Pikiran-rakyat.com – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mendesak klaster Pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Kerja).
Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang merubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan.
“Kami menduga adanya unsur pemaksaan Pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU Cipta Kerja dengan merubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi Pendidikan tersebut,” kata Fikri kepada media, Kamis 3 September 2020.
Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi kita sehingga masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya segelintir pasal dalam RUU Cipta Kerja.
“Kami tegas menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
Bahkan Preambui konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah yang slah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Yaitu dengan menyelenggarakan sistem Pendidikan nasional, bukan melepasnya secara komersil,” kata dia.
Selanjutnya, kewajiban pemerintah juga tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945. Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
Sementara UUD 1945 Pasal 31 ayat 5 menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Fikri menambahkan, Draft RUU Cipta Kerja buatan pemerintah, telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan institusi Pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam pasal 68 draf RUU tersebut.
“Ketentuan ini memaksa institusi Pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-allh pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi,” kata Fikri.
Yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam Draft RUU Ciptaker, pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah, sehingga berbunyi 1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat’.
Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp1 miliar rupiah.
“Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan non formal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha,” kritik Fikri.
Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di dalam RUU Ciptakerja. Politisi PKS ini mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.
“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar benar RUU alien,” kata dia.