Penanganan kejahatan siber masuk pada pemolisian modern yang tidak menggunakan pendekatan tradisional. Karenanya, sepanjang personel yang bekerja di bidang ini belum mampu berfikir digital secara holistik akan sulit tugasnya bisa berhasil.
Polisi siber harus menyadari adanya budaya keamanan yang rendah pada masyarakat. Seperti ditunjukkan di Inggris sebenarnya inti masalah terletak pada unsur manusianya. Bukan rahasia lagi penggunaan sosial media dan akun online yang marak telah makin memudahkan pelaku kejahatan siber untuk mencuri detil personal individu-individu dalam masyarakat.Bila personel polisi dapat memahami hal ini, 80 persen persoalan kejahatan siber menurutnya bisa dicegah.
Jakarta, 17 Maret 2021. Polisi siber kini sudah hadir dan mulai berpatroli secara aktif di Indonesia. Namun banyak pihak masih mempertanyakan apakah mereka sudah memenuhi standar seperti halnya kerja polisi siber berstandar internasional untuk menjalani tugas-tugasnya. Apakah polisi siber yang sudah lama dan ‘established’ di negara-negara lain masih mengalami persoalan-persoalan kompleks yang perlu dicarikan solusinya? Menurut Tatana Tropina dalam Cyber-policing: the role of the police in fighting cybercrime, pemolisian di ranah siber merupakan agenda masa depan yang masih menyimpan banyak pertanyaan untuk diangkat dan dicarikan jalan keluarnya.
Hal ini karena tantangan unik yang ditimbulkan dari pembentukan kebijakan ranah online yang tidak lagi bisa menggunakan pendekatan tradisional dalam pemolisian masyarakat. Kini perlu instrumen-instrumen yang baru, baik di segi aturan, aplikasi maupun yang sifatnya teknis. Tujuannya agar upaya penyelidikan, pengembangan ketrampilan dan kerja dengan bukti-bukti elektronik bisa dijalankan.Tantangan polisi yang lain adalah dalam pembinaan hubungan yang baik dengan pemain industri dan kemitraan dengan sektor swasta dan industri keamanan siber. Kepemilikan atas teknologi baru dalam investigasi dan pendeteksian kejahatan masih sering tidak sinkron apakah bisa diterapkan atau tidak.
Kerjasama internasonal/global diperlukan karena menyediakan kesempatan pada polisi siber untuk dapat berperan lebih solid untuk memfasilitasi kerjasama antar negara, yakni kerjasama yang menjunjung operasional yang efektif untuk berbagai informasi. Kompleksitas masalah kejahatan siber sebenarnya merupakan isu global meskipun tiap negara memilki sistem yang berbeda-beda. Pada umumnya polisi siber di luar negeri adalah mereka yang tergabung dalam unit-unit siber yang dikhususkan menangani masalah kejahatan siber dan dikenal dengan nama polisi digital atau politik internet, dengan deskripsi pekerjaan yang tidak berbeda.
Di Indonesia masalah kejahatan siber masih belum lama ditangani sehingga masih banyak persoalan-persoalan yang dihadapinya.Menurut ahli cybersecurity Tangguh Chairil, ancaman-ancaman kejahatan siber di Indonesia perlu dipetakan dulu sehingga akan mudah dapat diidentitikasi. Selanjutnya, menurutnya, UU ITE, yaitu satu-satunya undang-undang mengenai keamanan siber yang ada masih belum termasuk soal intersepsi siber dan e-commerce. Selain itu juga masih belum mengatur peran pemerintah dalam sistem keamanan siber. Pemerintah menurutnya juga harus berusaha berusaha menggolkan Undang-Undang keamanan siber sehingga nantinya bisa dibedakan antara yang mana serangan siber pertahanan dengan kejahatan siber yang lain. Kejahatan siber tidak selalu menargetkan keamanan nasional seperti halnya aksi terorisme, namun mungkin hanya pelanggaran kriminal. Sampai sekarang perbedaan tersebut menurutnya belum jelas di Indonesia.
Apakah organisasi kepolisian yang menangani persoalan siber di dunia juga menghadapi persoalan-persoalan yang sama?
