Taliban telah mengambil alih kepemimpinan Afghanistan sejak pekan lalu. Hingga kini, ribuan orang masih berusaha meninggalkan Afghanistan. Peristiwa terssebut, jelas berdampak bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Badan Intelijen Negara atau BIN mendeteksi jaringan teroris di Indonesia yang ditengarai dekat dengan kelompok Taliban di Afghanistan akan bangkit lagi. Sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkahwatirkan ada pihak=pihak tertentu yang menggalang simpati atas isu Taliban. Bahkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bergerak cepat mengantisipasi aksi teror dengan meringkus sejumlah teroris di beberapa lokasi. Sedangkan para pengamat, ahli, mantan pelaku terorisme, BNPT hingga Badan Intelejen Negara (BIN) menanggapi beragam soal kepemimpinan Taliban di Afghanistan dan dampaknya bagi terorisme di tanah air. Bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Apa saja yang harus diwaspadai? Bagaimana pemerintah Indonesia menyikapinya?
Jakarta, 22 Agustus 2021 – Kepala BNPT, Komjen Pol. Boy Rafli Amar mendeteksi ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang sedang berusaha menggalang simpatisan terkait isu Taliban usai kelompok tersebut berhasil menguasai Afghanistan. “Jangan sampai masyarakat salah bersimpati, karena berdasarkan pemantauan kami ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggalang simpatisan atas isu Taliban. Ini sedang kita cermati,” kata dia, dalam keterangan resminya, Jumat (20/8/2021). Meski demikian, Boy tak merinci pihak mana yang tengah berupaya menggalang simpatisan dengan memanfaatkan isu Taliban tersebut. Boy menjelaskan bahwa Taliban tidak memiliki afiliasi dengan kelompok ISIS. Meski demikian, ia menilai Taliban sudah terjebak dalam perbuatan kekerasan atau perbuatan teror dalam pergerakannya selama ini.
Ia juga meminta kepada anak muda Indonesia agar tak menjadikan Taliban sebagai role model. Sebab, hal demikian bertentangan dengan falsafah dan ideologi Pancasila. “Selama berupaya meraih kekuasaan, Taliban melakukan kekerasan. Itu yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia,” kata Boy. Ia lantas mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk bijak dalam menyikapi kelompok Taliban tersebut. Boy juga menekankan agar masyarakat bijak dan tetap sadar bahwa yang terjadi di Afghanistan merupakan persoalan di dalam negeri itu sendiri. Ia berharap hal demikian tidak boleh terjadi di Indonesia. “Jangan sampai masyarakat terpengaruh masuk ke dalam aksi-aksi yang tidak perlu. Karena kita adalah negara yang memiliki ideologi dan konstitusi yang mewajibkan kita untuk bela negara sendiri, bukan bela negara lain,” ucapnya.
Sebelumnya, Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan pihaknya tengah melakukan deteksi dini terhadap kelompok-kelompok teroris di Indonesia yang memiliki kedekatan ideologi dan jaringan dengan Taliban. Hal itu dilakukan usai kelompok Taliban menguasai Afghanistan sejak beberapa hari terakhir. “BIN bersama jajaran intelijen melakukan langkah antisipatif dengan memperkuat deteksi dini dan cegah dini terutama kepada kelompok teroris yang memiliki kedekatan ideologis dan jaringan dengan Taliban,” kata Wawan dalam keterangan resminya, Kamis (19/8/2021).
Wawan mengatakan selama ini pergerakan kelompok teroris di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan situasi di tingkat global dan regional. Ia mencontohkan saat kelompok ISIS mendeklarasikan untuk mewujudkan Negara Islam di Irak dan Suriah pada 2014. “Saat itu beberapa WNI tertarik untuk menjadi bagian dari ISIS,” kata Wawan. Selain itu, Wawan turut menyoroti bahwa Taliban sudah berjanji tidak akan mengusik misi diplomatik asing di Afghanistan. Meski demikian, pemerintah Indonesia masih terus memonitor situasi keamanan di Afghanistan dari hari ke hari. Ia memastikan bahwa sejauh ini kondisi WNI dan staf KBRI di Afghanistan dalam kondisi aman dan selamat. “Keselamatan WNI dan staf KBRI di Afghanistan, menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia,” kata dia.
Sedangkan Densus 88 Antiteror Polri menangkap lima tersangka teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dalam sepekan terakhir. Penangkapan itu merupakan pengembangan dari serangkaian operasi yang dilakukan pada pekan lalu di sejumlah wilayah di Indonesia. Total, sudah ada 53 orang yang ditangkap. “5 tersangka teroris ditangkap pada Senin (16/8/2021) dan Selasa (17/8/2021), kelompok JI,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Kamis (19/8/2021). Dia menjelaskan, tersangka teroris itu ditangkap di wilayah Jawa Timur (Jatim), Sulawesi Selatan (Sulsel), Sumatera Utara (Sumut), dan Maluku. Semula, kata dia, Densus menangkap tersangka berinisial CA dan AF di Jawa Timur pada Senin (16/8/2021). Kemudian, terduga teroris berinisial SAT juga ditangkap oleh polisi di Sumsel pada hari yang sama.
Keesokan harinya, polisi meringkus tersangka berinisial AMR di Sumut. Kemudian, NW ditangkap di Maluku. Sebagai informasi, penangkapan teroris secara masif telah dilakukan oleh polisi sejak Kamis (12/8/2021) pekan lalu. Setidaknya ada 11 wilayah yang menjadi lokasi penangkapan. Yakni, yakni; Sumatera Utara (Sumut), Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim). Lalu, Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Namun demikian, operasi tersebut diklaim Polri tak berkaitan dengan peringatan kemerdekaan ke-76 RI pada Selasa (17/8/2021) lalu.”Tidak melihat waktu-waktu tertentu. Tetapi terus bertugas dan berupaya secara optimal agar dapat menciptakan rasa aman tentram dan damai di tengah masyarakat,” kata Ramadhan, Senin (16/8/2021). Dia menjelaskan, upaya penindakan hukum yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri merupakan bentuk preventif strike atau pencegahan terhadap aktivitas teror.
Ada Efek Jangka Panjang
Pengamat teroris Noor Huda Ismail menilai ada efek jangka panjang dari kebangkitan Taliban di Afganistan dengan pergerakan kelompok teroris di Indonesia. Dampak jangka panjang itu berupa human security atau keamanan manusia. “Itu akan menginspirasi kelompok-kelompok yang pro negara Islam. Efek dominonya itu loh yang dikhawatirkan,” ujar Noor Huda saat dihubungi pada Rabu (18/8/2021). Bahkan, kata Noor Huda, anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) merasa senang ketika mendengar kabar bahwa kelompok Taliban berhasil menduduki Kabul, Afganistan. Menurutnya, kelompok teroris yang ada di Indonesia seperti mendapat inspirasi, di mana mereka melihat bahwa kelompok Taliban mampu menunggu selama 20 tahun untuk akhirnya bisa kembali menduduki Afganistan.
Namun, inspirasi itu bukan soal akan maraknya aksi teror, tetapi lebih ke perubahan ideologi dan atau pola hidup. “Kita (dalam artian kelompok teroris) will do the same. Menangkan dulu hati orang untuk mengubah sistem. Ancaman terbesarnya di perubahan sistem negara,” ucap Noor Huda. Sedangkan mantan pimpinan kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), Abu Tholut, menilai kemenangan Taliban di Afghanistan tidak akan berpengaruh terhadap kebangkitan terorisme di Indonesia. “Kita enggak khawatir dengan kemenangan Taliban, apakah akan meningkatkan aksi terorisme di Indonesia,” kata Abu Tholut dalam diskusi yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Sabtu (21/8/2021).
Abu Tholut mengatakan, tidak ada bukti empiris bahwa suatu kemenangan gerakan di luar negeri memicu aksi terorisme. Sebagai contoh, kemenangan pemimpin Revolusi Iran, Ayatollah Khomeini, pada 1979, memunculkan euforia di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, tidak ada gerakan terorisme yang muncul. Kedua, kemenangan Mujahidin di Afghanistan pada 1992 juga tidak berdampak sama sekali. Baru pada 1999 atau 7 tahun setelah kemenangan Mujahidin, kata Abu Tholut, ada konflik Ambon yang memicu bom Natal. Menurut Abu Tholut, aksi terorisme justru muncul ketika Amerika Serikat dan NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) masuk Afghanistan pada 2001. “Artinya, ini psikologi, itu gerakan kemenangan tidak memicu apa-apa yang sifatnya terorisme. Justru yang memicu adalah berita tentang kekalahan, kezaliman, berita duka,” katanya.
