Beberapa waktu terakhir ini kita dikejutkan dengan beberapa kasus mencuat menyoal criminal yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian, mulai dari penyalahgunaan narkoba, pemasok senjata dan amunisi kepada KKB Papua sampai dengan aksi koboy penembakan yang dilakukan di Cengkareng Jakarta baru-baru ini yang menewaskan 3 orang. Satu yang menjadi masalah adalah pengajuan praduga tak bersalah dan perlindungan kepada tersangka atas pemberitaan demikian melebihi batas, oleh sebab itu dipertanyakan penegakkan kode etik jurnalistik di kalangan insan pers dan awak media.
Jakarta. 26/02/2021. Sehari yang lalu tepatnya Kamis (25/2) dini hari kita dikejutkan dengan aksi koboy oknum anggota Polri berpangkat Bripka yaitu CS yang diduga melakukan penembakan dengan senjata apinya kepada tiga orang di sebuah Café di Cengkareng Jakarta Barat. Tercatat korban meninggal adalah seorang anggota TNI berinisial S dan dua lagi adalah pegawai kafe berinisial FSS dan M. Satu pegawai kafe lainnya, H, mengalami luka dan telah diselamatkan dengan dibawa ke rumah sakit. Tindakan koboy ini tentu mencederai polisi sebagai aparat ketertiban dan keamanan. Ditenggarai bahwa kasus ini bermula dari penagihan bayaran atas minuman keras yang sudah dikonsumsi sejumalh 3,3 juta dan pelaku menolak untuk membayar sehingga terjadi cekcok yang berakhir dengan aksi penembakan. CS yang merupakan anggota Polsek Kalideres akhirnya disidik dan dilakukan pemeriksaan secara maraton oleh satuan Propam Polda Metro Jaya dalam upaya mengumpulkan sejumlah temuan guna pengembangan atas kasus yang ada.
Tindakan penyalahgunaan senjata api dan kekerasan yang mengarah kepada penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) pada sejumlah aparat negara adalah kerap terjadi. Gesekan aparat dengan masyarakat atau dengan instansi samping merupakan wujud dari rasa frustasi atas beban kerja yang ada pada anggota di lapangan. Kita tidak bisa tinggal diam dengan masalah stress di tempat kerja karena ini bisa saja membuat semua kejadian ini bisa ada. Jam kerja yang berlebihan, kedisiplinan yang terlalu ketat, target kerja yang jauh dari pencapaian dan ekspektasi kerja yang hanya angan-agan adalah sejumlah kasus yang kerap ada pada instansi yang jelas beban kerjanya berat.
Adalah setuju bila kemudian Kapolri memerintahkan untuk melakukan pengecekan ulang senjata api dan kepemilikannya dikaitkan dengan pengkajian ulang pada tes psikologi anggota yang menggunakan. Langkah strategis ini merupakan upaya untuk meminimalisir penyalahgunakaan senjata di kepolisian yang dianggap cukup longgar dalam pengawasan dan pengendalian di lapangan. Sejatinya senjata api digunakan untuk penegakkan hukum dan perlindungan diri bagi anggota di lapangan, bukan malah mengancam keselamatan dan jiwa orang lain. Pada selanjutnya bila dalam tes psikologi kepemilikan senjata sudah jatuh tempo (expire) maka kepemilikan senjata api akan ditarik dikembalikan ke markas.
Menyikapi kejadian berantai kriminal dengan pelaku oknum kepolisian pakar komunikasi Dr Ilham Prisgunanto sangat menyayangkan denga apa yang dilakukan awak media massa. “Iya mereka adalah diduga pelaku dan tersangka, apakah awak jurnalis bisa sewenang-wenang menginformasikan setelanjang-telanjangnya kepada public? Apakah ini tidak berlebihan?”tanyanya menyikapi kerja jurnalis yang sudah kebablasan. Di era virtual digital ini mata dan telinga public menjadi sangat santer dan menyerap segala informasi yang ada dari berbagai media dan ini yang mengkhawatirkan bila tidak diantisipasi dengan kedewasaan dan sikap bijak.
“Bayangkan ada media yang menampilkan wajah pelaku secara jelas tidak disamarkan, bahkan ada yang dengan sengaja menampilkan akun media sosial pelaku, ini apa maksudnya? Apakah ini tidak mencederai konsep praduga tak bersalah pada pelaku? Atau sedemikian bencikah dengan aparat kepolisian?” tanyanya serius. Baginya etika jurnalistik jelas mengatur ini dalam keperluan perlindungan pada tersangka yang belum tentu dia sebagai pelaku. Kejadian serupa sering terjadi di luar negeri dimana media massa menjadikan publik sebagai hakim atau jaksa di lapangan. Kemarahan dan kebencian public bisa digunakan sebagai senjata kepada pelaku yang belum terbukti secara hukum.
“Jelas ini semua cortem of court, atau penghinaan kepada peradilan yang ada,” jelas dosen Komunikasi Sosial STIK PTIK. Prinsip Cover Both Side, konfirmasi dan keseimbangan pemberitaan seharusnya dipegang teguh oleh awak media dalam melangsir sebuh berita. Bukan berarti era digital dengan pengutamaan media sosial semua diterabas sehingga insan pers hanya mengabdi kepada perolehan laba dan keuntungan saja tidak lebih. “Saya yakin pers yang sehat akan menimbulkan iklim keterbukaan yang sehat dan berakhir dengan hilangnya Hoax.” Sebutnya. (Pris)