Zero Accident Untuk Kurangi Korban Sia-sia di Jalan Raya

Banyak cara untuk mewujudkan zero accident, termasuk menaati aturan lalu lintas dan keselamatan berkendara sebagai bagian dari hukum yang berlaku. Dalam penerapan keselamatan berkendara dan road safety ini, perlu gerakan moral agar tak ada lagi korban sia-sia di jalan raya.

Jakarta. 25/02/202.  Pandemi Covid 19 satu tahun terakhir ini masih menimbulkan kehebohan  dan panik di sebagian besar kelompok masyarakat. Sampai sekarang, pemerintah masih berjuang keras untuk menekan laju perkembangan jumlah pasien yang terinfeksi dengan berbagai cara. Ketakutan jelas terasa, sebab virus ini belum ditemui penangkalnya dan vaksinasi pun belum bisa dilakukan serentak ke seluruh pelosok negeri. Laman covid19.go.id sampai tanggal 23 Februari 2021 ini mencatat pasien positif sebanyak 1.298.608 dan meninggal 35.014.

Tanpa bermaksud mengecilkan wabah Covid 19, sebetulnya ada fenomena lain, yang jauh lebih berbahaya dan sudah terbukti meminta banyak korban jiwa setiap harinya di Indonesia. Fenomena itu adalah kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Dalam Global Status Report on Road Safety (WHO, 2015) disebutkan bahwa setiap tahun, di seluruh dunia, lebih dari 1,25 juta korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan 50 juta orang luka berat. Dari jumlah ini, 90% terjadi di negara berkembang dimana jumlah kendaraannya hanya 54% dari jumlah kendaraan yang terdaftar di dunia. Bila kita semua tidak melakukan apapun, 25 juta korban jiwa akan berjatuhan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.

WHO membuat survei 20 besar penyakit atau hal yang menyebabkan kematian tertinggi di dunia. Hasilnya mencengangkan. Pada 2004 kecelakaan lalu lintas menduduki posisi ke-9 sebagai penyebab kematian jauh di bawah HIV/Aids. Namun diprediksi pada 2030, Kecelakaan lalu lintas ini akan naik ke peringkat 5 paling mematikan, sedangkan HIV/Aids turun ke peringkat 10. Ini tentunya bukan lagi peringatan tapi sudah butuh tindakan segera – need call to action!

Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri Brigjen Chrysnanda Dwilaksana juga menyajikan data yang tak kalah miris. Menurutnya, tingkat fatalitas korban kecelakaan di Indonesia sangat mengkhawatirkan dan harus ditekan. “Sebelum kondisi pandemi, sekitar 60-80 nyawa melayang tiap harinya karena kecelakaan lalu lintas,” ujarnya prihatin.

Roda dua penyumbang kecelakaan terbesar

Dalam Buku Potret Lalu Lintas di Indonesia pada 2019, populasi kendaraan bermotor seluruh Indonesia pada 2018 berkisar 141.428.052 unit, dan 81,58 persen populasi kendaraan bermotor adalah sepeda motor. Dominasi sepeda motor, bisa menjadi faktor meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan pulau, Pulau Jawa menjadi pulau dengan populasi kendaraan bermotor terbanyak, yaitu 72.329.662 unit atau 51,14 persen. Sementara berdasarkan provinsi, DKI Jakarta adalah provinsi yang memiliki jumlah kendaraan bermotor terbanyak di Indonesia, dengan jumlah per kapita sebanyak 1,98, atau setiap orang memiliki dua unit kendaraan bermotor.

Jumlah sepeda motor di Jakarta, sebanyak 20.770.538 unit, atau sekitar 14,6 persen. Secara nasional, kepemilikan kendaraan per kapita adalah 0,53, atau setiap dua orang memiliki satu unit kendaraan bermotor. Sementara itu, berdasarkan usia pelaku, persentase terbesar di usia produktif, dengan rentan usia 17 sampai 49. Sebanyak 71,78 persen adalah kelompok usia 22 sampai 29 tahun, dengan persentase sebanyak 20,23 persen, kelompok usia 30 sampai 39 sebanyak 17,83 persen, kemudian pada kelompok usia 17 sampai 21 tahun sebanyak 17,51 persen, dan kelompok usia 40 sampai 49 tahun sebanyak 16,21 persen.

