Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan dengan peristiwa tewasnya prajurit TNI dan 3 pemuda asli Papua setelah sebelumnya terjadi konflik dan penyerangan bersenjata kepada aparat TNI-Polri. Berita ini berkembang menjadi bola liar yang seringkali melupakan kaidah jusnalistik yang adil dan beretika. Adakah harapan terwujudnya Papua yang aman dan sejahtera di masa depan?
Jakarta – (18/02/2021). “Biadab! TNI Pukul dan Siksa Tiga Pemuda Sampai Mati di Puskesmas Bilogai, Intan Jaya”, “KNPB: Jokowi “Panen” Darah di Papua.” Demikian judul berita yang muncul di SuaraPapua.com. Begitu provokatif dan dramatis pilihan kata dan kalimat yang tersaji sehingga bagi siapapun yang membaca akan terperangah. Benarkah demikian ? Apa yang terjadi sesungguhnya ? Benarkah pemerintah membiarkan kekerasan yang digambarkan tersebut terus terjadi ?
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) segera memberikan catatan terhadap perkembangan isu ini. Bahkan Kominfo merilis daftar Media Online dan Media Sosial yang yang diduga keras berafiliasi dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di lihat dari profilling berbagai tulisannya. Isi narasi yang dibuat. sumber berita tidak jelas dan bernada provokatif, penggiringan opini, memancing reaksi netizen dengan harapan membuat simpati dunia.
Itulah kenyataan yang ada. Dalam situasi konflik pihak yang bertikai terkadang menabrak norma-norma yang berlaku.
Langgar Prinsip Jurnalistik
Melihat daftar ratusan media online yang dirilis Kominfo yang diduga keras terafialiasi dengan KKB di Papua, memang sangat jelas dari judul maupun isi tulisan sangat provokatif dan spekulatif. Mengutip M. Yoserizal (2018) dalam artikel “Media Massa dan Jurnalisme: Kajian Pemaknaan Antara Media Massa Cetak dan Jurnalistik”, Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, Jurnalisme memiliki tugas yaitu, menyampaikan kebenaran, memiliki loyalitas kepada masyarakat, memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi, memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya, memiliki kemampuan untuk memantau kekuasaan, menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik, menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik, membuat berita secara komprehensif dan proporsional, memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka.
Melihat peristiwa terbaru di Papua ini, sudah saatnya bila media baik itu online maupun elektronik menggunakan jurnalisme investigasi guna memahami duduk permasalahan secara mendalam. Menurut Dhandy Dwi Laksono dalam bukunya Jurnalisme Investigasi terbitan Kaifa, Bandung 2010, adalah kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita yang bersifat investigatif, atau sebuah penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan.
Selain itu, investigasi merupakan penelusuran terhadap kasus yang bersifat rahasia. Sebuah kasus dapat diketahui kerahasiaannya apabila penelusuran terhadap kasus tersebut selesai dilakukan.
Kata jurnalisme investigasi sendiri menurut Dadi Sumaatmaja dalam “Reportase Investigasi, Menelisik Lorong Gelap. 2005. Jakarta: LaTofi Enterprise”, berasal dari bahasa Latin, yaitu journal dan vestigium. Journal atau diurnalis berarti orang yang melakukan kegiatan jurnalistik, dan vestigium yang berarti jejak kaki.
Maka dari itu, sebuah ihtiar Jurnalisme investigasi akan menghasilkan sebuah karya jurnalistik, yaitu laporan investigasi. Laporan investigasi sebagai sebuah karya jurnalistik tidak ditentukan oleh besarnya kasus yang dibongkar, melainkan manfaat atau dampak apa yang ditimbulkan setelah kasus tersebut terbongkar. Penelusuran sebuah topik yang ringan dapat dikatakan produk investigasi yang baik apabila mengungkap fakta bernilai besar bagi khalayak.
Laporan investigasi dalam pelaksanaannya membutuhkan modal yang banyak, terlebih apabila topik yang dipilih bersifat kompleks. Maka sebelum membuat konsep acuan, perlu ada riset awal, wawancara, dan observasi di lapangan. Perencanaan yang matang sangat dibutuhkan agar penelusuran dapat berjalan dengan baik, selain itu penyamaran dan koordinasi terutama bagi jurnalis televisi harus dilakukan dengan baik. Dalam hal ini seorang jurnalis juga dituntut untuk memiliki sifat skeptis atau ragu-ragu terhadap setiap fakta yang diperoleh, sehingga fakta tersebut akan terus digali hingga sampai ke akar permasalahan.
“Pada intinya, tujuan utama dari jurnalisme investigasi adalah mengungkap kesaksian dan bukti secara fisik dari suatu persoalan yang kontroversial. Jurnalisme investigasi lebih menekankan pada upaya mengungkap fakta yang sebelumnya tersembunyi dari publik. Karena itu, proses kerja jurnalis dalam liputan investigasi ini laksana detektif yang mengendus informasi tersembunyi dari banyak sisi dan mengungkapkannya,” demikian Ica Wulansari dan Indah Suryawati dalam Laporan Investigatif Konsep & Praktik Jurnalistik. 2013. Jakarta: Empat Pena.
