Di dunia internasional pihak pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk menolak tegas tuduhan-tuduhan LSM internasional terutama mengenai pelanggaran HAM di Papua yang disebut sebagai mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Indonesia merasa sudah memiliki mekanisme nasional yang kredibel bagi pemajuan dan perlindungan HAM di Papua. Kelompok LSM berharap, pihak kepolisian dapat selalu menjamin situasi kondusif di semua bagian Papua dan harus selalu melakukan tugas penegakan hukum agar warga Papua bebas dari perlakuan diskriminatif, rasial, kekerasan, persekusi dan intimidatif. Harus dihindari penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian itu sendiri. Pihak Polri juga diharapkan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya bekerja bersinergi dengan pihak Komnas HAM, sesuatu yang masih jauh dari yang diharapkan selama ini.
Jakarta, 27 April 2021. Persoalan HAM (Hak Asasi Manusia), peran polisi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) kembali dipertanyakan seiring munculnya operasi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua terjadi baru-baru ini, seiring dengan munculnya dorongan agar status KKB diganti sebagai kelompok teroris. Banyak tuduhan dilemparkan kepada pihak LSM sebagai pihak di balik tuntutan dan suara vokal menyuarakan keadilan dan HAM di Papua. Apakah memang ada keterlibatan LSM dalam KKB di Papua selama ini? Mungkin pertama-tama perlu dijelaskan faktor-faktor mengapa LSM dapat tumbuh dan berkembang menjadi penyuara kritik paling keras terhadap pemerintah maupun kepolisian d Papua selama ini. Tumbuhnya LSM lokal di Papua berkembang era 1980-an, di tengah-tengah munculnya resistensi dan marjinalisasi masyarakat lokal Papua akibat munculnya persoalan birokrasi dan korupsi pembangunan di tanah Papua.
Meskipun kehadiran partai politik (parpol) sesudah reformasi sangat diharapkan oleh masyarakat, namun mereka ternyata tidak dapt diharapkan. Kalangan parpol bahkan terus menyibukkan diri mencari dan memperluas kekuasaan mereka. Sementara kelompok LSM di Papua, justru bertumbuh dan semakin diterima keberadaannya oleh masyarakat. Kalangan parpol di Papua akhirnya kehilangan momen untuk memperjuangkan kepentingan warga Papua meski Undang-Undang otonomi khusus yang menjanjikan akhirnya kemudian lahir. Bukannya langsung mengimplementasikan Undang-Undang tersebut bagi kepentingan dan tuntutan masyarakat Papua, kalangan elit Papua justru melakukuan kapitalisasi dan politisasi lebih lanjut, yang efeknya makin menjauhkan masyarakat. Dalam konteks di mana rakyat Papua merasa hanya dicatut oleh kepentingan parpol tersebut, LSM hadir dan menggantikan peran kurang kuat pemerintah dan parpol menjangkau, menerjemahkan dan merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat Papua.
LSM Terdepan Dalam Perjuangan HAM dan Demokratisasi
Seiring perkembangan waktu, banyak kelompok LSM di Papua dan tingkat nasional yang mkin berperan menambah dukungan pers menyadarkan persoalan-persoalan HAM dan tuntutan demokratisasi masyarakat Papua. LSM Imparsial adalah satu yang termasuk telah lama menyuarakan persoalan-persoalan HAM dan melancarkan serangkaian desakan kepada pemerintah agar cara pandang pembangunan di Papua dapat diubah. Menurut Direktur Imparsial Al Araf, secara historis isu marjinalisasi masyarakat dan lemahnya penyelesaian pelanggaran HAM di papua merupakan masalah sensitif dan berdimensi komplek yang lebih dari sekadar isu ekonomi.