Jumlah korban yang teridentifikasi usianya pada 2018 adalah 139.374 orang, dengan jumlah terbesar korban kecelakaan lalu lintas, berada pada usia 25-39 tahun. Namun, kelompok usia terbesar yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan, berada pada usia 15 sampai 54 tahun, dengan kisaran sebanyak 72,13 persen. Kemudian, sebanyak 11,68 persen korban kecelakaan lalu lintas jalan, ada pada kelompok usia 0 sampai 14 tahun. Di sepanjang 2018, dari 196.457 kejadian, 73,49 persen kecelakaan lalu lintas jalan melibatkan sepeda motor. Persentase keterlibatan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis kendaraan lainnya. Pada 2015 sampai 2018, lebih dari 95 persen kejadian kecelakaan, terjadi pada kondisi jalan yang baik. Sehingga kecelakaan terjadi, cenderung pada pengendara yang berkendara, dengan kecepatan tinggi dan tidak hati-hati.

Penyebab Kecelakaan

Dengan ketidakdisiplinan masyarakat dalam berkendara di jalan, lebih dari 10 tahun terakhir, angka kecelakaan lalu lintas pengguna sepeda motor, terus meningkat. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah, namun, upaya yang dilakukan masih harus ditingkatkan. Banyaknya catatan kecelakaan pada pejalan kaki dan pengendara motor, WHO dan Korlantas Polri, mencatat ada sembilan faktor penyebab kecelakaan lalu lintas, diantaranya sebagai berikut.

Faktor pertama penyebab kecelakaan lalu lintas adalah penggunaan helm, kemudian abai terhadap keselamatan anak-anak di jalan, selanjutnya melawan arus. Kemudian, faktor selanjutnya adalah penggunaan handphone saat berkendara, melanggar batas kecepatan, minum minuman beralkohol, kelelahan mengemudi (ngantuk), dan tidak menggunakan sabuk keselamatan, serta penggunaan angkutan barang untuk angkutan orang.

Data 2012 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencatat penggunaan bahan bakar minyak (BBM), untuk sepeda motor sebesar 40 persen. Sementara sisanya, mobil 53 persen, kendaraan angkutan umum hanya 3 persen dan kendaraan angkutan barang 4 persen. Dengan populasi sepeda motor yang makin marak, konsumsi BBM sepeda motor akan semakin meningkat, dan menggerus penggunaan BBM oleh transportasi umum. Sementara sepertiga kebutuhan BBM Indonesia masih diimpor.

Rekomendasi KNKT

Dalam rangka mengurangi tingkat kecelakaan, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), telah merekomendasikan ke sejumlah instansi terkait. Pertama, Direktorat Sarana Transportasi Jalan Ditjenhubdat, mengevaluasi pengunaan motor matic pada daerah pegunungan. Evaluasi dilakukan dengan menguji tipe pada motor matic tersebut. Kedua, Kepala Puslitbang Jalan dan Perkeretaapian, Badan Litbang Perhubungan, melakukan kajian terhadap keselamatan motormatic pada daerah pegunungan. Ketiga, Dirjen. Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, Kemenperin, mewajibkan Agen Pemegang Merk (APM), untuk menerbitkan buku panduan penggunaan sepeda motor bertransmisi otomatis, mengenai cara berkendara yang aman di daerah pegunungan.

Keempat, Agen Pemegang Merk Industri Sepeda Motor, memberikan buku panduan pengggunaan sepeda motor bertransmisi otomatis, mengenai cara berkendara yang aman di daerah pegunungan, dan melaksanakan research and development, mengenai penambahan secondary brake pada sepeda motor bertransimis otomatis. Kelima, Ikatan Motor Indonesia (IMI), memberikan safety campaign kepada pengguna sepeda motor bertransmisi otomatis, mengenai tata cara berkendara yang aman khususnya pada daerah pegunungan.

