Dana Bansos Dikorupsi, Polri Siap Tangkap Dan Tindak Pelaku

Polri menyatakan terdapat 127 kasus-kasus berkaitan dengan dana bansos COVID-19 yang ditindak oleh Korps Bhayangkara dalam 100 hari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjabat. Diketahui, dana bansos tersebut merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) warga yang terdampak pandemi COVID-19. “Data yang ada bahwa dari kegiatan pemulihan ekonomi nasional, ada 127 penindakan dana bansos di seluruh Indonesia,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono dalam konferensi pers 100 hari kinerja Kapolri, Senin (17/4/2021). Seberapa banyak penyelewengan dana bansos yang dikorupsi? Bagaimana Polri mengungkapnya? Apa motif penyelewenagannya? Apa pencegahannya agar tak dikorupsi?

Jakarta, 31 Mei 2021 – Argo mengungkapkan selain perkara dana bansos, polisi juga menangani 25 kasus-kasus berkaitan dengan asuransi dan investasi. Lalu, terdapat 42 kasus terkait harga bahan pokok, serta 36 lainnya terkait dengan non-bahan pokok. Lebih lanjut, kata Argo, kepolisian juga telah menindak dua kasus perindustrian dan 15 kasus lain terkait perlindungan konsumen. Hanya saja, Argo tak merinci lebih lanjut mengenai detail perkara masing-masing kasus.”Ini sudah kami lakukan untuk berkaitan dengan pemulihan ekonomi nasional (PEN),” tambah Argo. Dana program PEN sendiri merupakan anggaran yang digelontorkan pemerintah di tengah situasi pandemi COVID-19. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mencatat realisasi dana tersebut telah mencapai Rp172,35 triliun atau 24,6 persen per 11 Mei 2021. Capaian itu naik dari realisasi per 16 April lalu sebesar Rp134,07 triliun atau 19,2 persen dari total pagu Rp699,43 triliun. “Realisasi dana PEN sudah direalisasikan sampai 11 Mei itu Rp172,35 triliun atau 24,6 persen dari pagu,” papar Airlangga dalam konferensi pers Senin (17/5/2021).

Berikutnya Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2020, Polri menerima 107 aduan dugaan penyelewengan bantuan sosial atau bansos COVID-19. Ratusan pengaduan itu diterima oleh 21 Kepolisian Daerah yang tersebar di wilayah Indonesia.“Ada sebanyak 107 kasus penyelewengan bansos yang masuk laporan ke 21 polda di Indonesia,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam diskusi bertajuk Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020 secara daring, Ahad, 18 April 2021. Wana menuturkan dari 107 kasus yang masuk, hanya 84 kasus yang masuk ke tahap penyelidikan. Sementara sebanyak 6 kasus dihentikan penyelidikannya dan 6 kasus dilimpahkan ke Aparatur Pengawas Internal Pemerintah. Ia mengatakan laporan penyelewengan bansos paling banyak ditemukan di Sumatera Utara yaitu 31 kasus. Dari jumlah itu, polisi menghentikan penyelidikan 6 laporan dan melimpahkan 2 kasus ke APIP. Di peringkat kedua, terdapat Polda Jawa Barat yang menyelidiki 13 laporan dugaan penyelewengan bansos COVID-19, menghentikan 1 kasus dan melimpahkan lima dugaan penyelewengan kasus ke APIP.

Wana mengatakan dari keseluruhan kasus, hanya empat kasus yang proses hukumnya naik ke tingkat penyidikan. Dia mempertanyakan alasan sedikitnya kasus bansos yang masuk ke tahap penyidikan tersebut. “Pertanyaannya progresnya bagaimana untuk yang lain. Ini perlu disampaikan secara transparan, sehingga proses penanganan perkaranya dapat diawasi publik,” ujar dia.

