Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Pol Istiono mengatakan, petugas di pos penyekatan akan mengutamakan sanksi putar balik bagi para pengguna jalan yang melanggar aturan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali yang berlaku 3-20 Juli 2021. Efektifkah ?
Jakarta – (15/07/2021). “Tindakan-tindakan kami di lapangan mengedepankan tindakan preventif, edukatif, juga tegas, humanis. diutamakan sanksi balik arah di lapangan,” kata Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Pol Istiono dalam jumpa pers. Selama pelaksanaan penyekatan dan pembatasan mobilitas di 407 titik yang tersebar di Jawa dan Bali, petugas akan melakukan pemeriksaan dan pengecekan terhadap kendaraan pribadi dan angkutan umum. Pengecekan tersebut untuk menyaring mobilitas yang diperbolehkan selama penerapan PPKM Darurat, yaitu sektor esensial antara lain, keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina Covid-19 dan industri orientasi ekspor.
Sedangkan, cakupan sektor kritikal yakni, energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan dan minuman serta penunjangnya. Lalu, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. “Terkait dengan mobilitas yang diperbolehkan hanya sektor esensial dan kritikal ya, dan sektor transportasi yang kita rekomendasikan,” kata dia. Kemudian, lanjut Istiono, petugas juga akan memberikan edukasi kepada para pengguna jalan apabila mereka memasuki wilayah PPKM Darurat yang sebagaimana telah ditetapkan. “Selanjutnya kita lakukan tindakan secara terukur, tegas dan humanis kepada masyarakat yang melanggar PPKM darurat dengan tahapan pemberian imbauan, teguran simpatik, dan tindakan tegas,” imbuhnya.
Namun demikian agar tetap menjaga kelancaran lalu lintas, Istiono mengatakan pihaknya akan mengambil langkah-langkah pengecualian ketika terjadi kendala maupun kemacetan, sebagaimana kewenangan hak diskresi. “Selanjutnya juga melakukan diskresi dan pengaturan lalu lintas apabila terjadi kepadatan atau situasi yang memerlukan tindakan-tindakan di lapangan,” pungkasnya. Sebelumnya, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri telah menyiapkan sebanyak 407 titik penyekatan mobilitas masyarakat yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Bali. “Kami telah membuat, membangun 407 lokasi pembatasan atau penyekatan serta pengendalian mobilitas PPKM Darurat, dari tanggal 3 sampai 21 Juli 2021 di wilayah provinsi Jawa sampai dengan Bali,” kata Istiono.
Pertama, di wilayah DKI Jakarta terdapat sebanyak 60 titik penyekatan. Rinciannya, 25 titik pembatasan atau penyekatan mobilitas dan 35 titik pembatasan pengendalian mobilitas. Kemudian untuk wilayah lainnya, terdapat sebanyak 20 titik penyekatan di Banten, 106 titik penyekatan di Jawa Barat, 6 titik penyekatan di DIY Yogyakarta, dan 12 titik penyekatan di Denpasar, Bali. Selanjutnya, ada 106 titik penyekatan di Jawa Timur dan 42 titik penyekatan di Jawa Tengah.
Demi Keselamatan Masyarakat
Pemerintah menetapkan sejumlah aturan pembatasan mobilitas hingga penyekatan jalan di DKI Jakarta selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Ini semua demi keselamatan masyarakat. Selama penerapan terdapat pengetatan pembatasan mobilitas di berbagai sektor termasuk lalu lintas. Penyekatan jalan dilakukan di sejumlah titik di DKI Jakarta.
Syarat masuk Jakarta, misalnya, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri bakal memberlakukan syarat menyertakan kartu vaksin dosis pertama dan hasil tes RT PCR atau swab antigen bagi pengendara yang ingin melintas ke wilayah DKI Jakarta. Perjalanan yang akan diberi akses untuk melintas di titik penyekatan ini hanya yang masuk kategori sektor-sektor esensial. “Bila tidak memenuhi syarat, akan kita putar balik,” kata Kakorlantas Polri Inspektur Jenderal Istiono.
Larangan bersepeda
Selama penerapan PPKM Darurat, warga DKI Jakarta dilarang bersepeda. Jika masih ada yang nekat, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mengatakan pihaknya bakal menyita sepeda milik warga. “Yang hobi naik sepeda saya ingatkan, sudah berhenti naik sepeda, nanti sepedanya saya kandangkan selama PPKM Darurat kalau nekat naik sepeda,” katanya. Ruas jalan Sudirman-Thamrin juga bakal ditutup untuk kegiatan olahraga, termasuk pesepeda selama PPKM Darurat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan jika kedapatan warga melakukan berolahraga di kompleks atau lingkungan sekitar rumah, jajarannya akan melakukan penertiban. “Kalau melanggar diangkut bersama sepedanya, tinggal di rumah, latihan di rumah, kita ingin Anda selamat,” ujar Anies.
