Liputan6.com – DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna, Senin 5 Oktober 2020. RUU tersebut tetap disahkan di tengah kritik tajam soal pasal-pasal yang dinilai merugikan pekerja.
Serikat buruh mengancam akan mengadakan mogok nasional pada 6–8 Oktober 2020.
Fraksi Partai Demokrat pun memutuskan walk out dari Rapat Paripurna setelah beradu argumen dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dalam rapat paripurna pengesahan Omnibus Law, Senin sore.
Fraksi PAN pun memberi catatan kritis soal sejumlah pasal di UU Cipta Kerja tersebut.
Berdasar catatan Liputan6.com, berikut pasal-pasal terkait ketenagakerjaan yang bermasalah dalam Omnibus Law atau UU Cipta Kerja:
– Pasal 42
Pasal ini mengatur soal kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA). Contohnya di bidang startup. Perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk mempekerjakan orang asing.
Padahal pada aturan-aturan sebelumnya, TKA harus mendapat izin dari sejumlah pejabat. Mereka juga harus memenuhi sejumlah syarat lain.
Misalkan pada Pasal 42 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Juga Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi perizinan seperti RPTKA, Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
– Pasal 66
Pasal ini mengatur adanya pekerja alih daya tanpa batas waktu dan jenis pekerjaan.
– Pasar 77 A
Pasal ini berpotensi meningkatkan waktu kerja lembur dan memangkas hari libur pekerja.
Pasal dalam UU Cipta Kerja tersebut juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak menjadi pegawai tetap.
– Pasal 88 C
Pada pasal ini, upah minimum kota/kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja dihapuskan.
Akibatnya, upah minimum semua kota/kabupaten dapat dipukul rata.
– Pasal 88 D
Inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum pada UU Cipta Kerja ini.
Soal Cuti hingga Pesangon
– Pasal 93 Ayat 2
Pasal ini menghapus cuti khusus dan izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan.
– Pasal 154 A
Ancaman PHK besar-besaran
Pasal ini berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; b. perusahaan melakukan efisiensi.”
– Pasal 156
Pasal ini mengurangi jumlah pesangon yang dibayarkan perusahaan dan membebankan sebagian ke BPJS Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan mengatur, pemutusan hubungan kerja mengharuskan pengusaha membayar pesangon 32 bulan upah. Namun dalam UU Cipta Kerja pesangon menjadi 25 bulan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Dengan skema pesangon, 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.