Hari Kartini 2021 dan Perjuangan Mengejar Kesetaraan lewat Pendidikan

Jakarta

Di Indonesia, tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng (R.A.) Kartini dikenal dengan surat-suratnya tentang emansipasi perempuan dan semangat untuk maju dengan pendidikan.

Kartini dikenal kerap berkirim surat dengan sejumlah orang di Belanda. Salah satu surat menyebut bagaimana putri bangsawan dan Bupati Jepara, Jawa Tengah ini ingin bersekolah lebih lanjut dan belajar bahasa asing untuk mempelajari pemikiran baru.

Salah satunya seperti yang diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang:

“Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

“Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! –Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak–kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

Gema kumpulan surat-surat Kartini dirasakan baik di Eropa, Asia, bahkan Amerika. Hal ini terbukti dengan diterjemahkannya buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon yang berjudul Door Duisternis tot Licht ke dalam berbagai bahasa. Hal ini disampaikan Kepala Museum Kebangkitan Nasional 2016 R. Tjahjopurnomo dalam buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Dampak dari terjemahan tersebut adalah dikenalnya gagasan Kartini dalam mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.

Kartini dan kedua saudaranya, R.A Roekmini dan R.A Kardinah dibesarkan dalam lingkungan kabupaten yang serba berkecukupan dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Kartini dimasukkan ke sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885 meskipun tradisi kaum bangsawan pada masa itu melarang keras putri-putrinya ke luar rumah, apalagi datang ke sekolah bersama anak laki-laki.

ELS merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak bangsa Eropa dan Belanda Indo. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.

Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di ELS membuat Kartini bisa meningkatkan kemampuan bahasanya.

Keberadaan Kartini di ELS menarik perhatian banyak orang karena menjadi siswa pribumi yang mampu berbahasa Belanda dengan baik.

Kemampuan tersebut diperoleh dengan cara rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda, serta mempraktikkan bahasa Belanda saat bermain dan menemui tamu bangsa Belanda yang datang ke kabupaten tempat ia tinggal.

Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.

Bacaan Kartini kian beragam seiring beranjak remaja. Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol, Kartini menceritakan bagaimana ia mempelajari pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai, dikutip dari buku Sisi Lain Kartini,

“Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri.”

Kartini dinyatakan lulus dari ELS dengan nilai cukup baik pada awal 1892. Ia berharap ayahnya yang berpikiran maju dengan menyekolahkannya di ELS akan mengizinkannya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Tetapi Bupati R.M. Sosrodiningrat, ayahnya, tidak memperbolehkan.

Kartini teringat orangtua Letsy, temannya, yang pernah menawarkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Belanda. Tetapi ia tidak diperbolehkan melanjutkan studi dan harus memasuki masa pingitan di usia menjelang 13 tahun untuk menikah.

Selama masa pingitan, Kartini dipaksa belajar menjadi putri bangsawan sejati. Ia dibiasakan berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak demi setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat, dan aturan adat lain.

Setiap pagi ia hanya bisa melihat adik-adiknya pergi ke sekolah. Kartini berusaha mengatasi kesunyian hidupnya dengan belajar sendiri, tetapi belajar tanpa guru dinilai tidak membawa manfaat.

Di masa pingitan, Kartini menikmati bacaan-bacaan yang penuh dengan pengetahuan. Bacaan tersebut membuatnya lupa akan kesedihan hidup yang harus dijalani.

Kartini kerap membuat catatan kecil berisi tema-tema yang dianggap penting di bukunya. Isi buku catatannya mencakup perilaku yang baik, pandangan hidup yang bisa dijadikan contoh, jiwa dan pemikiran besar, yang lalu dipelajari dan dipahami kembali.

Selanjutnya, Kisah Kartini yang rajin membaca dan mencatat..

Simak Video “Rayakan Hari Kartini, Erick Thohir Kenang Pesan Sang Ibu
[Gambas:Video 20detik]

Exit mobile version