Berbagai Upaya Pemerintah
Dari kajian ahli jurnalisme investigasi di atas dapat kita lihat bahwa banyak hal dan aspek yang harus dipenuhi sehingga isu sebesar dan sepenting Papua ini dapat tersaji dengan proporsional dan memberikan dampak positif kepada masyarakat bangsa Indonesia secara keseluruhan dan masyarakat internasional. Kemudahan teknologi media online, betapa pun tak dapat begitu saja digunakan untuk menggiring opini atau memprovokasi pembaca. Tapi jurnalisme memiliki tanggung jawab memberikan pencerahan kepada pembaca.
Untuk diketahui, Konflik di Papua memang sudah berlangsung panjang dan hingga saat ini masih terus diupayakan kemajuannya. Berbagai upaya memang dilakukan pemerintah, salah satunya memberi wewenang lewat status otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan status itu Papua dan Papua Barat mendapatkan suntikan dana otsus dari pemerintah setiap tahun.
Dana otsus untuk kedua provinsi itu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2016, pemerintah menggelontorkan Rp7,7 triliun untuk Papua dan Papua Barat, lalu meningkat menjadi Rp 8 triliun pada 2017 dan 2018, dan meningkat lagi jadi Rp8,4 triliun pada tahun 2020.
Selain dana otsus, Papua dan Papua Barat juga mendapat dana infrastruktur yang besarannya mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Namun, kebijakan-kebijakan itu seringkali dinilai tidak menyentuh permasalahan dasar masyarakat Papua, terkhusus soal kesejahteraan.
Dialog Kemanusiaan
Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam mencatat sepanjang medio 2020 rentetan kekerasan bersenjata yang terjadi di Intan Jaya, Papua telah menelan 8 korban, baik dari sipil dan TNI maupun lainnya. Korban itu, kata dia, termasuk Pendeta bernama Yeremia Zanambani, yang tewas karena tembakan.
Menurut Anam, pendekatan kekerasan, apapun alasan dan latar belakangnya hanya akan melahirkan pelanggaran HAM dan potensi kekerasan berikutnya. “Oleh karenanya Komnas HAM menyerukan penghentian kekerasan khususnya kekerasan bersenjata agar perdamaian berwujud di Papua,” kata dia dalam keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Senada, kolega Anam di Komnas Ham, Beka Ulung Hapsara mengatakan poin-poin utama bagi pemerintah untuk evaluasi penegakan keamanan di Papua.
Pertama adalah terkait operasi-operasi yang dilakukan pasukan TNI-Polri di Papua selama ini. Kemudian, juga berkaitan dengan penegakan hukum kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana.
Selanjutnya adalah dialog kemanusiaan yang setara antara Jakarta dan Papua, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, serta evaluasi otonomi khusus (otsus).
Papua Roadmap
Berbicara masalah Papua, ada baiknya kita Kembali melihat kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khususnya Pusat Penelitian Politik (P2P) bekerjasama dengan Yayasan TIFA bertajuk “Papua Road Map” yang disusun oleh Dr. Muridan Satrio Widjojo, Dr. Adriana Elisabeth, Cahyo Pamungkas, M.Hum., Rosita Dewi, S.Sos., dan Amiruddin Al Rahab, M.Si..
Menurut editor sekaligus penulisnya, Dr. Muridan Satrio Widjojo, “Buku ini merupakan karya yang menanamkan optimisme bahwa dalam ruang Indonesia yang makin demokratis, maka ruang untuk menyelesaikan masalah dengan cara dialogis bisa ditempuh. Hal ini bisa dilihat dari cerita sukses Aceh, ada Aceh Baru, dan dimana Papua juga ada Papua Baru; yaitu ketika Papua yang sedang memasuki tahap konflik menuju paska konflik—dimana semua elemen bangsa dan negara bisa mempunyai paradigma baru yang menghentikan siklus kekerasan politik, membangun masa depan baru”.
Buku Papua Road Map mencoba menjawab beberapa hal pokok antara lain: (1) problem marjinalisasi dan diskriminasi; (2) problem kegagalan pembangunan; (3) problem sejarah Papua. Dalam buku ini, tersimpan “gagasan-gagasan besar” yang dibutuhkan, jika kita ingin melihat suatu “Papua Baru”. Sebab itulah jika dilihat dari aspek praktis, buku Papua Road Map ditujukan bagi kalangan pembaca yang berlatar belakang pengambil kebijakan maupun aktivis, akademisi, dan publik pada umumnya; baik di tingkat nasional maupun internasional, agar dapat memiliki atau setidaknya, memahami, kompleksitas mengenai isu-isu mendasar di Papua. Dengan kata lain, menurut Muridan, “target kampanye ini adalah membuat para pembuat keputusan politik dan aktivis memperoleh wawasan komprehensif tentang situasi Papua, agar terjadi moderasi politik di pemerintah pusat dan Papua. Di sisi lain, elit Papua menjadi lebih aktif, optimis, realistis untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar di Papua”. (Saf).