4. Kemenangan Taliban dapat picu rekrutmen teroris
Adapun mantan Pimpinan JI di Indonesia, Nasir Abbas, meminta pemerintah mewaspadai euforia simpatisan kelompok Taliban, setelah kemenangan di Afghanistan. Nasir mengatakan euforia ini kerap berbuntut pada upaya rekrutmen oleh kelompok JI. “Masyarakat umum terbawa arus, terbawa menganggap ini kemenangan Islam. Akibatnya mereka mudah direkrut. Banyak dibaiat. Efek dari euforia membuat banyak orang untuk masuk,” kata Nasir, Sabtu (21/8/2021). Nasir mengatakan hal ini juga terjadi pada 2013 lalu, saat kelompok teror ISIS menyatakan kemenangan mereka di Suriah dan membentuk negara khilafah. Banyak simpatisan termasuk JI di Indonesia, yang menganggap ini sebagai kemenangan Islam. Mereka kemudian menggiring opini ini ke masyarakat.
Apalagi, Nasir meyakini banyak simpatisan JI yang masih tersisa. Penangkapan 53 terduga teroris oleh Mabes Polri, adalah salah satu bukti masih adanya sisa jaringan itu di Indonesia. “Mereka mengubah strukturalnya, mereka mengubah strategisnya, mereka memperkuat kantong pundi-pundi dana mereka untuk mendanai gerakan mereka,” kata Nasir. Sementara itu, Dosen Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak mencampuri urusan internal yang sedang terjadi di suatu negara, khususnya Afghanistan. Ia menilai langkah yang paling tepat dilakukan pemerintah ialah membiarkan dulu proses politik di Afghanistan hingga muncul pemimpin. “Menurut saya, sebaiknya pemerintah tidak dulu bersikap,” kata Hikmahanto, , Sabtu (21/8/2021. Selain itu, Indonesia harus menunggu sikap dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebab, saat ini Dewan Keamanan PBB sedang membahas situasi di Afganistan. Apalagi, semua pihak juga belum bisa mengetahui siapa yang akan menjadi pemimpin di Pemerintahan Afghanistan. Guru Besar UI itu mengingatkan Indonesia agar jangan sampai dicap sebagai negara yang mencampuri urusan negara lain. “Kita tidak ingin turut campur masalah dalam negeri di Afghanistan,” ujarnya.
Hikmahanto Juwana juga mengingatkan masyarakat jangan sampai konflik yang terjadi di Afghanistan merusak persatuan dan kesatuan di Indonesia. “Apakah kita akan merusak persatuan di Indonesia terhadap situasi yang terjadi di Indonesia? Saya rasa hal itu tidak perlu terjadi,” tutur Hikmahanto Juwana. Ia mengingatkan dan mengantisipasi jangan sampai masyarakat di Tanah Air ikut serta menggalang simpatisan atas konflik yang terjadi antara pemerintah Afghanistan dengan kelompok Taliban karena hal itu dapat merugikan diri sendiri. Lagi pula, jika ada galangan dukungan dari publik Indonesia untuk kelompok yang bertikai, kata dia, tidak akan berdampak langsung di Afghanistan. Belum tentu juga semua pihak mengetahui dengan persis apa yang sebenarnya terjadi di Afghanistan. Jika melihat dari perkembangan terakhir, kelompok Taliban memang menguasai Afghanistan. Di saat bersamaan ada masyarakat yang melarikan diri ke bandara dan perbatasan-perbatasan hanya untuk keluar dari negara tersebut. Tidak hanya itu, ada juga kelompok anti-Taliban yang menunjukkan perlawanan. “Artinya, jangan sampai masalah di luar negeri berdampak ke Indonesia yang bisa merusak persatuan karena tidak ada relevansinya,” ujar Guru Besar UI ini. Ia menegaskan lagi bahwa langkah yang paling bijak saat ini adalah tidak mengurusi atau mencampuri urusan internal Afghanistan karena bagaimana pun negara tersebut memiliki kedaulatan yang mesti dihormati oleh semua pihak.
Akankah Menjadi Ancaman Bagi Indonesia?
Pengamat Faisal Assegaf (founder Albalad.co) menilai, kemenangan Taliban sudah dipersiapkan jauh hari, setelah mereka berunding dengan AS. “Jadi, ini strategi baru Taliban untuk bisa berkuasa di Afghanistan. Apakah Taliban berubah? Saya jawab iya, sebab ini strategi mereka untuk berkuasa. Kalau tidak, maka tak mungkin mereka membiarkan evakuasi besar-besaran dari Kabul,” ujarnya. Menurut Faisal, kemenangan itu sontak ditanggapi sinis ISIS yang menuding kemenangan Taliban itu bukan kemenangan jihad Islam. “ISIS menganggap itu kemenangan karena perundingan dengan AS. Taliban berubah tidak lagi garang, karena ini strateginya untuk menarik simpati rakyat Afghanistan dan merebut dukungan dunia internasional,” tegasnya.