Banyaknya Kasus Dugaan Penyelewengan Bansos

Setahun lalu, Satgas Khusus Pengawasan Dana COVID-19 Mabes Polri mencatat ada 102 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial atau bansos penanganan COVID-19 di seluruh Indonesia. “Data yang diterima, terdapat 102 kasus penyelewengan bantuan sosial. Kasus-kasus tersebut ditangani di 20 Polda,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono, Senin (27 Juli 2020). Rinciannya, Kepolisian Daerah Sumatera Utara 38 kasus, Kepolisian Daerah Jawa Barat 18 kasus, Kepolisian Daerah Riau tujuh kasus. Kemudian Polda Jatim dan Polda Sulawesi Selatan masing-masing empat kasus, Polda Sulawesi Tengah, Polda Nusa Tenggara Timur, dan Polda Banten menangani masing-masing tiga kasus.

Polda Sumsel, Polda Maluku Utara masing-masing dua kasus, kemudian Polda Kalimantan Tengah, Polda Kepri, Polda Sulawesi Barat, Polda Sumatera Barat, Polda Kalimantan Tenggara, Polda Lampung, Polda Papua Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Polda Papua masing-masing menangani satu kasus. Berdasarkan hasil penyelidikan, ada beberapa penyalahgunaan bantuan sosial itu. Seperti, pemotongan dana oleh perangkat desa dengan maksud asas keadilan bagi mereka yang tidak menerima. Motif lainnya pemotongan dana untuk uang lelah, pengurangan timbangan paket sembako, dan terakhir adalah tidak ada transparansi kepada masyarakat terkait sistem pembagian dan dana yang diterima.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK memperkenalkan fitur aplikasi Jaga Bansos. Aplikasi ini menyediakan segala informasi sekaligus menampung laporan penyelewengan dan penyimpangan terkait bantuan sosial atau bansos. “Di samping fitur yang sudah ada, seperti sektor pendidikan, anggaran, perizinan, dan sebagainya, Jaga Bansos dibentuk khusus untuk menghadapi pandemi Covid-19,” ujar Humam Faiq, Tim JAGA Bansos KPK, pada acara “Buka-Bukaan Soal Dana Bansos” yang diselenggarakan Auriga Nusantara secara virtual, Selasa, 28 Juli 2020. Secara umum, menurutnya, terdapat empat sektor yang berpotensi dikorupsi lewat bansos. “Yaitu Pengadaan barang dan jasa, filantropi, penganggaran, dan penyaluran bansos,” ujarnya. Sejauh ini telah ada 842 keluhan yang masuk terkait bantuan sosial dan 227 diantaranya telah diterima oleh pemerintah daerah. Ia berharap aplikasi ini dapat berguna bagi masyarakat dan pemerintah.“Siapa sih yang merasakan manfaat dari aplikasi JAGA? Yaitu masyarakat miskin atau yang tidak mampu terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial,” ujarnya.

Tiga Masalah Penyaluran Bansos

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjabarkan tiga masalah penyaluran bantuan sosial tunai dan bantuan langsung tunai desa yang terjadi selama ini. “Presiden menginstruksikan ke Menko PMK, Mensos dan Mendes untuk mempercepat penyaluran bansos. Kami sudah menelaah, ada 3 masalah yang harus diurai dan sudah diurai,” ujar Muhadjir dalam konferensi pers seusai Rapat Terbatas dengan Presiden di Jakarta, Selasa (5/1/2021). Muhadjir mengatakan persoalan pertama, yakni ketersediaan dana yang akan disalurkan. Dalam masalah ketersediaan dana ini, untuk Kementerian Sosial tidak mengalami masalah, karena dana sudah ada di Kemensos. Uang tersebut juga sudah dialihkan ke akun PT Pos yang akan menyalurkan dana ke keluarga penerima manfaat sehingga memotong prosedur. “Selama ini PT Pos ke Ditjen terkait, sekarang siap disalurkan, pertanggungjawabannya belakangan,” katanya.

