Jakarta – (07/02/2021). Ahmad Aulia terduga teroris tersebut, mengungkapkan dalam video singkatnya, ia ditangkap dan ditahan tanggal 6 Januari 2021 di Polda Sulawesi Selatan karena berbaiat kepada Daulatul Islam Bersama 100 simpatisan dan laskar FPI di markas FPI Makassar, jalan Sungai Limboto, Makassar. Ia mengaku bai’at tersebut dihadiri Munarman.
Bai’at merupakan sebuah terminologi dalam Islam yang menjadi populer belakangan ini. Bai’at sendiri artinya “berjanji untuk taat”. Sungguh mulia pengertian ini. Namun karena terduga teroris ini berbai’at kepada ISIS, ceritanya menjadi lain. Karena dia berjanji untuk taat kepada pimpinan ISIS yang telah dikenal sebagai organisasi teroris internasional dengan membawa nama Islam.
Belum lagi, Menko Polhukam Mahfud MD juga menampilkan sejumlah video yang dianggap menunjukkan dukungan ormas Islam tersebut terhadap gerakan khilafah dan terorisme, di antaranya pidato Imam Besar FPI Rizieq Shihab dalam sebuah unjuk rasa yang mendukung “apa yang baik dari ISIS” dan anggota FPI menyaksikan “baiat massal ISIS” di Makassar pada 25 Januari 2015.
Selanjutnya, deputi di Kementerian Koordinasi Politik, Hukum, dan HAM (Kemenko Polhukam), Sugeng Purnomo menekankan bahwa keterlibatan anggota atau eks-anggota FPI dalam tindak pidana terorisme hanyalah satu dari sekian banyak pertimbangan pemerintah untuk melarang ormas Islam tersebut.
Dalam pengumuman pelarangan FPI, Desember 2020 lalu misalnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan 35 pengurus dan anggota maupun eks-anggota FPI pernah terlibat tindak pidana terorisme. “Bahwa pengurus dan/atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI berdasarkan data sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme dan dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana,” ujarnya.
Senada dengan data tersebut, ketua harian Komisi Kepolisian Nasional sekaligus kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme UI, Benny Mamoto juga telah mengungkapkan nama-nama 37 anggota maupun mantan anggota FPI yang diduga terlibat langsung kelompok teroris di Indonesia
FPI Menyangkal
Segera saja kuasa hukum FPI menyangkal tuduhan bahwa organisasi tersebut mendukung terorisme, sehingga pemerintah melarang organisasi massa ini. Pemerintah mengatakan terdapat puluhan anggota maupun eks-anggota FPI pernah terlibat tindak pidana terorisme.
Soal ini, Sugito Atmo Prawiro, ketua tim bantuan hukum FPI, mengatakan orang-orang tersebut bertanggung jawab secara pribadi, dan tindakan terorisme yang mereka lakukan “tidak sesuai dengan visi-misi FPI”. “Orang-orang tersebut mungkin di luar kontrol teman-teman di DPP (Dewan Pengurus Pusat FPI),” dalihnya.
Ia menegaskan bahwa FPI, secara organisasi, tidak mendukung terorisme dan radikalisme. Jika orang-orang yang diduga terlibat terorisme itu dinyatakan bersalah, maka itu adalah tanggung jawab pribadi mereka.
“Kalau JAT (Jamaah Anshorut Tauhid) misalnya, secara organisasinya memang secara struktur ingin melakukan hal semacam itu (terorisme) terserah mereka, tapi DPP FPI kan secara tegas tidak memperbolehkan itu. Terorisme, radikalisme itu tidak diperbolehkan. Semua harus sesuai koridor hukum,” kata Sugito.
Mengenai bukti video Rizieq Shihab yang ditayangkan Menko Polhukam, Sugito beralasan, ketika video tersebut direkam, belum terbongkar secara jelas dan faktual bahwa apa yang dilakukan ISIS menyimpang dari yang seharusnya diperjuangkan oleh umat Islam.
Tuduhan FPI Teroris Tidak Tepat
Pengamat terorisme di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney, yang mengatakan sudah melihat nama-nama dalam daftar pemerintah, membenarkan bahwa ada begitu banyak di antara mereka yang pernah menjadi anggota FPI.
Tapi, katanya, ada juga yang pernah menjadi anggota Jemaah Tablig, Pemuda Muhammadiyah, atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Sidney, orang yang sudah berniat untuk menjadi militan seringkali bereksperimen dengan beberapa organisasi sebelum akhirnya bergabung dengan yang paling militan.
“Jadi sebagian besar yang dituduh [sebagai anggota] FPI atau [benar anggota] FPI menjadi teroris, adalah orang yang dikeluarkan dari FPI justru karena mereka dianggap terlalu radikal,” katanya.