Untuk itu, perlu dibangun dialog inklusif yang melibatkan masyarakat demi mewujudkan perdamaian kekal di Papua.Dialog harus dilakukan di semua tahapan agar hasilnya bisa menjadi solusi tepat dan memuaskan bagi semua pihak, tidak hanya pemerintah pusat saja. Pemerintah pusat selama ini membela diri bahwa mandat itu sudah diberikan kepada provinsi agar dilakukan penyertaan masyarakat Papua dalam dialog, melibatkan kepala adat, wali gereja dan anggota dewan di tiap daerah. Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan bahwa pendekatan kebudayaan dan kearifan lokal juga sudah diadopsi pemerintah pusat, meskipun hasilnya ternyata masih jauh dari yang diharapkan.
Kritikan LSM terkait kinerja kepolisian
Adanya ketidaksesuaian pandangan kepolisian dan pihak LSM kerap terjadi dalam penanganan masalah Papua, termasuk pendekatan dalam KKB. Banyak LSM yang tidak sungkan-sungkan mengeluarkan opini yang langsung memojokkan posisi Polri dalam pengamanan di Papua. Tidak jarang LSM juga mengopinikan bahwa polisi sebenarmua telah melakukan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Faris Budiman Annas, peneliti di Universitas Paramadina, jika membaca berbagai media massa online tentang Papua, dapat diamati bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM dimana korbannya banyak warga sipil sering dibingkai (framing) sebagai kesalahan yang dibuat pihak aparat keamanan termasuk polisi.
Pihak kepolisian juga sering dituding oleh LSM tidak sesuai ptosedur dalam penetapan tersangka. Koalisi LSM misalnya, pernah memprapengadilankan kasus penangkapan di Merauke (18/1/2021) walau menurut Kaur Bin Ops Reskrim Polres Merauke Ipda J Sitanggang, KNPB (Komite Nasional Papua Barat) ada indikasi berinisiatif memulai perbuatan memisahkan diri dari wilayah NKRI. Pihak penyidik reserse dan Kriminal Polres Merauke juga telah menemukan simbol-simbol makar sehingga 14 aktivis KNPB setempat ditetapkan sebagai tersangka makar dan dikenakan Pasal 106, Pasal 107 dan pasal 110 KUHP junto Pasal 87 KUHP. Namun menurut Direktur Aliansi Demokrasi untu Papua (AIDP) Latifah Anum Siregar, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penetapan tersangka aktivitas KNPB di Merauke adalah salah prosedur karena mereka tidak bisa ditimpakan pasal makar tersebut.
Proses hukum oleh polisi juga dianggap tidak didasarkan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia maupun peraturan hukum seperti tertera pada kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHP. Koordinator riset pada The Indonesian Human Rights Monitor Ghufron Mabruri telah berpendapat bahwa perspektif polisi dalam hak asasi manusia (HAM) di Indonesia ternyata meman masih minim. Karena itulah, banyak pelanggaran HAM dilakukan personel polisi saat menjalankan tugasnya, termasuk pembiaran terhadap kekerasan yang dialami kelompok minoritas seperti di Papua.“Ada problem pemahaman berkaitan dengan soal HAM, sehingga polisi di lapangan seringkali ambigu antara melindungi kelompok-kelompok minoritas, atau misalnya mereka kemudian permisif terhadap ormas-ormas yang melakukan kekerasan itu,” ujarnya.
Kelompok LSM berharap harus pula dihindari penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian. Pihak kepolisian juga harus dapat selalu menjamin situasi kondusif di semua bagian Papua dan harus selalu melakukan tugas penegakan hukum agar warga Papua bebas perlakuan diskriminatif, rasial, kekerasan, persekusi dan intimidatif. Lebih jauh lagi, pihak Polri diharapkan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya agat bekerja dan bersinergi dengan pihak Komnas HAM, meskipun sangat vitaln namun masih esuatu yang jauh dari yang diharapkan hasilnya. Kegiatan proaktif kepolisian mesti dilakukan bersama-sama dengan peran Pemda setempat yang juga memegang peran kunci upaya pemulihan keamanan di Papua.
Tantangan Internasional Dalam Isu Pelanggaran HAM di Papua
Masalah HAM di Papua kini tidak saja menjadi masalah nasional tapi juga makin mendapat sorotan dunia internasional. Apalagi ada 13 kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua selama ini, termasuk di antaranya 3 di Wasior (2001), Wamena (2001) dan Paniai (2014).Kalangan LSM mempertanyakan efektifitas kerja tim khusus bentukan Kejaksaan Agung pada Desember 2020 lalu. Dipertanyakan kasus-kasus yang sudah masuk ke Komnas HAM tapi masih belum diterjemahkan dalam bentuk tindakan pengadilan.Tingginya kasus-kasus pelanggaran HAM menyebabkan penonjolan segi lain yang positif mengenai pembangunan di Papua tidak terlihat, utamanya mengenai pembangunan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pihak LSM selalu lebih menonjolkan soal keprihatinannya atas peningkatan kekerasan dan penyusutan ruang bagi masyarakat sipil serta munculnya kasus-kasus pelanggaran HAM baru seperti di Nduga. Intan Jaya, Puncak dan Timika. Hingga kini masih ada ratusan warga Papua yang harus mengungsi akibat konflik senjata antara pasukan keamanan Indonesia dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). LSM menyesalkan pula ahwa pekerja gereja telah menjadi sasaran bahkan dibunuh, termasuk mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan dan aktivis HAM yang membantu para pengungsi. Beberapa LSM yang cukup vokal suaranya di Papua antara lain adalah AMP, Petisi Rakyat Papua, Papuan Voice, SPPP dan Augira Nusantara. LSM yang terakhir lebih dikenal sebagai LSM yang getol membeberkan tingginya deforestasi di Papua yang dihubungkan dengan ide-ide penolakan pembangunan di Papua yang sejalan dengan ideologi KKB.Sejumlah LSM nasional, dimotori yang oleh KontraS juga terus mendesak pemerintah agar menghentikan berbagai kekerasan terhadap masyarakat Papua yang sampai sekarang masih represif akibat tindakan persekusi dan rasisme yang menjadi pemicu munculnya kerusuhan.
LSM Selalu Dicurigai
Menurut peneliti LIPI Indria Samego kaena LSM di Papua masuk dan berperan sentral dalam upaya mengubah perubahan sosial dan mengatasi keterbelakangan di Papua. Karenanya, keberadaan LSM ditakuti dan dicurigai. Peran LSM juga telah menambah jumlah ‘aktor’ di luar pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat, seperti kalangan misionaris asing dan gereja. Keberadaan LSM sering dicurigai karena dioperasikan atas bantuan finansial luar negeri, yang dimungkinkan karena berkaitan dengan penghilangan UU Keormasan. Tersedianya tuang publik telah memungkinkan setiap LSMuntuk menjadi lebih terbuka berperan sebagai bagian dari partisipasi publik dan kekuatan alternatif pengganti fungsi parpol dan Pemerintah.
Ketersediaan dana bantuan asing juga menyebabkan LSM menjadi besar dan profesional, dan leluasa bergerak membangun pendidikan, kesehatan serta ekonomi rakyat di Papua. Perannya dalam penciptaan pelembagaan demokrasi dan penyumbang lapangan kerja yang optimal ketimbang parpol menjadi ditakuti oleh Pemerintah. Aktualisasi kerja LSM malahan sering diambil alih Pemerintah. Kritikan maupun protes kegiatan sering dialamatkan kepada LSM ketimbang kepada Parpol. Keberadaan LSM yang semakinmenonjol itulah yang kemudian dicurigai berpotensi berlaku sebagai provokator dalam masyarakat agar mau menentang negara bahkan mencari perlindungan di negara lain. Tidak kurang dari Menteri Pertahanan (Menhan) terdahulu, Juwono Sudarsono yang pernah mencurigai peran LSM di Papua memfasilitasi kepergian warga sipil mencari perlindungan politik di Australia meskipun kalangan LSM menyatakan bahwa tuduhan itu perlu data empiris untuk membuktikannya.