Sejauh penyekatan yang dilakukan di DKI Jakarta bisa berjalan lancar. Beberapa warga Jakarta menilai kebijakan ini sangat efektif. ”Jakarta beberapa hari ini tampak seperti kota mati,” ujarnya. Ya, semoga saja pembatasan, penyekatan dan pemutarbalikkan arah kendaraan akan berjalan dengan baik.
Denda Rp 5 Juta
Seorang pedagang bubur di Tasikmalaya Jawa Barat, Salwa Hidayat, dijerat dengan Pasal 34 ayat (1) juncto Pasal 21 I ayat (2) huruf f dan g Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat [PDF]. Penjual makanan itu divonis Rp5 juta atau subsider kurungan 5 hari penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya.
Salwa dianggap melanggar peraturan di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali karena membiarkan empat pelanggan makan bubur di tempat. Padahal, menurut kesaksian kakak Salwa, ia telah memperingatkan para pembeli agar tidak makan di situ. Namun pembeli memaksa menghabiskan penganan tersebut.
Sial, personel operasi yustisi melintas di Jalan Galunggung, tempat Salwa berjualan. Petugas menindaknya, maka pria itu mau tak mau harus menjalani proses hukum tindak pidana ringan, pada Selasa (6/7). Menurut Kapolresta Tasikmalaya AKBP Doni Hermawan, Salwa beroperasi melebihi batas waktu yang sudah ditentukan dan memberikan layanan makan di tempat.
“Aturan selama PPKM Darurat sudah sangat jelas. Pedagang, rumah makan boleh buka, atau kafe, boleh tetap beroperasi selama tidak melayani pembeli makan di tempat dan mematuhi batas waktu yang ditentukan. Saya kira itu sudah sangat jelas. Sidang kami lakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar agar patuh aturan selama PPKM Darurat,” kata Doni. Peristiwa ini berbeda dengan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus yang enggan menjalankan karantina mandiri usai tiba dari Kirgistan dan dia tak disanksi apa pun. Merujuk pada Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol Perjalanan Internasional di Masa Pandemi COVID-19, pada saat kedatangan, dilakukan tes ulang RT-PCR bagi pelaku perjalanan internasional dan diwajibkan menjalani karantina terpusat selama 5×24 jam.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berujar pidana diatur dalam undang-undang dan memiliki prasyarat ketat sehingga tidak sembarangan menghukum masyarakat. “Harus hati-hati melakukan pendekatan pidana karena itu cara paling terakhir, di masa pandemi ini tidak tepat memidanakan orang. Karena saat sekarang, proses pemenjaraan dihindari lantaran penjara itu menjadi sarana klaster baru. Sebenarnya orang lebih takut dengan sanksi administrasi,” ujar dia.
Sanksi administrasi membutuhkan pelaksanaan yang kuat, tapi jangan sampai ada ketidakadilan bagi publik, kata dia. Misalnya dalam kasus Guspardi, itu mencerminkan perbuatan buruk di kalangan elite. Sebenarnya, kata Isnur, masyarakat bisa diatur asalkan ada contoh teladan dari pemerintah dan elite politik.
“Yang paling efektif sebenarnya pemerintah mencontohkan yang baik. Tidak boleh ada perbedaan (sanksi), ini (pandemi) adalah keadaan darurat. Sampai pada titik masyarakat bukan tidak mau turut, tapi mereka meniru pejabat. Hukum berlaku bukan semata aturan, tapi juga karena konsistensi dan kedisiplinan para penegaknya,” kata dia.
Contoh konkretnya yakni aparat juga memproses hukum pejabat pelanggar di era pandemi COVID-19, kata Isnur. Pada kasus Salwa, ia dianggap melakukan tindak pidana ringan dan dijerat berdasar Perda. Peraturan Daerah betul mengatur tindak pidana ringan cum bersifat administratif.
Isnur menilai jika tukang bubur ditindak, maka mengapa pegawai restoran di mal tidak diproses hukum? Terpenting, bila pemerintah membuat larangan di masa PPKM Darurat, maka wajib memenuhi kebutuhan rakyat sembari melaksanakan kewenangan.
