Tribunnews.com – Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang terpuruk akibat pandemi Covid-19, membuat roda ekonomi Indonesia berputar lamban.
Jika pada krisis sebelumnya tahun 1998 dan 2008 UMKM masih punya daya tahan yang kuat, tapi kondisinya sangat berbeda dibandingkan dengan krisis yang diakibatkan pandemi corona.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, mengatakan kondisi UMKM akan berbeda jauh dibandingkan dengan dua periode krisis sebelumnya, karena di 2020 bukan hanya sektor keuangan tapi juga sektor riil termasuk UMKM sulit untuk bergerak.
“Jadi UMKM pun wajib dibantu agar bisa mendorong pemulihan ekonomi. (Krisis, red) Tahun 2008 tidak ada pandemi, karena krisis keuangan yang terjadi sementara UMKM masih bisa berjualan secara normal,” ujar Bhima, Senin (28/9/2020).
Untuk membantu geliat UMKM yang kemungkinan akan tertekan akibat resesi ekonomi yang melanda, Bhima menyarankan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) ke UMKM ditambah karena nominalnya masih terlalu kecil, dan harus diawasi dengan ketat.
“Apa ada jaminan uang digunakan untuk menambah modal kerja si pengusaha UMKM? Belum tentu,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, mekanisme pengawasan yang lemah membuat stimulus BLT ke UMKM menjadi kurang efektif.
Kemudian selain diberi BLT idealnya, UMKM juga diberikan pendampingan khususnya untuk go digital.
Bhima membeberkan, saat ini baru ada 13 persen UMKM yang tergabung dalam platform digital, jadi butuh bimbingan, pendampingan dari pemerintah pusat dan daerah.
“Idealnya disinergikan antara BLT dan pendampingan karena penerimanya target yang sama,” katanya.
Diketahui, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah memberikan dukungan pada dunia usaha.
Salah satunya, dukungan fiskal untuk mendukung usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) melalui stimulus kredit UMKM.
Sebagai dukungan bagi UMKM, pemerintah memberikan subsidi bunga dengan alokasi dana mencapai Rp 34,15 triliun.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif perpajakan dengan total nilai Rp 28,06 triliun.
Indonesia Lebih Siap
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyampaikan pandangannya terhadap kesiapan Indonesia menghadapi resesi ekonomi di kuartal III 2020.
Meski sudah di depan mata, menurutnya, kondisi Indonesia kini sudah sangat siap dibandingkan saat terjadi krisis moneter 1998 dan 2008.
“Dari sisi mikro perusahaan-perusahaan kita pada tahun ini lebih kuat karena sudah cukup banyak yang menerapkan GCG secara baik,” kata Dosen Perbanas ini kepada Tribunnews.com, Senin (28/9/2020).
Di lain hal, Piter juga menyoroti kinerja UMKM yang berada di situasi sulit karena turunnya daya beli masyarakat akibat meningkatnya jumlah pengangguran dan bertambah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Namun sejatinya tidak semata-mata hanya karena pandemi Covid-19, UMKM di situasi apapun sama yaitu fragile atau rapuh.
“Pada tahun ini hanya saja tekanan jauh lebih berat dari pada tahun 1998. Tetapi pada tahun ini pemerintah memberikan banyak program bantuan,” ucapnya.
Perlu Perencanaan Komprehensif
Peneliti senior ini menilai pemerintah perlu menyiapkan perencanaan yang matang dan terukur sehingga tidak sekadar kebijakan yang asal jadi.
Piter menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat.
“Kemudian perlu dukungan dari semua pihak, kebersamaan itu harus kita bangun. Harus punya pemikiran yang sama dan tujuan yg sama,” ucapnya.
Piter mengatakan lagi bahwa dukungan dari bank sentral sangat dibutuhkan dalam kondisi krusial seperti ini.