Kritikan Lain
Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Hery Dosinaen pernah menyatakan bahwa sejumlah LSM di Papua seolah-olah memiliki kekuasaan yang besar dalam menekan pemerintah atau institusi di Papua, dengan dalih didasarkan aturan perundang-undangan. “Saya harap hal ini menjadi catatan bagi kita semua di pemerintahan bahwa memang baik dengan keterbukaan informasi berbagai LSM bermunculan. Namun jangan sampai membias tanpa arah tugas pokok dan fungsinya,” terang Hery. Ali Kabiay, Ketua Komponen Pemuda Merah Putih Papua di Kota Jayapura, Papua Juga melihat berbagai bentuk penolakan terhadap keberlanjutan Otonomi Khusus (Otsus) dan isu pelanggaran HAM di Papua.
Menurutnya, ini telah menimbulkan polemik di dalam maupun di luar negeri karena ada keterlibatan LSM asing. “Adanya beberapa tokoh LSM atau NGO asing yang memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan penolakan keberlanjutan Otsus dan pelanggaran HAM merupakan upaya membantu mewujudkan disintegrasi bangsa di Papua dan Papua Barat,” demikian jelasnya. LSM internasional/asing memang selalu memiliki atensi dalam membawa isu-su HAM untuk diintervensi lewat kampanye internasional, bahkan memasukkan permasalahan tersebut dalam agenda sidang terkait pelanggaran HAM di PBB. Narasi mengenai kondisi Papua yang rendah menurut standar HAM, kurangnya jaminan kebebasan fundamental serta jaminan mekanisme penyelidikan agar dibicarakan dalam konteks hukum HAM internasional.
LSM Terlibat Dalam KKB?
Beberapa pemerintahan di luar negeri seperti Inggris, Australia dan Belanda serta sejumlah LSM internasional yang menyebar di seluruh dunia secara nyata selalu tertarik mengikuti masalah Papua. Menurut anggota DPR Papua Laurenzus Kadepa, di Amerika Latin saja sudah ada 1500 LSM yang pro kemerdekaan Papua. Ini menunjukkan betapa jaringan LSM internasional bagi Papua menjadi semakin kuat demi perubahan berarti di Papua. Media nasional juga selalu memonitor dan melaporkan peran LSM, kepolisian dan dan masalah penegakan HAM di Papua. Selain mempermasalahkan isu-isu dan persoalan pembalakan hutan, intoleransi atau kerukunan agama di Papua. LSM juga selalu mengetengahkan kasus-kasus kekerasan di Papua sebagai pelanggaran HAM serius yang harus dibawa ke hadapan Sidang Umum PBB.
Dalam pernyataan sikap yang dibuat pada 15 Maret 2021, LSM internasional kembali mempertanyakan keseriusan Indonesia mengupayakan resolusi damai dan kebenaran dugaan pelanggaran HAM di Papua. Nama-nama LSM itu antara lain Franciscans International, Geneva for Human Rights, VIVAT International, Commission of the Churches on International Affairs of the World Council of Churches, CIVICUS, dan Asian Forum for Human Rights and Development, dengan dukungan dari International Coalition for Papua, Westpapua Netzwerk, TAPOL, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan di Papua, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menariknya, pernyataan pemerintahan di luar negeri maupun LSM asing tidak jarang berseberangan dengan isi media dalam negeri.
Ada tekanan internasional agar Indonesia dapat menunjukkan keberanian moral melakukan perubahan yang hakiki di Papua. Apalagi sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia semestinya bertindak benar. Indonesia diminta mengakhiri larangan media masuk ke Papua, mendukung penyelidikan independen PBB, dan mengadili pejabat yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan mereka.