“Ketika pemerintah menutup, menyegel, dan lainnya, itu harus diiringi pemenuhan kebutuhan. Harus dicek kebutuhan orang itu apa. Jika dia (masyarakat) mengontrak, maka (pemerintah) membayar kontrakannya. Kalau ada lima orang di rumah, maka lima orang itu harus makan tiga kali sehari,” kata Isnur.
Manjurkah Sanksi Pidana?
Program Officer Perkumpulan Prakarsa Eka Afrina Djamhari setuju dengan pendapat Isnur. Hukum haram tebang-pilih, kata Eka. Selain itu, kelonggaran pada penerapan sanksi juga membuat masyarakat tak taat regulasi. Konsistensi penerapan hukuman ia anggap masih kurang.
“Penerapan sanksi ini ketika dilihat langsung petugas patroli, tapi kalau tidak kelihatan maka sanksi tak berjalan,” tutur dia.
Proses sanksi pun bisa dilakukan bertahap, seperti teguran, denda, lalu kurungan penjara. Pun peran Kepala Daerah juga vital untuk memberlakukan sanksi. Agar ada efek jera dan menjadi contoh bagi warga setempat, kata dia, pejabat daerah yang melanggar aturan PPKM Darurat dapat segera diproses hukum.
Contohnya, kasus Suganda (54), seorang Lurah Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat, yang melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 212 KUHP dan/atau Pasal 216 KUHP. Suganda kala itu menggelar hajatan pada hari pertama PPKM Darurat. Resepsi pernikahan itu dihadiri 30 orang. Kini perkaranya ditangan Kejaksaan Negeri Depok. Eka mengatakan faktor lain penyebab sanksi tak optimal adalah informasi tak diterima oleh masyarakat.
“Misalnya, informasi sanksi ke pengusaha besar itu sampai (mudah diterima), tapi pedagang kecil itu tidak,” kata dia. Mestinya, dalam kasus Salwa, para pembeli bubur yang makan di tempat pun ditindak. Itu bentuk keadilan hukum, kata Eka.
Tingkat pendidikan dan pengalaman masyarakat pun bisa jadi penyebab penerapan sanksi tak optimal. Prakarsa, tempat Eka bekerja, sedang meneliti perihal ini. Sementara ini, dia menemukan fakta bahwa ada pihak Rukun Warga – yang termasuk dari Satgas Penanganan COVID-19 — yang tidak paham PPKM, bahkan kebingungan.
“Pendidikan dan pengalaman RW sangat berpengaruh kepada penerapan kebijakan pemerintah. Kami menemukan perbandingan, pihak RW berpendidikan S1 dengan RW pendidikan SMP, ternyata pemberlakuan kebijakan itu beda,” jelas Eka.
Hasil analisis sementara, kata Eka, untuk pejabat setingkat RW yang berpendidikan tinggi lebih gencar menyosialisasikan kebijakan dan program pemerintah, bahkan gerak cepat untuk memfasilitasi vaksinasi warga. Efektif atau tidak sanksi tersebut, itulah yang harus dilakukan pemerintah. Maka, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto, pendekatannya harus lebih tegas meski tetap harus mengedepankan humanis. Tidak bisa sekadar keras, yang akibatnya malah memunculkan perlawanan dari masyarakat.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak sosial dan ekonomi pandemi ini sangat berat bagi rakyat, sementara penyebarannya juga makin cepat. “Dalam kondisi ramai seperti saat ini memang dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melepaskan keruwetan. Tidak bisa semua disamaratakan, kebijakan harus disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur dari masyarakat setempat,” ucap Bambang.
Bambang menegaskan “ketidakkonsistenan penegakan aturan selama ini membuat masyarakat juga tidak mempercayai aparat.” Jadi, kata dia, aparat jangan menyalahkan masyarakat saja. Ia melanjutkan, saat ini aparat kewalahan menangani masalah publik. Seperti penanganan mudik lebaran, penutupan Jembatan Suramadu yang menimbulkan penolakan warga, itu menunjukkan aparat sudah kewalahan, kata Bambang. “Maka yang dibutuhkan adalah partisipasi masyarakat lebih besar. Jangan menggantungkan pada aparat kepolisian saja, tapi harus melibatkan semua unsur pemerintah,” imbuh dia. Dalam kondisi darurat saat ini, kata dia, sanksi berat akan menjadi beban.
