Jakarta –
Di lingkungan pesantren yang umumnya menganut budaya patriarki, tampilnya perempuan sebagai pemimpin tentu menjadi tak lazim. Tak heran bila kemudian terjadi cemoohan hingga pengucilan. Nyai Masriyah Amva selama bertahun-tahun mengalami hal itu ketika mulai memimpin Pesantren Kebon Jambu al-Islamy di Babakan Ciwaringin, Cirebon. Dia terpaksa menggantikan suaminya, KH Muhammad, yang meninggal dunia pada 2007.
“Satu persatu orang tua menjemput anaknya yang nyantri di sini. Para alumni dan pengurus pesantren pun diam-diam mencibir. Mereka memandang saya sebelah mata,” kenang Masriyah saat ditemui tim Blak-blakan detikcom, Jumat (9/4/2021).
Baca juga: Pencapaian Kesetaraan Gender Mundur di Masa Pandemi Corona Masriyah Amva Bila lelaki kuat dan berjaya karena bersandar kepada Allah, perempuan pun harus demikian. Di situlah akan terjadi kesetaraan manfaat, saling menghormati peran dan fungsi masing-masing.
“Saya yakin kesetaraan itu menguatkan bukan merusak agama,” kata alumnus Pesantren Al-Muayyad Solo, Pesantren Al-Badi’iyyah Pati, dan Pesantren Dar al-Lughah wa Da’wah di Bangil, Jawa Timur itu.
Pandangan tersebut tentu tak serta-merta diterima di lingkungan budaya patriarki. Ketika dia mulai menanamkan nilai-nilai kemandirian dan kesetaraan semacam itu kepada para santriwatinya, dia ditentang. Dianggap menyimpang dari doktrin agama dan budaya.
“Justru banyak sesama perempuan yang harusnya membantu saya untuk bangkit tapi karena ketakutan dengan kebangkitan saya lalu ditekan untuk hancur. Tapi saya tidak mau sebab ingin punya manfaat seperti laki-laki yang hebat,” tegasnya.
Perempuan kelahiran Cirebon, 13 Oktober 1961 itu mengaku semula dirinya pun sempat terpuruk ketika suaminya berpulang. Sekitar tiga bulan dia merasa separuh jiwanya hilang, masa depannya gelap. Hingga pada suatu waktu ego dan kesadarannya bangkit.
Saat itu Masriyah Amva melihat bila suami kehilangan isteri pada umumnya tetap tegar perkasa. Rupanya hal itu karena mereka bersandar pada kekuatan sang Khalik. Dirinya pun harus bersikap serupa. Tak ada yang patut menjadi sandaran hidup kecuali sang Pencipta itu sendiri.
“Ya Allah, hari ini kuangkat Engkau sebagai kekasih sebagaimana lelaki menjadikan-Mu sebagai kekasih. Aku berjanji akan berbuat lebih baik dan aku akan membuktikan bahwa Engkau lah yang terbaik dari suami saya atau dari semua makhluk lainnya,” katanya mengutip salah satu coretan di bukunya. Sejak 2007 Masriyah telah menerbitkan lebih dari 20 buku novel, puisi dan motivasi, serta ketuhanan.
Perlahan jumlah santrinya kembali bahkan terus bertambah hingga kini tercatat sekitar 1.700 orang. Bila sebelumnya proposal bantuan yang diajukan berkali-kali ditolak, bertahun kemudian banyak pihak mengulurkan bantuan tanpa dia harus mengajukannya.
Masriyah Amva menjelma bak Kartini masa kini. Tak cuma mengurusi pesantren, dia juga aktif di bidang pemberdayaan masyarakat, seperti organisasi pendampingan perempuan Mawar Balqis, kajian keagamaan Fahmina Institute, serta Muslimat Fatayat NU.
Eksistensi dan prestasinya sebagai pemimpin pesantren di tengah budaya patriaki perlahan diakui banyak pihak. Dua penghargaan, Albiruni Award untuk bidang dakwah melalui seni dan budaya pada 2012, dan SK Trimurti Award sebagai tokoh gender dan pluralis pada 2014 adalah buktinya.
(jat/jat)