Tempo.co – Serikat buruh tengah mempersiapkan opsi judicial review terhadap Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) khusus klaster ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI, Said Iqbal, menyebutkan telah menyiapkan 2 gugatan yang akan dibawa ke MK.
“Kami membaca situasi. Perlu kami umumkan opsi judicial review tentu saja mungkin (dilakukan),” kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Senin, 12 Oktober 2020.
Gugatan pertama terkait uji formil. Melalui uji formil, kata Said, akan dilihat proses mulai dari perancangan UU, pembahasan hingga akhirnya disahkan oleh DPR. “Kita akan lihat proses itu berbahaya.”
Dia mencontohkan seperti yang terjadi pada rapat paripurna pengesahan UU Cipta Kerja pekan lalu. “Bayangkan paripurna kertas kosong yang diterima. Jadi yang dipegang DPR itu apa?” kata dia. Oleh karena itu, menurut dia, proses pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR sudah cacat formil.
Belum lagi, ucap Said, pembahasan dan penyerahan draft tidak melibatkan masyarakat atau public hearing. Dia mengatakan akan mempelajari hal tersebut.
Said berpendapat bila MK mengabulkan gugatan uji formil ini, maka seluruh isi omnibus law UU Cipta Kerja dibatalkan. Artinya, pembatalan tidak hanya terkait persoalan pada klaster ketenagakerjaan.
Kedua, gugatan uji materiil. Said mengatakan gugatan ini khusus menguji pasal-pasal yang kontroversial baik pada klaster ketenagakerjaan, lingkungan, hingga petani. “Maka buruh-buruh akan mempelajarinya,” ujarnya.
Opsi gugatan ke MK ini merupakan pilihan terakhir. Selain judicial review, kata dia, buruh juga tengah mempersiapkan opsi executive review yaitu meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menerbitkan Perpu. Ada juga opsi legislative review di mana DPR diharapkan melakukan uji legislasi terhadap UU Cipta Kerja yang telah disahkan.
Judicial review dapat dipahami sebagai suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditunjuk oleh konstitusi (dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
Hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. UU tersebut menyebutkan Mahkamah Konstitusi dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis.