Tugas pengamanan polisi menghadapi aksi-aksi buruh

Ketegasan polisi sangat diperlukan dalam menghadapi aksi-aksi buruh yang tampaknya masih akan berlanjut. Selanjutnya Polisi juga harus dapat menunjukkan apresiasi kepada mereka yang patuh. Ketegasan Polsi  tidak dapat ditawar-tawar karena ada harga yang harus dibayar bila ada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selama ini pihak kepolisian telah terlatih untuk melakukan aksi cegah dan melakukan persiapan rencana pengagaman maupun penegakan hukum ketika berhubungan degan aksi-aksi perburuhan yang tuntutannya semakin kompleks. Terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang baik antara polisi dan kaum buruh tampaknya perlu diciptakan dalam suasana demokrasi dan keterbukaan serta akuntabilitas kerja kepolisian selama ini

Jakarta, 2 Mei 2021. Hari Internasional Buruh baru saja dirayakan di seluruh dunia pada tanggal 1 Mei kemarin. Ada yang menamakannya sebagai hari Buruh Internasional, hari Buruh atau hanya dengan sebutan May Day. Untuk banyak negara, ia juga hari libur nasional dan digunakan sebesar-besarnya oleh kaum buruh untuk merayakan kemenangan buruh. Kaum buruh tampak selalu berkonvoi, beraksi dan reli turun ke jalan disertai oleh demonstrasi ditujukan kepada Pemerintah untuk menunjukkan napak tilas proses yang telah mereka lalui dalam memperjuangkan hak-hak dan nasibnya, baik yang telah maupun yang belum terlaksana. Mereka merayakannya dengan amat gegap gempita, apalagi tahun 2020 lalu, di tengah-tengah pandemi covid-19, aksi unjuk rasa tahunan mereka dilarang untuk menghentikan potensi transmisi penyebaran Covid-19 tersebut.

Pada 1 Mei 2021 lalu, kaum buruh kembali menggunakan hak-haknya sebagai warganegara, melakukan unjuk rasa secara tertib dan damai, yang berhubungan dengan rasa ketidakadilan terutama tuntutan upah yang tidak adil dan melawan prinsip hak asasi manusia di kalangan kaum buruh. Pada peringatan-peringatan,di tengah-tengah wabah Covid-19 yang masih membayangi kehidupan kelam secara global tersebut, masih diwarnai oleh aneka kericuhan di sana sini. Penangkapan-penangkapan pelaku yang ditengarai melakukan keonaran dilakukan oleh penegak hukum termasuk aparat kepolisian di banyak negara. Sebagian dituduh melakukan tindakan-tindakan anarki selama aksi protes. Beberapa kejadian bahkan dianggap bukti aksi penyusupan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu.

Di kota Paris, Perancis polisi dilaporkan telah menindak banyak orang yang melakukan protes keras membakar tempat sampah kota dalam reli perayaan Hari Buruh di kota tersebut. Menurut laporan Euronews, mereka kemudian terlibat aksi bentrokan dengan aparat kepolisian sehingga ditangkap dan diamankan. Selain seorang polisi yang terluka, personel kepolisian tidak dapat menguasai massa yang menghancurkan sebuah tempat strategis pemberhentian bis. Paling sedikit sebanyak 34 orang akhirnya harus diamankan polisi. Pihak kepolisian yang merasa kewalahan terpaksa menggunakan gas air mata dan granat pengontrol untuk berusaha memisahkan kelompok-kelompok di kalangan pendemo tersebut. Di negara Jerman, banyak pendemo Hari Buruh yang pro migran dan anti rasisme berkonvoi di jalan-jalan utama dikota-kota penting seperti kota Berlin dan kota-kota lainnya.

Di Italia, kaum buruh mengabaikan restriksi covid-19 agar dapat melakukan aksi-aksinya. Sementara di negara Spanyol, kaum buruh menuntut perlindungan atas gaji dan pengentasan masalah pengangguran yang menjadi masalah sejak pandemi Covid-19 dimulai. Pihak kepolisian di Turki juga diberitakan menangkapi 200 orang pendemo yang tetap kukuh turun ke jalan demi merayakan hari Buruh 1 Mei. Tindakan mereka dianggap salah karena telah mengabaikan restriksi ketat izin berkumpul yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya penanggulangan Covid-19 sejak tanggal 29 April lalu. Sama seperti di tempat lainnya, polisi Turki juga menyemprotkan gas air mata ke tengah-tengah kerumunan para pendemo di sana.