Sidney mengatakan, misalnya di Lamongan, Jawa Timur, beberapa orang yang pernah menjadi anggota FPI bergabung dengan kelompok teroris, termasuk Zainal Ansori yang menjadi amir (pemimpin) Jemaah Ansorut Daulah. Namun setelah mereka bergabung dengan ISIS, mereka tidak diterima lagi sebagai anggota FPI.
Selain itu, Sidney menjelaskan bahwa ideologi FPI dan kelompok radikal seperti ISIS sebenarnya berbeda. Menurutnya, anggota FPI pada umumnya adalah orang-orang tradisionalis seperti di Nahdatul Ulama (NU).
“Mereka, misalnya, merayakan Maulid Nabi. Kalau kita tanya orang ISIS, yang mendukung Daulah Islamiyah di Suriah, mereka semua antimaulid, katanya itu bid’ah. “Jadi secara teologi, tidak cocok untuk menuduh mereka teroris,” terang Sidney. Sidney Jones juga menilai tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada FPI “kurang tepat”.
Berbagai Kasus
FPI tak pernah sepi dari berbagai kasus, baik itu yang dilakukan oleh pimpinannya yakni Muhammad Rizieq Shihab maupun oleh anggotanya. Ini beberapa kasus yang tercatat sejak 2016 lalu. Yang menjerat Rizieq sebagai tersangka, yaitu penodaan terhadap simbol negara, Pancasila, yang diproses Polda Jawa Barat. Berikut ini deretan pengaduan publik kepada kepolisian atas dugaan ujaran kebencian Rizieq.
27 Oktober 2016, Sukmawati Soekarnoputri melaporkan Rizieq ke Kepolisian Daerah Jawa Barat karena dianggap menodai Pancasila, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 154a KUHP dan/atau Pasal 320 KUHP dan/atau Pasal 57a juncto Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
26 Desember 2016 (2), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia melaporkan Rizieq terkait dengan ceramah Imam Besar FPI itu dalam situs YouTube yang dianggap melecehkan umat Kristen ke Polda Metro Jaya. Rizieq dituduh melanggar Pasal 156 dan 156a KUHP serta UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
27 Desember 2016 (3), Student Peace Institute melaporkan Rizieq dengan tuduhan menyebarkan kebencian bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU ITE.
30 Desember 2016 (4), Laporan dugaan ujaran kebencian juga dibuat Rumah Pelita (forum mahasiswa-pemuda lintas agama). Ucapan Rizieq dinilai memecah-belah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, memecah-belah umat Islam, serta menimbulkan rasa benci terhadap sesama.
8 Januari 2017 (5), Jaringan Intelektual Muda Antifitnah melaporkan Rizieq perihal ceramahnya soal mata uang baru berlogo “palu-arit” ke Polda Metro Jaya. Rizieq dilaporkan atas dugaan melanggar Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 28 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 2 UU ITE.
10 Januari 2017 (6) Solidaritas Merah Putih (Solmet) melaporkan Rizieq ke Polda Metro Jaya. Menurut Solmet, warga negara Indonesia merasa tersinggung karena tidak terima dengan pernyataan Rizieq ihwal logo palu-arit dalam lembaran uang rupiah baru.
25 Januari 2017 (7), ada yang melaporkan pemimpin FPI, Rizieq Syihab, mengenai ucapan bahasa Sunda sampurasun yang diplesetkan menjadi “campur racun”. Pelapornya adalah Angkatan Muda Siliwangi pada 24 November 2015 ke SPKT Polda Jabar dengan nomor surat LPB/967/XI/2015/JABAR tertanggal 24 November 2015. Kasus ini tengah ditangani Subdit II Ditreskrimsus Polda Jabar.
Tanah Megamendung (8), Rizieq Syihab diduga terkait dengan penyerobotan dan pemilikan tanah negara tanpa hak. Tanah yang dimaksud, yaitu lahan Perhutani di Megamendung, Bogor, dekat rumah Rizieq.
30 Januari 2017 (9) Aliansi Mahasiswa Anti Pornografi, melaporkan penyebaran konten berbau pornografi yang diduga Rizieq Syihab dan Firza Husein ke Polda Metro Jaya.
Terakhir saat kepulangannya ke Indonesia tahun lalu. Rizieq menjadi tersangka melanggar protokol Kesehatan sehingga yang bersangkutan ditahan kepolisian.
Tak bisa dibiarkan
Mengenai dugaan terorisme, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo, enggan berkomentar banyak mengenai mereka yang melakukan tindakan terorisme pada akhirnya dikeluarkan oleh FPI.
Sugeng mengatakan, pemerintah mengambil pertimbangan berdasarkan data dari lembaga yang menangani tindak pidana terorisme, seperti BNPT maupun Densus 88. Termasuk dalam data tersebut ialah berita acara dari interogasi para terduga teroris yang mengatakan bahwa mereka anggota FPI. “Jadi kita tidak bisa mengatakan kalau dia dikeluarkan,” kata Sugeng.
