SEMARANG — Pakar keamanan siber Pratama Persadha meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Polri untuk memberantas pinjaman online (pinjol) ilegal. Hal itu menyusul jual beli selfie KTP secara tidak sah yang makin marak di platform media sosial (medsos).
“Kasus selfie KTP yang diperjualbelikan ini memang cukup meresahkan karena dibarengi atau diikuti dengan tindak kejahatan transfer tanpa sepengetahuan korban ke rekeningnya oleh pinjol ilegal,” kata Pratama ketika dihubungan di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (29/6).
Pratama merespon temuan jual beli data pribadi di medsos yang dijual dengan harga mulai Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu, atau tergantung pada kelengkapan identitas yang ada, serta baru atau lamanya data tersebut. Jika ditelusuri, kata Pratama, asal mula kebocoran dan diperjualbelikannya foto KTP selfie adalah dari vendor yang membantu verifikasi dari berbagai aplikasi.
Menurut dia, tidak hanya aplikasi populer semacam dompet digital, aplikasi seperti PLN mobile juga membutuhkan foto KTP selfie untuk verifikasi. Untuk membantu verifikasi, sambung dia, ternyata diperbantukan pihak ketiga sebagai vendor.
Selain itu, ada pula yang berasal dari kebocoran pinjol ilegal juga, bahkan jumlahnya relatif cukup banyak. Hal itu mengingat mereka ini tidak concern terhadap keamanan data. Sehingga para pelaku kejahatan siber mudah sekali meretasnya.
Dalam kasus yang pertama kali viral, kata Pratama, adalah saat pegawai vendor yang melakukan verifikasi OVO, ternyata langsung melakukan kontak via Whatsapp kepada orang yang datanya sedang mereka verifikasi. Hal itu lantas viral di medsos.
“Celah inilah yang juga dimanfaatkan dengan menjual foto selfie ke pinjol ilegal,” kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) tersebut.
Sebenarnya, lanjut Pratama, ada dua hal yang dilakukan, yakni pertama pinjol melakukan transfer ke rekening pemilik KTP asli dengan harapan bisa menagih dengan bunga tinggi. Kedua, pelaku yang memiliki foto KTP selfie tersebut bisa saja membuat rekening palsu, kemudian melakukan apply ke pinjol dan transfer ke rekening yang mereka buat.
Kedua hal tersebut sama-sama sangat merugikan masyarakat. Oleh karena itu, Pratama menegaskan, sistem layanan informasi keuangan (SLIK) OJK seharusnya bisa menjadi solusi. Namun, sayangnya rencana menjadikan debitur financial technology (fintech) masuk SLIK OJK masih belum terealisasi.
“Yang nantinya bisa masuk hanya debitur fintech yang terdaftar resmi di OJK, sedangkan fintech pinjol ilegal tidak bisa,” kata dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) itu.
Sumber: Republika