Persoalan Pelik Polisi Siber
Mungkin tidak pernah terfikirkan bahwa kesiapan polisi siber di negara maju pun, meski kedengarannya gagah dan profesional, masih terus menghadapi tantangan-tantangan besar seperti misalnya Belanda dan Amerika Serikat. Menurut laporan-laporan, tingginya laju kejahatan siber di kedua negara telah membuat tidak tertanganinya masalah-masalah kejahatan siber yang masuk. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa kemampuan dan kapasitas personal polisi siber di kedua negara itu tidak selalu prima dan dapat mengecewakan publik. Penelitian di Belanda khususnya, menunjukkan bahwa masuknya laporan kasus-kasus kejahatan siber ke pihak kepolisian sering tidak dibarengi kesiapan staf polisi seperti yang diharapkan terutama di tingkat lokal. Padahal selama sudah mengikuti berbagai pelatihan dan dibekali ketrampilan dan keahlian bidang digital seperti forensik, hacking, ancaman, akses hardware, ‘reverse enginerring’ tracing digital dan analisis jaringan.
Personel polisi yang ditugaskan di unit kejahatan siber memang masih sering ketinggalan dan kerepotan menghadapi jenis kejahatan siber yang terbaru. Sangat sedikit spesialis yang ada, dan biasanya hanya ditempatkan di pusat. Ini membuktikan pembekalan keahlian dan penguasaan teknologi digital harus selalu diperbaharui dan diperluas bagi polisi siber di manapun. Tentu saja kenyataan ini menyadarkan bahwa kejahatan siber modern yang canggih seringkali tidak dapat diantisipasi dengan pendekatan yang sama canggihnya. Polisi siber perlu selalu berupaya mengejar dan memperbarui pelatihan-pelatihan yang lebih cocok sebagai polisi digital di era digital.
Laporan khusus terhadap kinerja polisi siber di Amerika tidak berbeda dengan Belanda di atas. Masyarakat Amerika menganggap polisi siber (FBI) mereka hanya mendedikasikan pekerjaannya pada kasus-kasus tertentu di pusat. Laporan-laporan masyarakat seringkali dikeluhkan tidak direspon dan malahan diabaikan. Itulah salah satu sebab angka kejahatan siber di Amerika tidak selalu mencerminkan apa yang terjadi karena korbannya banyak yang enggan melaporkan kasus-kasusnya ke FBI.
Investasi besar diperlukan
Ke depannya tidak saja personel polisi siber harus ditambah jumlahnya namun juga ditingkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam menangani persoalan-persoalan kejahatan siber yang kian rumit. Menurut Phil Cobley, ahli digital yang lama berkecimpung dalam penanganan kejahatan siber, kunci utama yang penting dalam penanganan kejahatan siber ironisnya bukan mengenai teknologi sama sekali, namun lebih mengenai adopsi atas budaya baru mengenai keamanan pribadi. Karenanya itu dapat dimulai dari personel polisi itu sendiri, menerapkannya secara profesionsl maupun ketika berada di rumahnya mereka sendiri.
Penanganan kejahatan siber masuk pada pemolisian modern yang tidak menggunakan pendekatan tradisional. Karenanya, epanjang personel yang bekerja di bidang ini belum mampu berfikir digital secara holistik akan sulit tugasnya bisa berhasil. Polisi siber harus menyadari adanya budaya keamanan yang rendah pada masyarakat. Seperti ditunjukkan di Inggris sebenarnya inti masalah terletak pada unsur manusianya. Bukan rahasia lagi penggunaan sosial media dan akun online yang marak telah makin memudahkan pelaku kejahatan siber untuk mencuri detil personal individu-individu dalam masyarakat.Bila personel polisi dapat memahami hal ini, 80 persen persoalan kejahatan siber menurutnya bisa dicegah.
Target utama kejahatan siber seringkali adalah berhubungan dengan bantuan dari pihak korban yang secara voluntir mau membantu mereka melicinkan kejahatannya. Mereka baru berhasil melaksanakan niatnya bila dibantu baik langsung maupun tidak langsung atas peretasan data pribadi mereka lewat email, pertemanan dalam sosial media, telepon dan sebagainya. Hubungan baik dengan kalangan industri juga diperlukan. Seperti halnya di Indonesia, di Inggris mereka banyak berhubungan dengan industri skala kecil dan menengah. Sehingga fokus pekerjaan seringkali berhubungan pada cara bagaimana mengatur infrastruktur dan prosedur mencari solusi untuk membantu persoalan mereka. Pendeknya, misi utama yang penting adalah pencegahan dan edukasi bagi masyarakat pengguna internet. Dan hal ini bisa dilakukan dengan membentuk kemitraan engan kalangan bisnis tersebut, idustri maupun universitas.
