Jadi Koboi Jalanan dan Siap Masuk Penjara?

Aksi koboi jalanan kembali marak. Pengendara mobil yang todongkan pistol dan memaki warga makin sering terjadi. Apa ancaman terberat penyalahgunaan senjata api? Siapa saja warga sipil yang boleh memiliki senjata api? Apakah ini sebuah tanda agar Polri meninjau ulang peraturan pemilikan senjata api oleh sipil ?

Jakarta – (04/4/2021). Kepolisian telah mengindentifikasi identitas pengendara mobil Toyota Fortuner yang viral karena mengacungkan sebuah senjata api di Duren Sawit, Jakarta.  Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Erwin Kurniawan enggan memberikan identitas detail pengendara Toyota Fortuner bernomor polisi B-1673-SJV tersebut. “Sudah teridentifikasi identitasnya. Yang lain dalam penanganan,” kata Erwin.

Peristiwa yang diketahui terjadi di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur, dini hari. Video yang menggambarkan kejadian itu lantas viral di media sosial. Dalam video tersebut terlihat pengendara mobil Fortuner berwarna hitam terlibat adu mulut dengan pengendara lain. Ia diduga baru saja terlibat kecelakaan dan menabrak seorang wanita yang mengendarai sepeda motor. Saat diminta berhenti ke pinggir jalan oleh pengendara lain, ia mengeluarkan senjata api dan mengacungkannya ke udara. Tak lama setelahnya ia pun langsung pergi.

Beberapa waktu lalu, masyarakat juga pernah dihebohkan dengan aksi ‘koboi jalanan’ di Jl. Alaydrus, Jakarta Pusat. Seorang pengendara BMW bernopol B 1764 PAF diketahui mengacungkan senjata api kepada pengemudi mobil Panther, setelah menutup jalan yang akan dilalui mobil mewahnya. Padahal saat itu, si pengendara BMW berupaya menyalip jalan, namun berada di jalur yang salah. Pasca kejadian tersebut, akhirnya pengemudi BMW tersebut dikabarkan ditangkap dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Dikutip dari laman Puskominfo Bid Humas Polda Metro Jaya, menyatakan, pengemudi tersebut dijerat dengan Pasal 335 KUHP perbuatan tidak menyenangkan ancaman satu sampai lima tahun penjara.

Itu hanya beberapa peristiwa penyalahgunaan senjata api. Begitu banyak kasus serupa terjadi di tanah air dan seakan boleh menggunakan senjata api untuk mengancam orang lain. Pemilik senjata api dari kalangan sipil sepertinya gemas ingin menunjukkan ego atau kekuasaannya dengan memamerkan senjata apinya. Ada apa sebenarnya dengan para pemilik senjata api ini?

Bukan Untuk Gagah-Gagahan

“Senjata api bukanlah untuk gagah-gagahan ataupun pamer kekuataan. Melainkan terbatas hanya untuk kepentingan melindungi diri dari ancaman yang membahayakan keselamatan jiwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Perkap 18/2015. Senjata api tidak bisa dimiliki sembarangan orang, dan tak bisa digunakan secara sembarangan apalagi serampangan,” kata Ketua Umum Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Beladiri Indonesia (Perikhsa) Bambang Soesatyo. Pria yang disapa Bamsoet ini mengingatkan bahwa senjata api bela diri adalah alat perlindungan diri yang mensyaratkan pemiliknya punya izin khusus. “Kepemilikan senjata api beladiri untuk masyarakat sipil diatur dengan sangat ketat. Kepemilikan tersebut bukanlah untuk gagah-gagahan dan arogansi. Melainkan dalam rangka partisipasi masyarakat untuk menciptakan rasa aman. Dan bukan sebaliknya,” ucapnya.

Bambang juga mengatakan bahwa Indonesia berbeda dengan Amerika ataupun negara lainnya yang mengizinkan perdagangan dan kepemilikan senjata api secara terbuka. “Perkap [Peraturan Kapolri] No. 18/2015 secara ketat mengatur siapa saja yang diperbolehkan memiliki dan menggunakan senjata api izin khusus bela diri,” katanya. Bambang yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menjelaskan bahwa Perkap tersebut mengatur beberapa profesi yang bisa mengajukan izin memiliki senjata api. Mereka adalah pemilik perusahaan, PNS/pegawai BUMN golongan IV-A/setara, Polri/TNI berpangkat minimal komisaris/mayor, anggota legislatif/lembaga tinggi negara/kepala daerah, serta profesi yang mendapatkan izin dari Polri.

