AS Kritik Kebijakan QRIS dan Sistem Pembayaran Nasional, Nilai Terlalu Protektif

WargaBicara.com — Pemerintah Amerika Serikat melontarkan kritik terhadap kebijakan sistem pembayaran nasional Indonesia, khususnya penerapan standar kode respons cepat atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Kritik tersebut disampaikan dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Dalam laporan tersebut, AS menilai pengembangan sistem pembayaran di Indonesia, termasuk QRIS, menunjukkan arah kebijakan yang semakin protektif dan tertutup terhadap pelaku usaha asing.

“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut,” tulis USTR dalam laporannya, dikutip Senin (21/4/2025). AS menilai sistem QRIS seharusnya dikembangkan agar bisa terintegrasi dengan sistem pembayaran global yang sudah ada.

QRIS mulai diterapkan melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 21 Tahun 2019. Kebijakan ini mewajibkan seluruh transaksi menggunakan QR code mengikuti standar nasional yang ditetapkan BI, dengan tujuan menyatukan berbagai sistem pembayaran QR agar efisien dan seragam.

Namun, USTR menyebut pendekatan tersebut justru menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak kompatibel dengan infrastruktur global, serta minim konsultasi dengan pihak internasional.

Pembatasan Kepemilikan Asing Dinilai Menghambat

Selain soal QRIS, USTR juga menyoroti pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan dan sistem pembayaran. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa:

Kebijakan ini dinilai membatasi ruang gerak investor global untuk bersaing di sektor keuangan digital Indonesia.

Kritik terhadap National Payment Gateway (GPN)

USTR turut mengkritisi kewajiban penggunaan National Payment Gateway (GPN) dalam setiap transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik. Sesuai regulasi Bank Indonesia, seluruh lembaga switching GPN harus berbasis di Indonesia dan mengantongi lisensi dari BI. Perusahaan asing yang ingin berpartisipasi diwajibkan bermitra dengan perusahaan lokal dan berkontribusi terhadap pengembangan industri nasional, termasuk melalui alih teknologi.

“Pelaku industri menyampaikan kekhawatirannya karena BI cenderung menetapkan peraturan baru tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait, termasuk dari luar negeri,” lanjut laporan tersebut.

USTR juga menyoroti kebijakan terbaru BI pada Mei 2023, yang mewajibkan seluruh transaksi kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan menggunakan kartu kredit lokal. Kebijakan ini dinilai berpotensi mempersempit penggunaan layanan pembayaran internasional, termasuk milik perusahaan-perusahaan AS.

AS Minta Indonesia Lebih Terbuka

Pemerintah AS menyatakan harapannya agar Indonesia, termasuk Bank Indonesia, bersikap lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional. AS menilai pendekatan yang inklusif diperlukan demi menciptakan sistem pembayaran yang terintegrasi, efisien, dan kompetitif secara global.

Exit mobile version