Gagal Redam Lonjakan Covid-19
Pendapat pesimis terhadap kebijakan PPKM Darurat juga muncul. Seperti penilaian dari Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat. Menurutnya, PPKM Darurat tidak efektif meredam Covid-19 varian Delta. Menurutnya, hal ini terjadi karena pemerintah tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan. “Pemberlakuan PPKM Darurat terindikasi gagal redam lonjakan Covid-19 varian Delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan tiga instrumen kekuasaan yaitu instrumen law enforcement, instrumen keuangan, dan instrumen leadership,” kata Hidayat dalam rilisnya. Pendiri Narasi Institute ini mengatakan PPKM Darurat terindikasi gagal karena belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020. Dia juga menilai PPKM Darurat Jawa-Bali kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dibandingkan PSBB lalu. “Di lapangan banyak perusahaan non- esensial dan non-kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk ke kantor. Mereka tidak dihukum tegas. Karyawan mereka bisa lolos dari pos penyekatan PPKM Darurat karena aparat keamanan tidak bisa membendung mereka yang penuh datang ke kantor,” jelasnya.
Hidayat melihat lemahnya law enforcement dalam PPKM Darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat. “Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang, akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement,” katanya.
Dia juga melihat adanya krisis oksigen dan krisis harga obat seperti Ivermectin dan 10 obat lainnya karenanya lemahnya law enforcement. “Kewibawaan hukum begitu lemah dari PPKM Darurat kali ini. Oknum pencari untung dari krisis oksigen dan Ivermectin tetap merajalela meski pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Intinya aturan terasa tidak hadir di lapangan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.” Hidayat juga melihat, selain lemahnya instrumen law enforcement, instrumen keuangan juga tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini. Meskipun Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan Rp225,4 triliun untuk penanganan pandemi dari sisi kesehatan dan perlindungan sosial masuk dalam program PEN, implementasinya pasti memerlukan waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh waktu 1 bulan paling cepat untuk implementasi lapangannya. “Sementara PPKM Darurat berakhir 20 Juli, dukungan keuangan terlambat,” katanya.
Mantan ketua BEM UI ini melihat kebijakan PPKM Darurat ini adalah contoh bagaimana kebijakan penanganan pandemi tidak terstruktur. Pemerintah gagap dan tidak belajar selama satu tahun kemarin. “Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan tiga hari, padahal RS sudah bleeding keuangannya. Pembayaran kurang bayar penanganan Covid-19 di tahun 2020 perlu dibayar segera untuk membantu rumah sakit. Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tidak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang,” jelasnya.
Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil langsung Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No.113 Tahun 2020. Tanpa perubahan payung hukum Perpres No.113 Tahun 2020, APBN 2021 tidak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat. “APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian Delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukkan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar. Penyesuaian perlu dilakukan dengan revisi Perpres No.113/2020. Bila tidak, negara tidak memiliki payung hukum untuk perubahan APBN 2021 tersebut.”
Patut diingat APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR, pemerintah menetapkan Perpres No.113/2020 merupakan payung hukum perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan APBN tahun 2021. Karena itu perubahan APBN 2021 cukup dilakukan perubahan Perpres No.113/2020. Dia memandang bahwa ada gap besar antara kecepatan laju kematian imbas Covid-19 dengan kecepatan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, koordinasi perlu langsung di tangan Presiden. “Untuk mempersempit gap leadership, PPKM Darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila varian Delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presiden lah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden,” tegasnya.
Menurutnya, kepemimpinan Presiden inilah yang akan mampu meredam harga oksigen dan obat-obatan, memimpin penegakan hukum bagi perusahaan non esensial dan non kritikal pelanggar PPKM Darurat, mengatur anggaran untuk membantu RS dan menyediakan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkannya. “Hanya perintah Presiden yang mampu meredam karena sejumlah kemewahan eksekutif yang dimilikinya. Termasuk hanya Presiden yang bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing,” pungkasnya.
Beberapa pihak pun sependapat bahwa factor kepemimpinan atau leadership Presiden inilah yang akan sangat efektif meredam laku penyebaran Covid-19. Semuanya harus tunduk pada satu komando dari Presiden. Sehingga tidak ada kebijakan atau pelaksanaan di lapangan yang berbeda dengan arah kebijakan pusat. Ini yang sering terjadi yang akhirnya membingungkan atau disalahpahami oleh masyarakat. Dalam kondisi krisis, memang tidak ada salahnya pemimpin tertinggi negara menguatkan kebijakannya dengan direktif dan lebih keras demi kebaikan dan keselamatan masyarakat secara keseluruhan. (Saf)