Belajar dari negara lain
Polisi siber di beberapa negara telah mulai bekerja secara produktif dan efisien, Misalnya apa yang sudah dicapai polisi Inggris dan polisi Australia di mana setiap unit sudah menyediakan layanan kejahatan siber sudah tersebar di beberapa bagian. Mereka juga menaruh perhatian pada segi pelatihan berangkat dengan filosofi bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan jauh lebih kecil dibanding dapat melakukan penyelamatan kerugian finansial akibat serangan siber yang ditangani.
Di negara-negara tertentu, pihak polisi siber telah mampu menyelidiki dan menangkap pelaku-pelaku kejahatan siber dan menolong pelaku bisnis yang menjadi korban kejahatan agar bisa memulihkan kerugian finansialnya. Mereka mulai menyediakan edukasi agar personelnya bisa memproteksi diri dari kejahatan siber termasuk juga menghambat kelompok-kelompok yang riskan muncul sebagai pelaku kriminal siber. Tentu saja dana yang diperlukan tidak sedikit. Kemampuan digital untuk mengantisipasi kejahatan siber yang meluas memberi manfaat yang besar dan cocok diterapkan pada era pemolisian modern sekarang ini.
Kemampuan mengumpulkan dan menyerahkan bukti digital secara legal dari gajet antara lain bisa membantu memecahkan masalah-masalah non siber. Misalnya keahlian menyertakan bukti digital yang membantu kerja polisi dalam upaya menangkap pelaku kriminal, meneliti aktivitas di tempat tinggal, di lingkungan bisnis mereka dan seterusnya. Pemerintah juga seharusnya tidak hanya memfokuskan diri pada kasus-kasus tertentu di pusat tapi sudah saatnya membentuk pula jaringan polisi siber di tingkat lokal agar bisa menjadi tangan pertama yang mengidentifikasi pencegahan kejahatan siber.
Inovasi
Ciri yang jelas dari unit siber yang berhasil di negara-negara lain adalah pelatihan siber yang tidak hanya diberikan kepada polisi itu sendiri, tapi juga bagi semua personel polisi. Semua aparat kepolisian harus memiliki pengetahuan yang cukup dan memadai atas pemahaman siber dan kejahatan siber. Idealnya, kepolisian merekrut mereka yang profesional di bidang keamanan siber untuk mau bergabung. Dalam kenyataannya, sulit menarik mereka masuk karena terserap pada perusahaan-perusahaan I T ternama, sementara pengetahuan digital personel kepolisian masih amat rendah.
Di Inggris, mereka membuat inisiatif meminta kepada perusahaan teknologi keamanan komputer untuk mengirim ahli-ahlinya langsung untuk menyelenggarakan pelatihan bagi 120 ribu anggota polisi baik tatap muka maupun secara online. Dalam pelatihan tersebut mereka disadarkan meningkatkan pengetahuan mereka tentang ancaman siber sekaligus memahami prosedur. Sesudah pelatihan tersebut diciptakan kebijakan untuk membuat unit-unit kejahatan siber di seluruh bagian dan tidak khusus pada meja siber saja. Tujuannya agar pekerjaan mereka dapat efektif dalam mengejar pelaku, menolong bisnis dan memproteksi korban secara preventif sebelum terkena langsung kata Kepala badan nasional kejahatan siber Inggris, Constable Peter Goodman
Pentingnya kerjasama internasional
Salah satu kesulitan menghadapi kriminal modern adalah faktor lintas negara. Kejahatan siber kini berciri kejahatan tanpa batasan negara, biasanya terorganisir rapi dalam bentuk grup maupun individu-individu. Kadang pelakunya terang-terangan dilindungi rejim tertentu di suatu negara dan mereka memilih tutup mata dan tidak melakukan tindakan apapun sepanjang pelaku hanya melakukan operasi kriminalitasnya di negara lain. Polisi siber seharusnya tidak boleh lupa bahwa kejahatan siber kini terjadi pada lansekap yang sama sekali berbeda dibanding sebelumnya, sehingga terjalinnya kerjasama internasional menjadi sangat penting guna menyikapi persoalan kejahatan siber yang makin kompleks.
Ketimbang mencoba menangkap mereka, perlu dicarikan cara-cara efektif untuk melumpuhkan mereka dengan melibatkan kerjasama dengan dunia penegakan hukum siber dunia. Akhirnya dunia masih menunggu hadirnya kode etik internasional yang dapat disetujui oleh semua untuk perilaku keamanan informasi. Polisi siber di seluruh dunia perlu bersama-sama mengembangkan norma-norma tingkah laku dalam ruang digital seperti yang sudah pernah diajukan ke PBB pada 2015 dan menunggu pengesahannya. (Isk – dari berbagai sumber)