Sementara itu, dana desa yang disalurkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi masih memiliki kendala. Dia mengatakan terdapat 53.156 desa yang sudah menerima dana atau 79 persen, sedangkan sisanya 21.797 belum menerima dana. Dari 53.156 desa yang sudah menerima dana, baru 12.829 desa yang sudah menyalurkan dananya kepada keluarga penerima manfaat. Persoalan kedua, terkait data penerima bansos. Untuk Kemensos, basis data berasal dari data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Kini dana tersebut juga harus disalurkan ke non-DTKS, maka dilakukan penghimpunan data dari RT/RW. Persoalan menjadi rumit lantaran penghimpunan data memerlukan penanganan khusus. Persoalan ketiga, yakni terkait delivery system. Menurut Muhadjir, data penerima bantuan yang dihimpun RT/RW harus diverifikasi di tingkat kabupaten/kota, sehingga menyebabkan prosedur berbelit. Akhirnya pemerintah menyepakati data RT/RW tidak perlu diverifikasi di kabupaten/kota, setidaknya pada pembagian putaran pertama.

Pengawalan Ketat

Guna mencegah terjadinya penyimpangan sosial, Presiden telah menginstruksikan agar dilakukan pengawalan oleh Babinsa serta Bhabinkamtibmas atas penyaluran bantuan tersebut.

Pemerintah memperketat pengawasan bansos pada tahun 2021 dalam bentuk tunai maupun nontunai melalui transfer bank untuk mencegah terjadinya penyelewengan dana oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Menko PMK Muhadjir Effendy memastikan bahwa pemerintah telah memiliki mekanisme kontrol yang melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat. “Presiden Joko Widodo sudah mengundang para gubernur seluruh Indonesia dan meminta kepala daerah, baik gubernur, bupati, wali kota agar aktif melakukan pengawasan, pengendalian terhadap penyaluran bansos,” katanya.

Muhadjir menekankan pentingnya peranan aktif masyarakat untuk lebih berani melapor apabila terjadi penyimpangan seperti mengalami pemotongan sejumlah dana bansos dari yang sudah ditetapkan pemerintah. Ia menyebut besaran dana bantuan sosial tunai (BST) sebesar Rp300 ribu per bulan. Dana tersebut diperuntukkan bagi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama empat bulan mulai Januari hingga April 2021. “Presiden sudah mewanti-wanti tidak ada pemotongan dana bansos, termasuk biaya transaksi di bank tidak ada. Begitu uang masuk ke bank harus segera dimasukkan ke rekening mereka yang berhak dan diberitahu supaya segera diambil,” katanya. Selain ditransfer melalui bank yang masuk kategori Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), kata dia, dana BST juga akan diantarkan langsung oleh para petugas PT Pos Indonesia ke rumah masing-masing penerima manfaat. Khususnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah dengan akses perbankan yang sulit dijangkau. “Misalnya kalau daerah itu tidak ada akses bank, maka PT Pos akan mengantar ‘door to door’ langsung. Penerima difoto, dimasukkan ‘data based’ kemudian jadi bukti bahwa uang itu telah diterima kepada yang berhak,” kata Menko PMK.

Ia pun menjelaskan pemerintah sudah melakukan pemetaan terhadap penerima manfaat baik secara geospasial maupun kondisi sosial ekonomi. Sehingga demikian, dipastikan bantuan sosial dapat diterima tepat sasaran.”Pengalaman tahun lalu akan terus kita benahi dan nanti akan kita bentuk desk untuk memastikan agar uang itu segera sampai kepada mereka-mereka yang berhak,” kata Muhadjir Effendy.

Pelajaran Mahal Korupsi Bansos

Kasus penyelewenagan atau korupsi dana bansos sesungguhnya bukan perkara yang sederhana. Di sana ada sejumlah lapisan yang bermain dengan anggaran superjumbo, Rp 129 triliun (khusus penanganan dampak COVID-19 di Kemensos). Setelah mantan Mensos Juliari dan PPK, ada para vendor, lalu agen dan subagen yang bermain pada taraf penyediaan barang. Bahkan, salah satu subagen pernah bercerita, ada orang besar yang mem-back up mereka sehingga semua sudah terkaveling. Jika KPK merilis korupsi Mensos Juliari Rp 17 miliar dengan menguntit fee Rp 10 ribu per paket sembako, angka itu baru di permukaan dan pada periode tertentu. 

