Masyarakat Melayu Tolak Pengusuran untuk Proyek Perusahaan Tomy Winata

WARGABICARA.COM – Ribuan anggota Aliansi Pemuda Melayu menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) sebagai bentuk protes terhadap rencana relokasi yang diusung oleh BP Batam untuk megaproyek Rempang Eco City.

Para peserta aksi ini berasal dari 50 kampung adat di Kota Batam dan tiba di lokasi unjuk rasa menggunakan kendaraan pick-up dan truk pengangkut. Mereka mengenakan pakaian tradisional Melayu, termasuk tanjak, aksesori penutup kepala pria yang khas.

Dalam demonstrasi ini, para peserta membawa spanduk-spanduk yang memuat pesan-pesan penolakan terhadap relokasi. Ada empat poin tuntutan utama yang ingin disampaikan oleh para demonstran:

Menolak relokasi dari 16 kampung adat tua yang berada di Pulau Rempang dan Pulau Galang. Mengajukan permintaan untuk pembubaran BP Batam. Menuntut pengakuan resmi dari pemerintah terkait dengan tanah adat dan ulayat yang dimiliki oleh warga. Meminta agar pemerintah menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga yang menentang relokasi, khususnya di Kampung Tua, Rempang Galang.

Seorang orator yang berbicara dari atas mobil komando menegaskan bahwa relokasi bukanlah solusi yang dapat diterima. Mereka menyatakan bahwa jika relokasi dilaksanakan, mereka siap tidur di depan kantor BP Batam sebagai bentuk protes yang lebih lanjut.

Muhammad Rudi, selaku Kepala BP Batam, memberikan tanggapannya setelah aksi unjuk rasa. Dia menjelaskan bahwa rencana pembangunan di Pulau Rempang-Galang telah dimulai sejak tahun 2004, dengan adanya perjanjian antara Pemerintah Kota Batam, BP Batam, dan PT Megah Elok Graha. Rudi juga menegaskan bahwa perusahaan yang berada di bawah naungan grup Artha Graha yang dimiliki oleh Tomy Winata akan kembali berinvestasi dalam proyek tersebut.

Meskipun Rudi berusaha menjelaskan, sebagian massa tetap menunjukkan penolakan terhadap rencana relokasi. Rudi menyatakan komitmennya untuk membawa masalah ini ke pemerintah pusat dan berusaha agar lahan yang merupakan wilayah kampung adat dapat dikecualikan dari wilayah konsesi investasi perusahaan.

Protes ini menggambarkan pertentangan antara aspirasi pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap nilai-nilai budaya serta hak-hak adat masyarakat. Benturan semacam ini sering muncul saat proyek pembangunan infrastruktur atau ekonomi besar melibatkan relokasi atau pemindahan masyarakat lokal.

Baca Juga: Keberatan Warga soal Tilang Motor Tak Lolos Uji Emisi Rp250 Ribu

Exit mobile version