“Koordinasi yang sangat kuat antara pemerintah dengan bank sentral diperlukan. Persoalan kita kan ada disitu. Support dari bank sentral lama bener, ini baru ada kesepakatan burden sharing pada bulan Juli-Agustus, dan itu setelah beberapa bulan,” kata Piter.
Menurutnya, hal ini menyebabkan pemerintah berutang untuk membiayai semua perlu uang yang sangat besar untuk membantu masyarakat, dunia usaha, dan kesehatan.
“Itulah yang disampaikan Pak Jokowi bahwa harus ada sense of crisis yang sama,” tuntasnya.
PHK Massal
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, perekonomian nasional akan memasuki masa resesi di akhir September 2020 ini.
Bendahara Negara itu mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III mendatang bakal berada di kisaran -2,9 persen hingga -1,1 persen.
Jika proyeksi tersebut terjadi, maka ekonomi Indonesia masuk dalam definisi resesi secara teknis. Yakni, pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Sebab pada kuartal II yang lalu, Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira, mengatakan resesi ekonomi secara resmi baru akan diumumkan pada 5 november sesuai jadwal dari Badan Pusat Statistik yang mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal ke III.
Meskipun belum diumumkan, namun Bhima menyampaikan sejumlah indikator bahwa negara sudah masuk resesi. Bhima menjelaskan, dari data terakhir saat ini pertumbuhan kredit per Juli bergerak di 1 persen, angka yang cukup rendah dengan pertumbuhan kredit modal kerja minus 1,7 persen.
Selain itu, indeks kepercayaan konsumen berada di level 89,6 atau dibawah level optimisme 100. Artinya konsumen sedang pesimis melihat prospek ekonomi.
Dari sektor otomotif, penjualan sepeda motor juga turun 42 persen pada periode Januari-Juli 2020.
“Terjadi PHK yang merata di hampir semua sektor. Berdasarkan survei BPS terdapat 35,5 persen perusahaan yang mengurangi karyawan selama masa pandemi,” ujar Bhima, Kamis (24/9/2020).
Bhima menyarankan, agar negara melakukan sejumlah hal untuk menanggulangi resesi ekonomi yang sudah di depan mata.
“Pemerintah segera menambah bantuan langsung tunai (BLT) untuk pengangguran, korban PHK, dan pekerja informal,” saran Bhima.
Menurut Bhima, nominal BLT pun harus lebih besar dari sebelumnya, idealnya Rp 1,2 juta per orang per bulan selama 3-6 bulan. Bantuan berupa sembako juga bisa difokuskan ke daerah daerah yang padat penduduk seperti Jabodetabek.
“Langkah pemerintah juga penting untuk menjamin pengendalian wabah berjalan optimal dan cepat. Ini kan akar masalahnya karena aktivitas ekonomi macet saat pandemi. maka solusinya adalah tangani masalah kesehatan dengan lebih serius. semakin cepat pandemi tertangani semakin cepat ekonomi recovery dari resesi dan tidak berlanjut ke depresi,” kata Bhima.
Dibayangi PHK
Selain itu, Bhima mengungkapkan, resesi artinya terjadi tekanan yang dalam di ekonomi baik keuangan maupun sektor riil.
Jadi gelombang PHK akan berlanjut merata di hampir semua sektor, mau perdagangan, transportasi, properti, sampai ke industri akan lakukan efisiensi pekerja untuk tekan biaya operasional. Jadi estimasinya ada 15 juta PHK sampai akhir tahun.
“Tak terkecuali banyak startup akan berguguran. Daya beli masyarakat menurun karena kehilangan pendapatan sehingga berpengaruh ke naiknya orang miskin baru. Pastinya angka kriminalitas juga meningkat dan rawan konflik sosial di masyarakat.”
Bhima juga mengungkapkan resesi menandakan adanya tekanan yang dalam baik di ekonomi, sektor keuangan, maupun sektor riil.
