Imunogenesitas Vaksin COVID-19

Pertama adalah bagaimana menentukan kriteria respons imun yang dihasilkan oleh vaksin dianggap “berhasil baik”. Idealnya hal ini didapat dengan membandingkan respon imun akibat vaksin dibandingkan dengan respon imun yang timbul secara alamiah.

Sulitnya, karena COVID-19 baru sekitar satu tahun maka sampai sekarang para ahli masih menganalisa bagaimana sebenarnya efek respons imun yang terjadi secara alamiah, sehingga angka pembanding memang belun ada secara pasti. Karena belum ada nilai pembanding yang sahih maka interpertasi hasil tentang respon imunnya terbentuk memang dapat saja menjadi ajang perbedaan pendapat para pakar.

Tantangan kedua, belum tersedianya standarisasi global secara baku tentang variasi metodologi pemeriksaan respons imun ini. Misalnya saja, ada beberapa teknik immunoassay yang mungkin digunakan untuk menilai satu saja bentuk respons imun, seperti contohnya antibodi netralisasi. Juga, mungkin ada perbedaan dalam reagen yang dipakai dan atau proses skrining yang dilakukan. Karena berbagai variasi metodologi di berbagai laboratorium di dunia maka memang belum terlalu mudah membandingkan data imunogenesitas dari berbagai vaksin COVID-19 yang ada.

Di kepustakaan memang ada laporan perbandingan imunogenesitas beberapa jenis vaksin, misalnya antara BNT162b1 dan BNT162b2 yang dipublikasi di New England Journal of Medicine 17 Desember 2020, atau pada vaksin ChAdOx1 nCoV-19 yang dibandingkan pada usia muda dan tua sebagaimana dilkaporkan pada jurnal Lancet 18 November 2020, tapi semuanya memang sudah dirancang sejak awal dengan metodologi dan teknik serta reagen yang sama, sehingga hasilnya memang dapat diperbandingkan, semacam “apple to apple”. Hal ini tidak dapat diterapkan pada uji klinik vaksin COVID-19 yang berbeda yang dilakukan dengan metodologi masing-masing yang mungkin tidak sama.

Untuk menilai imunogenesitas suatu vaksin maka para penelitian biasanya menilai dua hal, yaitu antibodi dan sel T. Secara umum antibodi dapat dinilai dalam aspeknya untuk mengikat (“binding”) dan kegiatan netralisasi (“neutralizing”). Jadi ada yang bersifat mengikat (“binding”) untuk membuat tanda (“marking”) sehingga dapat dihancurkan oleh mekanisme imun yang ada, dan ada pula yang langsung bersifat netralisasi yang langsung menghambat kemungkinan virus menginfeksi sel di tubuh manusia.

Untuk netralisasi ini seringkali digunakan kriteria berapa konsentrasi untuk dapat menetralisasi 50%, 80% atau 90% dari virus yang ada. Di pihak lain, sel T dapat mengaktifkan respon imun melalui berbagai cara. Ada beberapa jenis sel T yang berhubungan dengan COVID-19, antara lain sel T “helper” dan sel T sitotoksik. Sel T “helper” akan memproduksi semacam signal yang akan merangsang sistem imun, sementara sel T sitotoksik memang langsung mengeliminasi infeksi yang ada.

Pemahaman yang lengkap dan rinci memang amat diperlukan dalam menilai kinerja vaksin COVID-19, suatu modalitas penting dalam penanggulangan pandemi sekarang ini.

 

 

 

**Penulis adalah Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

Exit mobile version