Bagaimanapun, ia menekankan keterlibatan pengikut FPI dalam aksi terorisme hanyalah salah satu dari sekian banyak alasan yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam melarang FPI. Alasan utamanya, kata Sugeng, isi anggaran dasar FPI dianggap tidak sejalan dengan UU Keormasan. “Makanya pada saat pendaftaran [Surat Keterangan Terdaftar, SKT] dilakukan, ada hal-hal yang diminta Kemendagri untuk diperbaiki, tapi FPI tidak memenuhinya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Pemerintah beranggapan para pengikut FPI kerap melakukan kegiatan yang “meresahkan” meskipun Surat Keterangan Terdaftar-nya sudah ditangguhkan, misalnya membuat kerumunan saat pandemi Covid-19 untuk menyambut kembalinya pimpinan FPI Rizieq Shihab ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Alasan lainnya, kebiasaan FPI melakukan tindakan yang “membuat keresahan”, antara lain razia atau sweeping ke tempat-tempat yang dianggap bermaksiat.
Dalam UU Keormasan, disebutkan bahwa Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Sugeng mengatakan, dalam pengamatan pemerintah sejak tidak diperpanjangnya SKT, ternyata tidak ada perubahan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan FPI. Apalagi, setelah pimpinannya Rizieq Shihab kembali ke Indonesia dalam situasi pandemi Covid-19 ini.
“Maka pemerintah berkeputusan, dengan kondisi yang ada sepertinya tidak bisa lagi untuk dibiarkan,” ujarnya.
Sugeng membantah anggapan bahwa pelarangan FPI dilakukan dengan motif politik, mengatakan bahwa itu “murni” terkait dengan tugas pemerintah menciptakan ketertiban di masyarakat.
Ia juga membantah kalau ini adalah pengalihan isu dari penembakan enam anggota laskar FPI. Ia berkata insiden tersebut sudah masuk ke ranah penegakan hukum yang tidak bisa diintervensi pemerintah.
“Dan ini kondisinya semuanya terbuka, Komnas HAM sudah turun. Kemudian FPI sendiri sudah menyampaikan data-data dan langkah-langkah hukum yang mungkin akan dilakukan,” kata Sugeng.
Tidak Asal Tangkap
Dalam proses penanganan teroris yang dilakukan intelijen memiliki peran yang cukup besar. Intelijen mempunyai pengaruh sebesar 75 persen dalam penanganan terorisme. Melihat fungsi intelijen sangat krusial dengan tugas mendeteksi secara dini terorisme. Selain itu mendata potensi – potensi terorisme dan orang yang diduga berpaham radikalisme.
Hal itu dilakukan agar tak terjadi kesalahan dalam pengungkapan jaringan kelompok terorisme maupun adanya kesalahan prosedur dalam penangkapan. Semua dilakukan untuk memastikan benar – benar teroris.
Bekerja sebagai Intelijen Detasemen Khusus 88 Antiteror, memiliki tugas cukup berat. Mereka harus bekerja selama 7×24 jam tanpa henti.
Itu dilakukan untuk memantau setiap pergerakan semua jaringan atau kelompok teror yang telah terdeteksi.
Itu, yang dilakukan tim intelijen, sehingga baru masuk dalam fungsi penindakan. Proses penindakan hanya memiliki presentase sekitar 5 persen. Sedangkan 20 persen lainnya fungsi penyidikan dalam membuka informasi lain, sampai melakukan pelimpahan berkas ke Kejaksaan.
Hasil dari intelijen sudah ada beberapa orang yang terdeteksi dan dipunyai datanya diduga keterlibatan terorisme. Namun, kembali hal itu terbentur UU terorisme, Polri belum bisa melakukan tindakan represif.
Jadi penangkapan terduga teroris bukanlah pekerjaan ringan atau asal tangkap begitu saja. Namun itu dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Penangkapan terduga teroris di Makassar adalah salah satu hasil kerja keras tim Densus 88 sebelumnya, dan kini pun tengah mendalami sejauh mana keterkaitan FPI dalam aktivitas terorisme.
“Masih menunggu kerja dari Densus 88, namun siapapun yang terlibat dalam tindak pidana pasti akan di mintakan pertanggung jawaban hukumnya,” ucap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono, baru-baru ini.
Selain itu, Densus juga memboyong tujuh terduga teroris dari Gorontalo ke Jakarta pada hari yang sama. Mereka mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (4/2) siang lalu. Ke-26 terduga teroris itu merupakan kelompok JAD. “Mereka mempersiapkan diri melakukan latihan fisik, bela diri kemudian juga memanah, melempar pisau, dan menembak dengan senapan angin,” kata Brigjen Rusdi. (Saf).