Pada April tahun lalu, Pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin merespons cepat dampak pandemi COVID-19 yang menyerang Indonesia sejak Maret 2020. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdampak pada hilangnya pekerjaan bagi jutaan orang. Angka kemiskinan sudah pasti melonjak. Namun, yang paling dikhawatirkan adalah kepanikan massal. Jadilah pemerintah melalui Kemensos membuat skema peredaman dengan program bansos. 

Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tetap diberikan. Namun, angka penerima ditingkatkan dari 9,2 juta menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) untuk program PKH. Untuk BPNT, ditingkatkan dari 15 juta menjadi 20 juta KPM. Sedangkan, untuk bansos khusus pandemi COVID-19, ada 10 juta KPM PKH. Kemudian, Bansos BPNT kepada 9 juta KPM. Paket bansos Covid-19 disebarkan khusus wilayah Jabodetabek sejak April hingga akhir tahun. Kemudian, diikuti daerah yang lain. Meluasnya bansos ini membuat pemerintah dua kali merevisi pagu anggaran Kemensos 2020. Dari pagu indikatif sebesar Rp 62,8 triliun, meningkat menjadi Rp 124 triliun, dan terakhir Rp 134,008 triliun. Dari jumlah itu, Rp 129 triliun hanya difokuskan untuk penanganan dampak Covid-19. 

Sementara, KPK sejak awal telah mengendus berbagai masalah dalam program tersebut yang menjurus pada korupsi. Pada Oktober lalu, KPK mengakui telah mengawasi program sembako sejak 2018 bersama pihak-pihak terkait. Ada 96 juta data orang miskin yang dipakai pemerintah dalam program sosial. Data ini diinput dari daerah hingga tahun 2015. Saat data itu akan dipakai untuk penambahan bantuan khusus COVID-19, masih ada 16 juta yang belum dapat dipastikan siapa orangnya.  Menurut KPK, masih ada sekitar 16 juta dari 96 juta itu NIK-nya tidak ada. Maka tida diketahui apakah orangnya ada apa tidak nih. Parahnya, dari data 96 juta orang miskin itu, terdapat anggota TNI, Polri, Asisten Sipil Negara (ASN) dan orang yang tergolong kaya. Selama ini, pemerintah mengambil 20 juta orang termiskin dari 96 juta warga tergolong miskin untuk program bantuan reguler. Setelah pandemi, pemerintah ingin mengambil sampai 50 juta orang, artinya tambah 30 juta orang termiskin dari data 96 juta orang.

Sedangkan program mau dilanjutkan lagi putaran kedua dengan data tersebut, maka dapat dipastikan beberapa salah sasaran. Artinya orang terdaftar orangnya tidak ada, yang terdaftar orangnya tidak miskin dan yang miskin tidak terdata.nPada putaran pertama, KPK telah mengingatkan supaya data tersebut diupdate sebelum penyaluran tahap kedua. Sementara, per Oktober, ada sekitar 1.400 orang yang mengadukan masalah bansos ke KPK.  Pada APBN 2021, perlindungan sosial tetap menjadi prioritas dengan anggaran Rp 408,8 triliun. Pagu anggaran Kemensos ditetapkan Rp 92,817 triliun, dimana Rp 91,005 triliun merupakan anggaran bansos. Untuk program PKH ditetapkan sebesar Rp 30,4 triliun dan Program Sembako/BPNT sebesar Rp 44,7 triliun.

Sejak 6 Desember 2020, mantan Mensos Juliari Batubara telah mendekam dalam rumah tahanan KPK. Empat tersangka lain seperti Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono selaku PPK di Kemensos juga telah ditahan. Begitu juga Ardian IM dan Harry Sidabuke dari pihak swasta yang diduga memberi suap kepada para pejabat tersebut. Meski begitu, penegak hukum harus tetap jeli mengawasi anggaran-anggaran tersebut. Sungguh suatu pelajaran yang mahal bagi bangsa Indonesia yang dirugikan oleh korupsi bansos. Semakin keji arena bansos itu ditujukan untuk orang iskin yang terdampak pandemi. (EKS/berbagai sumber)

Exit mobile version