Akan tetapi berbagai profesi itupun tidak serta merta dengan mudah dapat memperoleh izin, karena persyaratan lanjutannya amat rumit dan selektif. Pada pasal 8 tertera mereka yang memiliki senjata api harus memiliki surat keterangan dari psikolog polri, sertifikat menembak dengan klasifikasi paling rendah kelas III yang diterbitkan Sekolah Polisi Negara (SPN) atau Pusat Pendidikan (Pusdik) Polri, serta lulus wawancara Ditintelkam dan wawancara pendalaman oleh Baintelkam Polri.

Tinjaun hukum senjata api oleh warga sipil

Bahwa seorang warga sipil di Indonesia diperbolehkan untuk memiliki senjata api dengan persyaratan dan ketentuan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Senjata Api, Pendaftaran, dan Izin Pemakaian (“UU No. 8 Tahun 1948”), diatur bahwa setiap orang yang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara.

Dimana untuk setiap senjata api harus diberikan sehelai surat izin dan pihak yang berhak memberi surat izin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjuknya. Sehingga jelas, berdasarkan ketentuan pasal tersebut memperbolehkan warga sipil untuk memiliki senjata api, namun kepemilikan senjata api tersebut harus memiliki izin yang diperoleh dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia untuk Kepentingan Bela Diri (“Perkap No. 18 Tahun 2015”), jenis senjata api nonorganik Polri/TNI meliputi senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet, dan senjata api peluru gas.

Selain senjata api nonorganik Polri/TNI sebagaimana disebutkan tersebut di atas, terdapat benda-benda yang menyerupai senjata api yang dapat digunakan untuk kepentingan bela diri, yaitu berupa semprotan gas air mata dan alat kejut listrik. Pasal 8 dan Pasal 9 Perkap No. 18 Tahun 2015 mengatur tentang persyaratan untuk dapat memiliki dan/atau menggunakan senjata api nonorganik Polri/TNI untuk kepentingan bela diri seperti halnya berusia paling rendah 24 tahun, sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter Polri, memenuhi persyaratan psikologis yang dibuktikan dengan surat keterangan dari psikolog Polri, lulus wawancara terhadap questioner yang telah diisi pemohon yang dilaksanakan oleh Ditintelkam Polda dengan diterbitkan surat rekomendasi dan dapat dilakukan wawancara mendalam oleh Baintelkam Polri, dan persyaratan-persyaratan lainnya yang diwajibkan.

Pasal 11 Perkap No. 18 Tahun 2015 menyatakan bahwa jumlah senjata api nonorganik Polri/TNI yang dapat dimiliki dan digunakan oleh setiap warga negara untuk kepentingan bela diri paling banyak 2 (dua) pucuk. Bagi perorangan yang telah memiliki senjata api nonorganik Polri/TNI untuk kepentingan bela diri melebihi 2 (dua) pucuk, Pasal 28 Perkap No. 18 Tahun 2015 mengatur bahwa kelebihan senjata api tersebut wajib diserahkan untuk disimpan di gudang Polri atau dihibahkan kepada orang lain yang memenuhi persyaratan. Dalam hal pemilik tidak menyerahkan kelebihan senjata api untuk disimpan di gudang Polri atau tidak menghibahkan kepada orang lain, maka surat izin tidak dapat diterbitkan dan kepemilikan senjata api dinyatakan tidak sah.

Atas diperolehnya surat izin atas kepemilikan senjata api oleh warga sipil, Pasal 13 UU No. 8 Tahun 1948 memberikan pembatasan atau hukuman kepada pemilik senjata api yang menyalahgunakan penggunaan senjata api yaitu dengan mencabut surat izin kepemilikan senjata api, dinyatakan bahwa surat izin pemakaian senjata api (termasuk izin sementara) dapat dicabut oleh pihak yang berhak memberikannya apabila senjata api itu disalah pergunakan, dan senjata api tersebut dapat dirampas.  Hal inipun selaras dengan Pasal 29 Perkap No. 18 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa bagi pemegang surat izin senjata api nonorganik Polri/TNI untuk kepentingan bela diri yang melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan izin, menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana, wajib menyerahka senjatanya untuk disimpan di gudang Polri dan surat izin pemilikan dan kartu surat izin pengunaan senjata apinya dicabut.

Dikarenakan pada persyaratan yang diwajibkan oleh Perkap No. 18 Tahun 2015 diwajibkan bagi pemohon (pemilik senjata api) untuk membuat surat pernyataan kesanggupan tidak menyalahgunakan senjata api nonorganik Polri/TNI. Kemudian akibat dari penyalahgunaan kepemilikan senjata api, Pasal 29 ayat (3) Perkap No. 18 Tahun 2015 menyatakan bahwa bagi pemilik yang pernah terlibat tindak pidana dan/atau penyalahgunaan senjata api, tidak dapat diberikan penggantian surat izin pemilikan dan tidak dapat diberikan perpanjangan kartu surat izin penggunaan senjata api.

Untuk bela diri

Dengan penjelasan pasal-pasal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa penggunaan senjata api secara perseorangan diperbolehkan sepanjang penggunaan senjata api digunakan untuk bela diri, lalu apa yang dimaksud dengan bela diri? Di dalam perundang-undangan di Indonesia tidak secara langsung menggunakan frasa “bela diri” melainkan Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) menggunakan frasa “pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa”, dimana Pasal tersebut menyatakan bahwa tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormaan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Kemudian, pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Syarat-syarat suatu perbuatan dikategorikan sebagai pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, disebutkan 3 (tiga) syarat, yaitu:

  1. perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela), pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain, dalam hal ini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya;
  2. pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan yang disebutkan dalam Pasal 49 KUHP saja yaitu badan, kehormatan, dan barang diri sendiri atau orang lain; dan
  3. harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam pada ketika itu juga.

Atas penjelasan pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat tersebut di atas, maka dalam hal pemilik senjata api menggunakan senjata api dalam keadaan pembelaan darurat seperti yang diatur dalam Pasal 49 KUHP maka perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dan dapat dikatakan sebagai penggunaan senjata api untuk kepentingan bela diri seperti yang diatur dalam Perkap No. 18 Tahun 2015.

Hanya TNI dan Polri

Terlepas dari pasal pidana pengancaman yang bakal dijeratkan kepada pelaku, menarik untuk disimak bagaimana hukum kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil di Indonesia. Menurut pakar pidana Mudzakir, Indonesia tidak memperbolehkan warga sipil memiliki senjata api. Hanya Kepolisian dan TNI adalah dua lembaga yang boleh memiliki senjata api.

Namun, senjata api boleh dimiliki sipil jika diizinkan dengan alasan hukum seperti melindungi diri. Izin tersebut dikeluarkan oleh kepolisian dengan memenuhi syarat-syarat khusus. Misalnya syarat menguasai senjata api dan syarat psikologis. Adapun syarat kedua bertujuan untuk mendeteksi apakah personal yang mengajukan kepemilikan senjata api dapat mengendalikan emosi. Hal tersebut bertujuan agar senjata api tak digunakan secara sembarangan.“Jadi artinya apa? Syarat-syarat yang kedua ini menjadi penting. Seperti pejabat boleh memiliki senjata api dengan syarat-syarat khusus, dan syarat psikologis ini untuk mengecek kepribadian apakah dia punya psikologis membahayakan dirinya sendiri dan orang lain,” kata Mudzakkir.

Jika seseorang sudah mendapatkan izin kepemilikan senjata api, namun menggunakannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, seperti mengacungkan senjata untuk melakukan pengancaman padahal tidak dalam situasi membahayakan diri, Mudzakkir menilai izin tersebut harus ditarik kembali. Pasalnya, penggunaan senjata api tidak sesuai peruntukannya. Ini adalah tindakan penyalahgunaan izin atas kepemilikan senjata api. Selain itu, pelaku juga dapat dijerat dengan pasal pidana pengancaman.

“Penyalahgunaan senjata api itu sifatnya administratif. Tetapi jika ada tindakan lain seperti mengancam ada hukuman lain. Kalau itu sebagai pengancaman terhadap nyawa orang lain, atau terhadap kebebasan orang lain dan itu ada tindak pidana sendiri dalam KUHP. Senjata boleh digunakan apa bila terjepit dan mengancam posisi jiwanya, alasan hukum,” tambahnya.

Berdasarkan hasil penelusuran, di Indonesia penggunaan senjata api diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api serta UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen (Stbl. 1948 No.17).

