kita waktu jalan-jalan ketemu satu toko batik di mall, mereka nawarin karena saya pakai batik, penjual itu bilang ‘kayaknya kamu memang penggemar batik, bikin saja, masukin ke sini’,” tutur Agus.

Produksi 10 potong batik yang pertama kali dilakukan pada 2011 itu ternyata habis terjual dalam waktu singkat. Agus dan Elva pun memutuskan serius mendirikan Apikmen, yang dalam bahasa Indonesia berarti bagus sekali.

Agus menjelaskan, dalam proses produksi Apikmen menggandeng lebih dari 15 perajin dari berbagai kota. Mengusung tagline etnik, seje atau berbeda dalam bahasa Indonesia, dan gaya, Apikmen tak pernah absen dari gelaran Indonesia Fashion Week sejak 2012 sampai 2016.

Tak sampai di sana, Apikmen juga berkesempatan serta dalam berbagai pameran busana etnik di luar negeri, seperti Turki, Afrika Selatan, Jepang, hingga Rusia. Agus memaparkan, sebelum berangkat pameran pihaknya melakukan riset terlebih dahulu untuk menyesuaikan produk dengan selera negara tujuan.

Elva menyebut, dirinya dan suami selalu turun tangan sendiri di setiap tahap produksi untuk mengontrol kualitas. Selain busana, Apikmen memiliki beragam produk seperti sajadah, topi, dan tas souvenir. Keunggulan Apikmen dinilai terletak pada desain tak biasa dan perpaduan warna.

Dibantu oleh delapan karyawan, Apikmen bisa meraup omzet sampai Rp40 juta per bulan. Namun seperti halnya sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lainnya yang terhantam pandemi Covid-19, Apikmen pun mengalami penurunan omzet hingga 50 persen.

Lihai membaca situasi, Agus kemudian berhenti memproduksi busana dan menggantinya sesuai kebutuhan masyarakat waktu itu, yakni masker.

“Dan alhamdullilah di awal Maret itu kan belum banyak yang bikin masker, begitu kita selesai (bikin) kita langsung (distribusi), karena memang kebutuhannya saat itu banyak,” ungkap Agus.

Lebih lanjut, ia berterima kasih kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang menggelar Program #BeliKreatifLokal. Menurut Agus, ia mendapat banyak keuntungan dari program, termasuk soal legalitas, pembukuan dan laporan keuangan, serta insentif perpajakan secara digital.

“Saya kira program ini sangat bagus, terutama buat UMKM yang tadinya gaptek (gagap teknologi) atau tidak aware dengan digital, sekarang jadi UMKM go digital,” katanya.

Dalam proses produksi, seluruh karyawan Apikmen dipastikan menerapkan protokol kesehatan. Sembilan tahun berlalu sejak kisah 10 helai batik, saat ini Apikmen telah memiliki tiga gerai di Jakarta dan Kuala Lumpur, Malaysia, serta empat toko daring di platform pasar digital dalam negeri dan Singapura. Agus bertekad untuk terus mengembangkan Apikmen, sambil memperkuat akar budaya bangsa, sekaligus memperkenalkan pada dunia dengan bangga.

Exit mobile version