Masalah ekonomi dan gerakan buruh

Sejak adanya pandemi Covid-19, memang muncul masalah dan dilema untuk bagaimana menyikapi buruh dan aksi buruh. Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi masyarakat  secara global di mana kaum buruh yang tampaknya mendapat tekanan yang paling keras. Ada  puluhan bahkan ratusan juta orang di dunia yang saat ini telah kehilangan pekerjaannya dan tidak dapat membayangkan apakah pekerjaan yang mereka miliki sebelum Covid masih akan tersedia. Jumlah mereka selalu meningkat dari tahun ke tahun, dan pertengahan tahun ini pun tidak memperlihatkan tanda-tanda akan membaik.

Gelombang Pemutusan Hukuman Kerja  (PHK) menjadi fenomena global yang juga melanda Indonesia.Pada bulan April tahun 2020 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan banyaknya pengangguran di sektor formal di Indonesia. Paling tidak terdapat 1,24 juta orang yang harus dirumahkan. Belum lagi jumlah yang kehilangan pekerjaan di sektor informal. Menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), para buruh yang menganggur merupakan bagian dari sebanyak 1,25 miliar buruh di seluruh dunia yang terdampak pandemi yang kini sedang jatuh ke jurang kemiskinan yang kian dalam.

Mereka adalah orang-orang yang tadinya terserap pada sektor-sektor industri akomodasi, jasa makanan, retail maupun manufaktur yang secara masif hancur. Belajar dari pengalaman resesidi masa lalu, ahli-ahli masalah perburuhan sepakat bahwa baik Pemerintah, Serikat Pekerja maupun pemilik perusahaan mau tidak mau harus bahu-membahu bekerja kolektif guna pencarian solusi bersama mengatasi krisis ini. Khususnya  Indonesia, menurut Wakil Ketua DPD Ri Sultan Najamudin ada dua isu utama dalam agenda perjuangan kaum buruhnya, yakni penolakan mereka terhadap UU Cipta Kerja dan mengenai Upah Minimum Sektoral (UMSK).

Pemerintah diharapkan mampu menampung semua aspirasi dan mendapatkan jalan tengah yang mengakomodasi tidak saja kepentingan hak-hak buruh tapi juga segi investasi. Harapan-harapan tersebut telah antara lain disuarakan di Indonesia pada peringatan  hari Buruh 1 Mei 2021 kemarin. Ribuan kaum buruh, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain, menyuarakan rasa keprihatian mereka akibat penerapan Omnibus Law pemerintah. Acara unjuk rasa di Jakarta dipusatkan di seputar Patung Kuda, gedung MK dan kantor ILO. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) turun ke jalan dan diikuti oleh puluhan ribu buruh lain dari berbagai daerah di Indonesia. Paling tidak ada 200 kota di Indonesia yang melakukan protes di muka kantor pemerintah di daerah, pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan. Acara protes mereka pun disiarkan luas melalui platform Facebook.

Para pelaku protes melakukan Long March ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menuntut Omnibus Law (UU No 11/2020 tentang cipta kerja) klaster ketenagakerjaan dihapuskan. Mereka mengkritik atas usaha pengurangan upah, kurang ketatnya restriksi terhadap para pekerja asing dan meningkatnya jumlah buruh ‘outsourcing’ demi upaya menarik investasi di Indonesia. Pemerintah  juga  diminta agar menekankan pengusaha agar membayar penuh THR 2021, pemberlakukan kembali upah minimum sektoral kabupaten/kota pada 2021 dan mengusut tindak korupsi pada BPJS ketenagakerjaan. Presiden KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Andi Gani Nena Wea menyatakan tidak akan menurunkan massa buruh dalam jumlah besar aksi ke jalan pada hari buruh internasional guna menghindari munculnya klaster baru Covid-19 (29/4). Sebagai pengganti, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah memimpin langsung delegasi KSPSI ke gedung MK, memimpin delegasi ke istana negara menyerahkan Petisi May Day 2021. Upaya pengawalan perayaan hari buruh internasional Mayday pada Sabtu 1/5/21 dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan aparat keamanan gabungannya di beberapa titik di Jakarta. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus sebanyak 6394 personel gabungan TNI-Polri telah diterjunkan selama peringatan hari buruh kemarin, agar pengawasan dapat dijalankan secara efektif.