Sedangkan pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, melihat “euforia” JI membuktikan bahwa Taliban hingga kini masih dipandang sebagai bagian dari Al-Qaeda. Kelompok JI di Indonesia saat ini, kata Chaidar, tidak memiliki afiliasi dengan al-Qaeda maupun Taliban sehingga mereka akan melakukan tindakan untuk mendapat pengakuan dari keduanya untuk menunjukkan eksistensi mereka di Indonesia. “Terlihat dari maraknya penangkapan JI di beberapa tempat, Jawa Tengah, Lampung, itu adalah sel yang sangat aktif dan besar, itu yang harus ditanggapi oleh pemerintah dari pergolakan ini,” kata Chaidar.
Apakah berpengaruh ke ISIS dan afiliasinya di Indonesia? Kebangkitan Taliban diprediksi tidak memiliki pengaruh langsung terhadap potensi meningkatnya gerakan dari kelompok ISIS dan afiliasinya di Indonesia. Menurut pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) Taufik Andrie mengatakan, hal itu disebabkan terjadi kompetisi kekuasaan antara ISIS dan Taliban. Contohnya, ujar Taufik, Gerakan ISIS di Asia Selatan tidak diterima oleh Taliban. “Kelompok ISIS itu karena naluri kekuasaan dan ekspansi mereka dalam wilayah itu sama besarnya dengan Taliban jadi mereka malah kompetisi. Mereka secara kutub ideologis berseberangan,” kata Taufik. Untuk itu, Taufik melihat, hingga kini belum ada potensi ancaman teror di Indonesia akibat kebangkitan Taliban, terutama berasal dari JI. Ditambah lagi, ujarnya, aparat keamanan melakukan penangkapan secara besar-besaran anggota JI yang melemahkan dan mereduksi ancaman mereka. “Semua pemimpinnya ditangkap sepanjang tiga tahun terakhir, saat ini JI cukup lemah, jadi potensi atau kesempatan untuk melakukan serangan saya kira cukup kecil,” tambahnya.
Walaupun demikian, menurut Kepala Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah, kebangkitan Taliban berpotensi memberikan inspirasi bagi jaringan radikal di Indonesia. Hal ini berdasarkan pengalaman sebelumnya di mana gerakan terorisme di Indonesia mendapat dorongan dari luar, seperti jaringan al-Qaeda dan ISIS. “Jadi, selalu mereka terpesona dengan Islam transnasional, atau kemudian fenomena yang terjadi di luar negeri yang juga mereka mengupayakan juga terjadi di Indonesia. Ini yang perlu kita antisipasi ke depan,” kata Syauqillah. Ia juga mengemukakan, aksi Taliban di Afghanistan tak bisa serta merta ditiru di Indonesia, karena “peredaran senjata itu tidak ada. Jadi tidak sebesar Taliban”.
Senada dengan pendapat sebelumnya, Taufik meminta pemerintah untuk mengawasi glorifikasi kemenangan Taliban di Indonesia. “Jangan sampai menjadi inspirasi, malah kelompok-kelompok di Indonesia melakukan konsolidasi, bahkan mencoba strategi perjuangan Taliban,” ujarnya. Untuk itu, seperti kata Nasir Abbas, aparat keamanan harus terus aktif melakukan antisipasi dengan cara menangkap anggota-anggota JI, ISIS dan afiliasinya. “Dan perbanyak deradikalisasi agar kelompok jihadi bisa saling mengingatkan dan mencegah tidak terlibat konflik di luar,” katanya. Sementara itu, Indonesia berharap perdamaian Pemerintah Indonesia berharap agar perdamaian dan stabilitas segera terjalin di Afghanistan. Salah satu tujuannya adalah untuk menutup kekhawatiran akan potensi munculnya dampak yang meluas, seperti meningkatnya gerakan terorisme di dunia, termasuk Indonesia. “Dengan adanya stabilitas dan keamanan, anasir-anasir di masa lalu yang memanfaatkan ketidakstabilan, mudah-mudahan tidak ada satu kondisi yang bisa mereka manfaatkan [sekarang],” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah. Dia menambahkan, hingga kini pemerintah Indonesia tetap membuka kantor perwakilan, KBRI di Kabul. Tujuannya untuk menunjukkan eksistensi atau kehadiran Indonesia sebagai negara sahabat Afghanistan. Pada tahun 1998, saat terjadi konflik hebat di Afghanistan, KBRI di Kabul tetap beroperasi. “Namun dengan jumlah yang terbatas, disebut tim esensial. Keperluan mereka untuk melakukan pemantauan situasi dan membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait di sana,” kata Faizasyah. Walaupun demikian, ujar Faizasyah, Indonesia tetap memprioritaskan rencana evakuasi bagi WNI dan staf KBRI di Kabul.
