Okezone.com – Di tengah pandemi Covid-19, banyak sekolah yang tutup. Para siswa diminta melakukan sekolah daring atau sekolah jarak jauh guna menekan penularan Covid-19.
Namun ternyata pelaksanaan sekolah daring selama masa pandemi Covid-19 menciptakan persoalan di daerah-daerah yang tidak terjangkau sinyal televisi dan internet.
SMPN 3 Satap Punik, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyiasati persoalan ini dengan menggunakan radio komunikasi dua arah atau handie talkie (HT).
Guru di SMPN 3 Satu Atap (Satap) Punik, Batu Lanteh, NTB, Hafsah tampak serius mendengarkan suara dari sebuah unit handy talkie. Perangkat komunikasi berwarna hitam tersebut dipegang erat di dekat wajahnya. Dia memberikan instruksi kepada siswanya dalam pembelajaran jarak jauh.
Sedangkan Rima, sang siswa dari seberang mendengarkan suara di handy talkie dengan seksama. Baik Hafsah mapun Rima sedang melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dari rumah menggunakan handy talkie.
Metode ini digunakan oleh para murid dan guru di sekolah tersebut karena mereka tidak bisa menggunakan ponsel pintar mengingat kawasan tersebut tidak terjangkau sinyal telepon. Hanya ada sejumlah titik saja yang bisa dijangkau sinyal.
Rima mengaku sangat terbantu belajar menggunakan handy talkie. Selain tidak keluar biaya untuk membeli pulsa ponsel, dia dapat berinteraksi dengan gurunya secara langsung dalam membahas mata pelajaran.
Memang Rima sedikit merasa sedih karena tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Sebab, dalam masa pandemi ini, kegiatan belajar mengajar secara tatap muka ditiadakan.
“Saya ingin bisa segera ngumpul sama teman-teman lagi,” katanya belum lama ini.
Seperti dilansir dari BBC News Indonesia, penggunaan handy talkie ini merupakan ide dari Kepala SMPN 3 Satap Batu Lanteh, Ibrahim. Menurutnya, ide ini muncul saat terjadi pandemi Covid-19.
Ketika kegiatan belajar tatap muka ditiadakan pada 17 Maret lalu, pihak sekolah harus memutar otak. Sebab, di Dusun Punik, Desa Batu Dulang, tidak terjangkau sinyal internet.
Untuk menyiasati hal ini, guru melakukan kunjungan langsung ke rumah-rumah siswa. Setelah selesai, siswa mengumpulkan tugas ke rumah guru.
Untuk meringankan beban guru, Ibrahim pernah terpikir untuk menggunakan telepon biasa. Namun, dikhawatirkan tidak semua siswa bisa mendapatkan pelajaran lantaran sinyal telepon seluler juga tidak merata di lokasi tersebut. Apalagi kebanyakan orang tua siswa tidak mampu membeli pulsa untuk paket internet.
“Ada tempat yang memang dijangkau sinyal. Tapi kami hindari. Karena nanti anak-anak akan berkerumun. Sementara tidak diperbolehkan untuk berkumpul,” imbuhnya.
Orangtua murid juga mengaku sangat terbantu dengan penggunaan handy talkie. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan uang tambahan untuk membeli pulsa ponsel.
Ibrahim pun punya ide untuk menggunakan radio komunikasi dua arah, atau handy talkie karena dia adalah anggota Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI).
Mereka lantas memesan sejumlah unit handy talkie. Tahap awal, mereka memesan 40 unit. Dananya swadaya, kumpulan dari para orang tua murid.
Harganya lumayan terjangkau, hanya Rp 200 ribu perunit. Itu sudah dengan ongkos kirim sampai ke lokasi. Saat ini, sekolahnya sudah memiliki 69 unit handy talkie, belum termasuk handy talkie yang dipegang oleh guru.
Handy talkie yang digunakan untuk belajar-mengajar memiliki 16 saluran. Setiap saluran diperuntukkan setiap tingkat kelas.