Tugas Polisi dan Aksi Buruh

Namun demikian, masih nyatalah bahwa hubungan antara kaum buruh dengan aparat kepolisian di Indonesia masih belum terlalu hrmonis seperti yang dihadapi di luar negeri. Selalu saja selama ini muncul berita-berita yang menganggap kepolisian masih melakukan represi terhadap kaum buruh dan aksi-aksi perburuhan yang mereka lakukan. Belum lama ini telah viral di media sosial, seorang personel kepolisian bernama Iptu Mustofa mengacungkan pistolnya kepada kelompok buruh di Deli Serdang Sumatra Utara, yang sedang menggelar aksi demo karena diberhentikan sepihak oleh pihak perusahaan. Persoalan ini kemudian mendapat perhatian besar dari pihak kepolisian karena tindakan oknum tersebut, jelas tidak sesuai prosedur penegakan hukum dan jelas menunjukkan upaya mengintimidasi buruh.

Kabid Humas Polda Sumut Kombes Belawan kemudian menjatuhkan sanksi kepada oknum polisi sekaligus ikut memonitornya. Menurut catatan polisi Indonesia  di masa lalu juga sering dilaporkan melakukan penangkapan-penangkapan yang sewenang-wenang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2015 lalu pernah membebaskan 26 aktivis dan pengurus Serikat Buruh berbagai konfederasi yang ditangkap polisi pada 30 Oktober 2015 atas tuduhan telah membuat keributan. Mereka yang ditangkap dipukuli, ditangkap, ditahan dan dihina oleh penegak hukum (kepolisian). Pihak pengadilan dengan tegas membuktikan bahwa yang bersalah adalah polisi.

Pendekatan kekerasan polisi semakin hari semakin dilihat sebagai kerja polisi yang tidak profesional dan menunjukkan pro pada penguasa namun tidak berusaha mengayomi masyarakat. Lebih jauh lagi, tindakan polisi semacam itu dianggap mengabaikan prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) dan tindakan berlebihan yang amat merugikan warga sipil. Di pihak lain, kaum buruh selalu bersikukuh mereka melakukan unjuk rasa karena tuntutan upah yang mereka ajukan sebagai refleksi kesadaran politik mereka. Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur upah menjadi dasar perjuangan mereka karena karena legal dan disahkan oleh DPR RI.

Direktur lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo menyatakan polisi memfasilitasi aksi May Day jika pesertanya buruh. Jika ada massa dari elemn lain maka dia  harus dicegah. “Supaya aksi teman-teman buruh yang memperjuangkan, tidak terkontaminasi elemen-elemen masyarakat yang tidak jelas keperluannya berupa provokasi”, jelasnya. Keputusan pihak kepolisian yang menyatakan kelompok non-buruh, termasuk mahasiswa tidak diperbolehkan ikut serta dalam perayaan hari buruh internasional, sangat disesalkan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Menurutnya, meskipun May Day adalah hari perayaan buruh, perjuangan bagi kaum buruh tetaplah menjadi perjuangan bagi setiap kalangan termasuk juga mahasiswa. Pihak kepolisian tampak mengerahkan sekelompok petugas dengan pakaian putih seperti petugas medis Covid-19. Mereka memang bagian dari pasukan yang ditugaskan mengawasi penerapan prokes di kalangan pengunjuk rasa. Dalam penggeledahan, sejumlah barang berbahaya seperti cat pilok ditemukan di lokasi demonstrasi.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusti Tunus dilaporkan menangkap 22 orang terduga anarko dalam aksi Hari Buruh 1 Mei 2021, di sekitar kantor perwakilan Internasional Labour Organization (ILO) Jakarta dekat lokasi demo buruh. Mereka dinilai tidak taat pada Undang-Undang No 9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum. “Ada indikasi mereka ingin membuat kerusuhan”  jelas Yisri  (1 Mei 2021). Polisi juga kemudian menangkapi puluhan mahasiswa dan buruh di depan gedung Bank Indonesia. 