Pelajaran Kemenangan Taliban Bagi Indonesia?
Berita Taliban menguasai Afghanistan sontak langsung membuat ramai di jagad maya. Sisi pro dan kontra, mesti ada. Bagi yang pro dengan Taliban, terurama kalangan jihadis atau pihak yang terkait kelompok teror berbasis agama, kemenangan Taliban menguasai Afghanistan menjadikan euphoria kaumnya. Bagi yang kontra dengan Taliban, terutama kalangan yang konsen dengan moderasi beragama dan aktivis gender, dibalik kemenangan Taliban adanya bayang-bayang ketakutan akan terorisme, radikalisme dan ketidaksensitifan gender (bias gender). Selama 20 tahun perang dengan Amerika Serikat. Selama 20 tahun juga di Afghanistan diprospek untuk perang saudara. Afghanistan yang terdiri dari 7 suku, yang 100% muslim tetapi selama 40 tahun dilanda perang saudara.
Taliban merupakan gerakan nasionalis Islam Deobandi pendukung Pashtun yang secara efektif menguasasi Afghanistan sejak 1996-2001. Taliban didirikan pada Sepetember 1994, oleh Mohammed Omar Abdul Ghani Baradar. Sejak runtuhnya rezim komunis Afghanistan serta kehancuran tatanan sipil dan negara tersebut. Apa yang sudah dilakukan Taliban selama ini? yang menurut sebagian orang dicap sebagai perbuatan kekejian. Taliban memperkenalkan atau mendukung hukuman yang sejalan dengan penafsiran mereka akan hukum Syariah, seperti eksekusi di depan umum terdakwa pembunuhan dan pezina, serta amputasi bagi mereka yang diputuskan bersalah karena mencuri.
Para pria Taliban diharuskan berjenggot, sementara para perempuan diwajibkan mengenakan burqa yang menutup seluruh tubuh. Taliban juga melarang televisi, musik dan bioskop, juga tidak memperbolehkan anak perempuan di atas sepuluh untuk sekolah. Taliban dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya. Salah satu yang terkenal pada tahun 2001, ketika Taliban melanjutkan penghancuran patung Budha Bamiyan yang terkenal di Afghanistan tengah, meski muncul kemarahan internasional. Kekejian lainnya, adalah membunuh keluarga jurnalis, membunuh rivalnya eks ISIS, membunuh wanita yang keluar tanpa burqa, dan memburu warga Afghanistan yang pernah bekerja sama dengan pasukan AS dan NATO. Di sisi lain, ada perubahan yang dilakukan oleh Taliban untuk mendapatkan dukungan, simpati rakyat Afghanistan dan Internasional, antara lain janji akan menghormati hak-hak kaum perempuan, tidak menawan, mengeksekusi, maupun menyiksa orang-orang yang ditahan, bahkan mengijinkan 8 mantan pejabat Afghanistan lari ke Turki, mengumumkan pemberian amnesti atau pengampunan orang-orang yang bekerja di pemerintahan Afghanistan seperti sipil, militer dari semua tingkatan, termasuk penerjemah pasukan asing.
Ada beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari peristiwa Taliban di atas bagi bangsa Indonesia. Pertama, pentingnya pemahaman tentang Islam yang damai, moderat, syarat dengan toleransi, keberagaman, kesetaraan sebagai konter pemahaman Islam yang radikalisme, terorisme dan intoleransi. Kedua, pentingnya pemahaman tentang kesetaraan dan sensitivitas gender sebagai penghormatan hak asasi perempuan. Ketiga, pemahaman tentang wawasan kebangsaan (nasionalisme) yang integratif dalam perspektif persatuan dan kesatuan bangsa, yang tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, warna kulit dalam wadah ke-bhinneka tunggal ika-an dan juga semangat jiwa kegotong royongan dalam bingkai NKRI.
Keempat, tetap mewasdai adanya gerakan laten kaum jihadis, yang merasa memiliki misi dan perjuangan yang sama seperti Taliban, yaitu mendirikan negara berdasarkan Islam. Karena bisa jadi kemenangan Taliban menguasai Afghanistan dijadikan motivasi dan membangkitkan semangat kelompok radikalisme di Indonesia. Perlu diwaspai pergerakan laten kaum jihadis, seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Dengan demikian pemerintah maupun masyarakat Indonesia dapat bersikap tegas dengan memahami apa itu Taliban dan mewaspadai gerakan-gerakannya. Sehingga jangan sampai menjadi ilham bagi aktifis teror untuk melakukan aksi teror berikutnya di Indonesia. (EKS/berbagai sumber)