Gelombang PHK menurutnya bakal terjadi di hampir seluruh sektor, baik perdagangan, transportasi, properti, sampai ke industri akan lakukan efisiensi pekerja untuk tekan biaya operasional.
“Jadi estimasinya ada 15 juta PHK sampai akhir tahun,” ujar dia.
Menurut dia, perusahaan yang cukup rentan dalam kondisi perekonomian saat ini adalah perusahaan rintisan atau start up.
“Tak terkecuali banyak startup akan berguguran. Daya beli masyarakat menurun karena kehilangan pendapatan sehingga berpengaruh ke naiknya orang miskin baru. Pastinya angka kriminalitas juga meningkat dan rawan konflik sosial di masyarakat,” ujar dia.
Pengangguran Bertambah
Senada dengan Bhima, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai terkait risiko resesi. Salah satunya, resesi menunjukkan ada potensi peningkatan jumlah pengangguran.
Sebab, resesi berarti kinerja perekonomian di zona negatif lantaran permintaan barang dan jasa yang cenderung rendah.
“Akhirnya banyak pabrik yang harus mengurangi proses produksinya. Di sisi lain kebutuhan untuk beban produksi seperti listrik, atau gaji pegawai mesti tetap jalan,” ujar dia.
Kedua hal tersebut membuat perusahaan harus melakukan efisiensi, yang salah satu caranya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di sisi lain, pekerja yang di PHK tak lagi memiliki pendapatan. Dan bila sumber pendapatan kian berkurang, maka jumlah penduduk miskin bakal bertambah.
“Apalagi jumlah penduduk rentan dan hampir miskin di Indonesia ini sangat besar, guncangan ekonomi seperti resesi akan membawa mereka turun kelas menjadi penduduk miskin,” jelas dia.
Yang terkini, berdasarkan laporan bertajuk Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class oleh Bank Dunia dijelaskan, sebanyak 45 persen atau mencapai 115 juta populasi penduduk Indonesia masuk kategori rentan atau terancam bisa kembali masuk kategori miskin.
Cara untuk Hadapi Resesi
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memprediksi proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 akan mengalami minus, yang berdampak pada resesi, simak penjelasan lengkapnya.
Menurutnya di kuartal III ini perekonomian Indonesian akan kontraksi minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen.
Adapun keseluruhan pertumbuhan ekonomi akhir tahun menurutnya juga akan berada pada kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.
Dengan adanya hal tersebut maka pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV menurutnya juga akan negatif.
Hal ini membuat adanya kemungkinan resesi ekonomi akan terjadi.
Apa itu resesi?
Melansir dari Forbes, resesi adalah kondisi di mana terjadi penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Resesi juga menimbulkan dampak untuk masyarakat, seperti dikutip TribunMataram.com dari Kompas.com.
Dampak Resesi
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda mengatakan salah satu dampak yang mungkin saja timbul dari terjadinya resesi adalah meningkatnya jumlah pengangguran.
Ia menyebut, banyaknya pengangguran muncul akibat produksi merosot seiring turunnya permintaan agregat masyarakat yang kemudian berdampak pada banyaknya usaha yang tutup maupun gulung tikar.
“Dampak dari resesi bersifat saling terkait dan ada efek bola salju (menggelinding dan membesar),” kata Huda dihubungi Kompas.com Selasa (22/9/2020).
Adapun Apabila resesi terus berlanjut menurutnya dampak lanjutan yang kemudian muncul adalah:
Akan semakin tinggi kredit macet yang disebabkan penghasilan masyarakat menurun, dan Kemiskinan akan semakin meningkat.
Pihaknya menyebut, resesi berpotensi pula menyebabkan berkurangnya minat investor akibat daya beli masyarakat yang melemah.
Sehingga menyebabkan mereka enggan berinvestasi dan memasarkan produknya ke dalam negeri.
“Jadi efeknya seperti bola salju yang menggelinding, semakin besar masalah yang ditimbulkan dari resesi,” ujar dia.