Menata Transportasi Umum

Selain itu, Indonesia juga bisa belajar dari Vietnam, dalam hal kebijakan sepeda motor, dengan melarang penggunaan sepeda motor, di ibukota Hanoi pada 2030. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di jalan raya ini, merupakan upaya Vietnam untuk mengurangi kemacetan dan polusi dan menekan angka kecelakaan lalu lintas. Ke depan, Indonesia disarankan untuk memiliki roadmap kebijakan sepeda motor. Maraknya penggunaan sepeda motor sekarang ini, karena negara telah gagal menciptakan transportasi umum, hingga ke seluruh pelosok negeri.

Mengutip pendapat Akademisi Prodi Teknik Sipil ITB, Sony Sulaksono, pada 2020, menyebutkan transportasi umum adalah solusi sulit diselenggarakan saat ini, namun untuk kebaikan lebih besar di masa depan. Pastinya pemerintah tak boleh menutup mata terkait transportasi, harus segera bertindak. Sesegera mungkin menata transportasi umum yang menghubungkan antara pedesaan dengan perkotaan, termasuk di daerah terpencil.

Manajemen Road Safety

Dengan seabrek permasalahan dan peliknya pengaturan keamanan dan keselamatan berlalulintas, Polri tetap gigih berupaya menangani kemaslahatan para pemakai jalan (road taker). “Berlalu lintas merupakan gerak pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Standar dalam pergerakan tersebut ada standar ideal waktu tempuh dengan jarak tempuh. Tentu ada standar kecepatannya. Standar kecepatan minimal maupun maksimal ini yang perlu dipahami dan kita atur sendiri,” ujar Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri Brigjen Chryshnanda Dwilaksana.

Menurutnya, cara mengaturnya diperlukan model yang diatur dalam road safety management yang mampu mencakup: manajemen kebutuhan, manajemen kapasitas, manajemen prioritas, manajemen kecepatan dan manajemen kontijensi atau kedaruratan. Proses mengatur lalu lintas sendiri diatur dalam safer road safer, vehicle safer road users dan post crash care. Inti dari manajemen tersebut adalah terwujud dan terpeliharanya lalu lintas yang aman selamat tertib dan lancar. Meningkatnya kualitas keselamatan dan menurunnya tingkat fatalitas korban kecelakaan. Serta terbangunnya budaya tertib berlalu lintas dan terwujudnya pelayanan prima di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Jangan Anggap Peraturan sebagai Beban

Dalam implementasi di lapangan, masih menurut Chrysnanda, tentunya ada pajak, asuransi, sistem uji sim, penegakan hukum dan sebagainya. Sayangnya proses ini malah dianggap beban yang memperberat kehidupan masyarakat. Dalam kondisi ini, pendekatan road safety pun dianggap momen untuk memperoleh simpatik. Meski belakangan muncul wacana SIM seumur hidup, namun hal ini dianggap tak mendasar dan hanya mencari sensasi politik demi keuntungan semata. Bukan tanpa alasan, sesuai dengan peraturan Polri, masa berlaku SIM adalah 5 tahun, dan tidak ada yang menjamin seseorang dalam waktu 5 tahun ke depan, masih akan memiliki keterampilan berkendara yang sama dengan saat ini.

Dengan cara ini, pengendara yang berada di jalan, akan tetap dalam kontrol pemerintah dengan melakukan perpanjangan per 5 tahun. Pengujian keterampilan dan pengetahuan mengenai lalu lintas adalah hal yang mutlak dimiliki oleh seluruh pengendara baik mobil maupun sepeda motor. Selain itu menurut Chrysnanda, pajak dan asuransi merupakan investasi road safety termasuk juga denda tilang. Cara pandang road safety sebagai beban sehingga harus dihapuskan ini sama saja membiarkan orang menjadi pembunuh dan dibunuh di jalan raya. “Sama juga tidak peduli terhadap produktivitas masyarakat. Tatkala road safety jadi permainan termasuk undang undangnya sama saja peradaban diruntuhkan kepentingan khusus.” Terakhir, Ia menegaskan agar tetap membawa ranah road safety ini sebagai pegangan untuk peduli keselamatan dalam berkendara. Bukan sebagai gaya-gayaan semata. (Saf).

Exit mobile version