Penegakan hukum dan aksi buruh

Sebagai bagian dari penegakan hukum, pihak kepolisian harus menghormati hak kaum buruh melakukan aksi damai dan tertib berkenan dengan peringatan Mayday maupun pada aksi-aksi perburuhan lainnya. Aturannya bahwa mereka harus membuat surat pemberitahuan untuk kesiapan penjagaan polisi. Mereka yang tidak memenuhi aturan ini dianggap melakukan kegiatan ilegal. Agar mampu mengantisipasi lebih kuat, biasanya penjagaan keamanan aksi buruh merupakan kombinasi personel gabungan, termasuk dengan pihak TNI maupun Pemda. Personel polisi di lapangan juga dapat sewaktu-waktu diperbanyak jumlahnya.

Pihak kepolisian pada dasarnya perlu menciptakan situasi yang kondusif agar potensi kericuhan dapat sebesar-besarnya dihindari.  Selama ada aksi damai tidak perlu dilakukan aksi-aksi represi. Aparat kepolisian selalu dituntut jeli mencari penyebab-penyebab utama terjadinya kekisruhan seperti aksi-aksi pembakaran-pembakaran atau jenis-jenis sikap provokatif lainnya. Pihak kepolisian perlu mempertimbangkan secara hati-hati bila aksi-aksi mereka dipusatkan di obyek-obyek vital atau tempat-tempat strategis untuk massa aksi berkumpul.

Tantangan yang paling besar sebenarnya berkenaan dengan pandemi covid. Resiko penularan akibat kerumunan manusia yang besar dapat sangat kontra produktif dengan usaha-usaha Pemerintah melawan transmisi covid-19 selama ini. Melihat pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 di India, betapa berbahayanya transmisi di antara masyarakat akibat kelengahan Pemerintah dan aparat menyikap kerumunan di dalam masyarakat. Saat ini ada sekitar 300 ribu kasus Covid-19 positif di India, belum lagi jumlah yang ribuan yang meninggal setiap harinya. Hal ini cukup meresahkan negara-negara lainnya termasuk Indonesia.

Pihak polisi menekankan bahwa dengan adanya semangat demokrasi di Indonesia berarti acara unjuk rasa atau aksi-aksi buruh lainnya tidak dilarang asalkan aturan prokes tidak lupa dipatuhi. Adalah sesuatu yang amat riskan bila aksi unjuk rasa tidak terkelola baik karena dampaknya akan fatal. Mau tidak mau, semua pihak yang terlibat harus menaati prokes kesehatan untuk melawan covid-19, seperti penggunaan masker, tindakan selalu menjaga jarak dan penggunaan sanitasi yang diperlukan. “Kami sudah sampaikan imbauan prokokol kesehatan, ada aturan perundang-undangan, akan tegas melakukan penindakan apalagi ada pelanggaran protokol kesehatan,” jelas Yusri Yunus di Mapolda Metro Jaya (30/4/2021). Ketegasan polisi sangatlah diperlukan dalam menghadapi aksi-aksi buruh yang tampaknya masih akan berlanjut. Selanjutnya polisi juga harus dapat menunjukkan apresiasi kepada masyarakat yang patuh selama melakukan aksinya.

Ketegasan polisi tidak dapat ditawar-tawar karena ada harga yang harus dibayar bila ada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selama ini pihak kepolisian telah terlatih melakukan aksi cegah dan melakukan persiapan rencana pengamanan maupun penegakan hukum ketika berhubungan dengan aksi-aksi perburuhan dengan tuntutannya semakin kompleks. Terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang baik antara polisi dan kaum buruh tampaknya perlu diciptakan dalam suasana demokrasi dan keterbukaan serta dalam konteks segi akuntabilitas kerja kepolisian selama ini. (ISK – dari berbagai sumber)

Exit mobile version