Lantas, jika resesi betul terjadi apa dampak bagi masyarakat serta apa saja yang perlu dipersiapkan?
Yang harus dipersiapkan hadapi resesi
Menurut Huda resesi yang kemungkinan terjadi pada triwulan ke III 2020 ini beberapa hal yang harus dipersiapkan masyarakat adalah sebagai berikut:
Mengubah pola konsumsi dari konsumsi tersier ke konsumsi primer Memperbanyak tabungan guna menghadapi krisis ekonomi (bagi yang masih ada penghasilan) Membuka usaha baru, misalnya melalui layanan daring (online) bagi orang yang sudah kena PHK.
Lebih lanjut Huda mengingatkan agar pemerintah menyiapkan diri terkait dengan resesi ini.
“Siapkan jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak,” ujar dia.
Dikutip dari Kompas.com (4/8/2020), pakar finansial Ahmad Gozali menyebutkan masyarakat dapat melakukan sejumlah hal untuk bertahan di tengah resesi ekonomi.
Cara bertahan saat resesi
Agar bisa bertahan saat terjadi resesi, Gozali menyebut ada beberapa hal yang secara umum bisa dilakukan, yaitu:
Melindungi sumber penghasilan
Sebagai karyawan menurut dia sebaiknya tidak agresif pindah pekerjaan dahulu sebelum ada kepastian pekerjaan baru lebih stabil.
“Untuk yang punya usaha, pertimbangkan kembali rencana ekspansi,” kata Gozali
Miliki dana cadangan
Dia menyampaikan dana cadangan sebaiknya dijaga 3-12 kali pengeluaran bulanan dalam bentuk likuid.
“Artinya, kalau sekarang kurang dari itu, bisa ditambah dengan mengurangi aset risiko tinggi dan menambah likuiditas,” kata Gozali.
Tahan pembelanjaan besar, terutama kredit
Apabila sebelumnya ada rencana kredit kendaraan atau rumah, maka perlu dipelajari lagi risikonya.
“Apakah cukup aman untuk melanjutkan rencana tersebut. Jangan terlalu memaksakan, misalnya menggunakan dana cadangan untuk bayar DP (down payment),” kata Gozali
“Intinya dana cadangan menjadi semakin penting, jangan terpakai untuk hal lain dulu. Bahkan kalau bisa ditambah,” imbuhnya.
Tetap belanja secara rutin
“Karena pembelanjaan konsumtif rumah tangga untuk hal-hal penting di Indonesia justru menjadi salah satu pendorong ekonomi yang dominan,” kata Gozali.
Prediksi Sebelumnya
Dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif pada akhir tahun, Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi juga bakal negatif pada kuartal III dan IV.
Sebelumnya, Sri Mulyani selalu optimistis pada kuartal IV perekonomian masih bisa tumbuh positif. Meski demikian, pemerintah masih mengupayakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV mendatang bisa mendekati 0.
“Ini artinya negatif teritori kemungkinan akan terjadi pada kuartal III dan juga masih akan berlangsung kuartal IV, yang kita upayakan untuk bisa dekati 0 atau positif,” kata dia.
Sri Mulyani pun merinci, berdasarkan komponen pendorong pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih akan negatif pada kuartal III, yaitu minus 3,0 persen hingga minus 1,5 persen. Sebelumnya pada kuartal II, konsumsi juga minus 5,6 persen.
Hanya komponen konsumsi pemerintah yang diperkirakan masih positif 9,8 persen hingga 17 persen pada kuartal III. Sebelumnya pada kuartal II, konsumsi pemerintah minus 6,9 persen.
Investasi diperkirakan minus 8,5 persen hingga minus 6,6 persen pada kuartal III.
Begitu juga dengan ekspor yang diperkirakan minus 13,9 persen hingga minus 8,7 persen. Impor juga diperkirakan minus 26,8 persen hingga minus 16 persen.