Sementara itu, prosedur kepemilikan senjata api di atur dalam Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamanan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI. Dalam surat itu disebutkan lima kategori perorangan atau pejabat yang diperbolehkan memiliki senjata api yakni pejabat pemerintah, pejabat swasta, pejabat TNI/Polri, purnawirawan TNI/Polri. Adapun syarat kepemilikan senjata api yakni memiliki kemampuan atau keterampilan menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh institusi pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri, memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan, dan mengamankannya sehingga terhindar dari penyalahgunaan, serta memenuhi persyaratan berupa kondisi psikologis dan syarat medis.

Untuk Kepentingan Olahraga

Mengutip dari artikel di klinik hukumonline mengenai “Alat Pertahanan Diri Yang Boleh Digunakan di Indonesia,” terdapat juga aturan terkait kepemilikan senjata api untuk kepentingan olahraga. Hal itu diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perkapolri 8/2012 disebutkan jenis-jenis senjata api olahraga, yaitu: senjata api; pistol angin (air Pistol) dan senapan angin (air Rifle); dan airsoft gun. Senjata api tersebut digunakan untuk kepentingan olahraga (Pasal 4 ayat [2] Perkapolri 8/2012) seperti menembak sasaran atau target; menembak reaksi; dan berburu.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam. Mengenai perizinan dan pendaftaran ini juga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 Dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api (“UU 8/1948”), senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya.

Lebih lanjut, dikatakan dalam Pasal 9 UU 8/1948, setiap orang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Untuk tiap senjata api harus diberikan sehelai surat izin. Dalam hal ini yang berhak memberi surat izin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya. Selain pengaturan tersebut, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia (“Permenhan 7/2010”), untuk ekspor, impor pembelian, penjualan, produksi, pemilikan, penggunaan, penguasaan, pemuatan, pembongkaran, pengangkutan, penghibahan, peminjaman, pemusnahan senjata api standar militer dan amunisinya diperlukan izin Menteri.

Izin tersebut dapat diberikan dengan pembatasan-pembatasan tertentu sesuai tugas pokok dan fungsi kepada (Pasal 7 ayat [4] Permenhan 7/2010), yakni instansi pemerintah non Kemhan dan TNI; badan hukum nasional Indonesia tertentu; perorangan; kapal laut Indonesia; dan pesawat udara Indonesia. Kemudian berdasarkan Pasal 10 Permenhan 7/2010, perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c yaitu pejabat pemerintah tertentu; atlet menembak; dan kolektor.

Lebih Baik Dilarang

Selengkap dan sedetil itu peraturan dan pembatasan yang diberikan kepada warga sipil yang ingin memiliki senjata. Namun dibandingkan dengan manfaatnya, secara umum bisa dilihat bahwa kepemilikan senjata oleh sipil lebih banyak ekses negatif dan bahayanya. Ya, mengingat bahwa orang itu sangat dipengaruhi oleh situasi kejiwaan, emosi dan egonya yang terkadang sulit ditakar kadar kesadaran atau stabilitasnya. Maraknya unjuk pamer senjata api di depan umum, adalah bukti ekses negatif tersebut. Dan boleh jadi ini merupakan sinyal atau tanda bagi penegak hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia, mulai menggagas pelarangan total pemilikan dan penggunaan senjata api oleh warga sipil.

Mengenai kepemilikan senjata api untuk sipil ini, mantan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, dalam artikel yang berjudul ”Imparsial: Hentikan Izin Senjata Api untuk Bela Diri,” berpendapat bahwa penggunaan senjata api untuk kepentingan warga sipil seharusnya hanya diperbolehkan untuk olahraga saja.

Poengky Indarti juga berpendapat bahwa senjata api untuk olahraga ini tak boleh dikuasai oleh si atlet. Senjata tersebut harus disimpan kembali dalam gudang persenjataan yang dikontrol oleh pemerintah. ”Jadi, pada dasarnya tidak ada pengaturan khusus mengenai senjata apa yang boleh digunakan untuk melindungi diri. Yang terdapat pengaturannya adalah mengenai senjata api dan senjata api untuk kepentingan olahraga,” tegas Poengky yang kini juga menjadi salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional.

Peraturan diatas sudah sangat jelas menerangkan. Hukuman pidana yang mengikatnya pun hingga hukuman mati. Jadi bila tanpa izin khusus, sebaiknya jangan sekali-kali membawa atau menggunakannya dengan alasan apapun. Alih-alih, untuk melindungi diri dengan menjadi ”koboi jalanan” — malah hukuman penjara yang didapat. (Saf).

Exit mobile version