Jakarta – Logo Sumpah Pemuda 2025 menjadi ironi visual bagi kondisi generasi muda saat ini, menurut analisis sosiologis. Logo tersebut menampilkan berbagai simbol, termasuk sayap Garuda, panah ke kanan, gerak melingkar, besi tempa, dan cahaya di tengah.
Namun, terdapat kontradiksi antara simbolisme luhur logo dan realitas perilaku pemuda. Pemuda saat ini digambarkan memiliki kecepatan (sayap dan panah), tetapi kehilangan kompas nilai dan kedalaman sosial.
Pemuda Indonesia (usia 16-30 tahun sesuai hukum) kini berada dalam masa transisi yang kabur. Mereka bertindak cepat, namun jarang berhenti untuk refleksi.
Paradoks Simbolisme dan Habitus Digital
Analisis terhadap simbol-simbol dalam logo mencerminkan paradoks berikut:
- Sayap Garuda: Melambangkan kekuatan luhur yang terbang karena nilai. Namun, realitasnya, pemuda lebih sering terbang karena trending topic atau algoritma media sosial, bukan karena idealisme atau cita-cita substantif.
- Empat Sayap/Tangan: Melambangkan kolaborasi antar manusia. Ironisnya, pemuda hari ini terkoneksi luas secara digital, tetapi sulit membangun empati yang mendalam dan relasi yang berakar pada kepercayaan.
- Panah ke Kanan: Melambangkan progresivitas dan keberanian menembus masa depan. Namun, generasi ini sering terjebak dalam narsisme digital, sibuk memoles citra, dan lupa arah substansi sejati.
- Besi Tempa: Melambangkan keteguhan moral. Namun, habitus (pola kebiasaan) pemuda saat ini dibentuk oleh kenyamanan dan kemudahan instan, menjauhi tempaan dan kesulitan yang membentuk karakter.
Krisis Habitus dan Modal Sosial (Teori Bourdieu)
Dosen IAIN Pontianak, Syamsul Kurniawan, menggunakan konsep Pierre Bourdieu (1977)—habitus dan modal sosial—untuk membedah krisis ini.
Habitus Digital: Generasi kini tumbuh dalam habitus yang terbiasa serba cepat, instan, dan performatif (hidup untuk ditonton). Mereka mencari validasi dari jumlah like, bukan dari kedalaman makna, yang membuat mereka terbelenggu oleh logika pasar dan algoritma.
Modal Sosial Transaksional: Modal sosial (jaringan, koneksi) yang seharusnya memperkuat solidaritas, kini beralih menjadi alat negosiasi kepentingan pribadi dan pragmatis. Gotong royong tergantikan oleh kolaborasi yang didasarkan pada manfaat, bukan empati sejati.
Menurut analisis ini, pemuda saat ini memiliki banyak modal—ekonomi, budaya, sosial—tetapi kekurangan modal moral.
Kegagalan Sistem Pendidikan dan Pertanyaan Krusial
Sistem pendidikan dinilai turut memperkuat krisis ini. Sekolah mengajarkan kompetisi (ranking) daripada refleksi dan kolaborasi. Hal ini menciptakan “kekerasan simbolik” yang membentuk generasi patuh pada sistem, tetapi asing terhadap makna hidup.
Logo Sumpah Pemuda 2025, jika dibaca jujur, menjadi teguran. Sayap yang indah tanpa arah adalah simbol kehilangan orientasi.
Pertanyaan krusial dalam Hari Sumpah Pemuda 2025 bukan lagi “apakah kita masih terbang,” melainkan “kita terbang, tapi ke mana?” Tanpa gravitasi nilai, semua pencapaian hanya akan menjadi kilau tanpa cahaya.