Itu sebabnya, ada usaha-usaha menekan dan mengevaluasi keberadaan LSM di Papua yang makin dituduh melibatkan pihak asing mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia. Pada 24 Februari lalu Forum kepulauan Pasifik, yakni organisasi antar pemerintah yang mempunyai 18 anggota telah menyampaikan pernyataan dalam pertemuan tingkat tinggi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang mengangkat kondisi hak asasi manusia di Papua Barat. Pihak pemerintah Indonesia selalu berupaya menolak tegas tuduhan-tuduhan LSM internasional terutama mengenai pelanggaran HAM di Papua yang disebut sebagai telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Indonesia merasa sudah memiliki mekanisme nasional yang kredibel bagi pemajuan dan perlindungan HAM di Papua dan tetap berkomitmen melakukan kerjasama konstruktif dengan negara-anggota PIF (Pacific Islam Forum) tersebut. Sikap pemerintah Indonesia dikritik, misalnya oleh peneliti isu-isu pelanggaran HAM di Papua. Budi Hernawan dari Abdurrahman Wahid Centre (AWC) menuduh Indonesia tidak menawarkan kebijakan yang jelas karena alasan tidak mau didikte asing dan hanya menunjukkan sikap reaktif.
Media dan Media Sosial di Indonesia
Beberapa media dalam negeri menganggap bahwa LSM asing tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan keberadaan mereka dianggap sebagai sumber keresahan. ‘Keterlibatan asing’ telah menyentuh langsung urusan kedaulaan politik dan hukum Indonesia. Mereka seolah-oleh lebih paham dengan situasi politik di Papua ketimbang orang di dalam negeri. LSM lokal maupun internasional, langsung maupun tidak langsung ditengarai bekerjasama dengan kelompok separatis Papua. Karenanya mereka merupakan kumpulan para penghianat yang bersatu. Pengamat politik dari Universitas Nasional Yusuf Wibisono menganggap isu Papua memang ‘dagangan laku’ yang selalu menarik minat pihak-pihak tertentu di dalam maupun laur negeri. Asmiati Malik, dosen di Universitas Bakrie juga mensinyalir bahwa di Papua banyak oknum pemerintah dan LSM yang memainkan isu-isu HAM agar mereka lepas dari Indonesia.
Isu HAM menurutnya adalah komoditas tawar-menawar politik dengan pemerintah pusat untuk mendapatkan perlakuan khusus dan dana tambahan. Ini terbukti dengan banyaknya dana otsus yang digelontorkan meski tidak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat Papua. Banyak komentator media sosial yang menulis bahwa kita harus hati-hati dengan isu Papua. Pihak LSM di Papua dituduh banyak disokong donatur asing agar dapat merealisasikan cita-cita dalm memisahkan Papua dari NKRI. Provokasi mereka terhadap warga menjadi penyebab terjadinya keributan. Beberapa netizen di media sosial bahkan mengharapkan agar LSM di Papua dibasmi, diberantas bahkan ditutup. ‘Agar suara-suara KKB dan antek-anteknya bisa dihancurkan sampai habis.’ Mereka menuduh LSM adalah agen asing yang kerjanya kerap memprovokasi Papua. Agen asing itu tidak saja datang dari Eropa, tapi juga Amerika dan telah menyaru sebagai anggota LSM.
Beberapa LSM lokal bahkan dianggap menjadi aktor di balik kejadian politis dan penggalangan penolakan masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah selama ini.
Politik uang mereka digunakan untuk menciptakan kekacauan/Anggota-anggota mereka adalah perpanjangan KKB atau sudah dibayar oleh KKB/OPM. Tuduhan-tuduhan tersebut jelas harus dapat dibuktikan. Namun yang jelas, keberadaan LSM di Papua memang menjadi perhatian terutama dalam mengangkat isu-isu HAM di Papua. (Isk – dari berbagai sumber)