Tempo.co – Belajar jarak jauh secara online bukan hal mudah, meskipun sudah berlangsung berbulan-bulan. Banyak orang yang merasa proses belajar dari rumah tidak efektif, ditambah orang tua maupun anak rentan mengalami stres.
Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Efnie Indrianie menjelaskan bahwa dalam proses belajar mengajar, anak membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan metode school from home (SFH). Tidak bisa hanya dalam waktu 1-3 bulan saja. Adaptasi kadang bisa dibutuhkan selama 6 bulan lebih, bahkan 1 tahun.
“Makanya banyak riset tentang academic adjustment atau adaptasi di bidang akademik itu di tahun pertama. Jadi kalau masih 1-6 bulan, ya kondisi anak masih up and down,” ujar Efnie, dalam keterangan pers dari GueSehat yang diterima Bisnis, Kamis, 13 Agustus 2020.
Saat belajar online di rumah, anak menjadi tidak tertib dan lebih banyak memegang gadget serta emosinya menjadi lebih tidak terkontrol. Bahkan ada anak moody yang kadang-kadang tak mau ikut kelas online.
Menurut Efnie, stres dan rasa frustrasi ini memang wajar dialami. Sebab, ketika anak belajar dari rumah, orang tua pasti berpikir tanggung jawabnya ada di mereka untuk memastikan anaknya mengerjakan, memperhatikan, dan menerima informasi dengan baik.
“Biasanya kondisi itu yang membuat orang tua menjadi lebih stres,” ujar Efnie.
Untuk mengatasi stres, langkah pertama yang harus dilakukan orang tua adalah mengenali kondisi emosi sendiri, apakah mereka merasa kesal, marah, kecewa, atau hal lainnya. Setelah mengidentifikasi emosi yang dirasakan, barulah orang tua dapat meregulasi emosi dengan tepat.
Adapun, bagi ibu bekerja, mengerjakan tugas kantor dari rumah sekaligus mengasuh anak akan menjadi tantangan tersendiri. Efnie menyebutkan, ibu bekerja harus memiliki manajemen waktu yang baik. Jadi, buatlah jadwal harian dan masukkan waktu me time. Dengan begitu, kondisi mental tetap stabil dan tercipta suasana yang penuh cinta kasih di rumah.
Sementara itu, stres pada anak sebetulnya masih bisa ditoleransi selama levelnya masih moderat atau medium. Namun, jika stres yang dialami derajatnya tinggi akan berdampak negatif. Misalnya saja sistem imun anak dapat menurun dan dia rentan sakit, seperti batuk pilek, perut tidak nyaman, mual, dan diare.
“Terkadang konsentrasi anak juga akan menurun, bermimpi buruk, lebih emosional dan rewel, serta gampang menangis,” ujarnya.
Untuk menanggulangi stres pada anak, Efnie menyebutkan metode yang sama bisa diterapkan kepada anak, yakni mengidentifikasi emosi atau perasaannya terlebih dahulu.
“Kalau anak stresnya tinggi, bantu ia untuk meredakan kondisi perasaaannya dulu. Anak yang stres tidak mempan dikasih nasihat. Ciri khas seorang anak kalau stres tinggi adalah akan melakukan hal yang berkebalikan. Disuruh fokus, dia malah melakukan hal lain, disuruh menulis tidak bisa, kadang-kadang disuruh bicara malah menjadi gagap,” terang Efnie.
Jika anak menunjukkan tanda-tanda tersebut, orang tua jangan memarahi anak dan sebaiknya memberinya waktu. Jauhi anak sebentar, atur napas, kendalikan emosi, dan duduk untuk menenangkan diri.
Setelah kondisi sudah lebih tenang, peluk anak dan bantu ia mengungkapkan perasaanya. Orang tua bisa menanyakan, “Adik rasanya bagaimana? Adik takut, sedih, atau marah?” Sebutkan emosi satu per satu untuk membantunya mengidentifikasi perasaannya.
Setelah itu, bantu anak merilis perasaannya. Tanyakan apa yang ia inginkan. Kalau ia ingin menangis, biarkan. Jadi, anak merasa aman dan nyaman. “Love dan affection adalah obat stres untuk anak-anak. Jadi, ia tidak merasa sendiri, merasa didampingi, dan bisa mengekspresikan perasaannya semaksimal mungkin.”
Dengan segala keterbatasan yang ada di masa pandemi ini, orang tua memang harus bekerja sama dengan berbagai pihak agar kegiatan belajar anak tetap berjalan. Yang pasti, orang tua harus menanamkan mindset untuk tidak langsung menghakimi diri sendiri sebagai orang tua yang gagal jika anak susah diajak belajar. Ingatlah bahwa anak butuh waktu dan proses untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.