Lawan Haters Dengan Pendekatan Restorative Justice

Illustration of people with justice and order icons

Netiket sudah menjadi norma global seiring dengan semakin pentingnya penggunaan internet dalam peradaban modern. Pemahaman atas netiket mesti ditumbuhkan sebagai pengetahuan yang melekat pada individu. Sebab, ketidaktahuan netiket menimbulkan dampak negatif  yang sangat merugikan.

Dari kasus Ayu Ting Ting dan kasus-kasus lainnya tampak masih banyak warganet di Indonesia yang belum menerapkan netiket secara sungguh-sungguh dan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Ini seingga menimbulkan masalah-masalah baru seperti misinformasi, disinformasi maupun malinformasi (informasi yang dibagikan dan kemudian menyebabkan kerugian pihak lain seperti dalam kasus Ayu Ting Ting).

Mengingat fakta bahwa literasi digital masih rendah di Indonesia, upaya penegakan hukum pemidanaan yang ketat bukan satu-satunya solusi terbaik.

Standar netiket di Indonesia masih rendah. Mengedepankan restorative justice tampaknya cara yang lebih baik ketimbang pemidanaan. Sesuai arahan Kapolri, apabila ada pelanggaran UU ITE , Polri  wajib mengedepankan “restorative justice” atau keadilan restoratif, yang dilakukan dengan pendekatan mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara pelapor dan pelaku.

Jakarta, 13 Agustus 2021. Nama penyanyi dangdut Ayu Ting Ting belakangan ini menjadi sorotan publik dan namanya diperbincangkan di media sosial oleh netizen. Tindakan Ayu Ting Ting dianggap menuai kontroversi terutama yang menyangkut masalah reaksi buruknya terhadap hater (pembencinya) nya. Kisahnya itu dimulai ketika lewat akun IG-nya, @ayutingtingfact, Ayu Ting Ting geram dengan tindakan seorang hater dengan akun @gundik empang yang membuly dirinya dan putrinya Bilqis Khuamirah Razak di sosial media.

Pembencinya itu belakangan diketahui bernama Kartika Damayanti (KD). Kasus ini pun berbuntut panjang, menyeret keterlibatan orang tua Ayu Ting Ting yang bernama Umi Kalsum dan suaminya, Abdul Rozak. Didampingi polisi, pada Rabu, 28 Juli 2021 lalu, mereka menyambangi rumah sang hater di Podomulo, Bojonegoro, Jawa Timur. Kedatangan mereka bermaksud menemui KD namun gagal karena yang bersangkutan berada di Singapura dan bekerja sebagai TKI di sana sejak 7 tahun silam. Dalam kesempatan itu, ibunda Ayu Ting Ting masih sempat mengancam keluarga KD dan mengatakan bahwa pihaknya sudah membawa kasus itu ke jalur hukum.

Tindakan Orangtua Ayu Ting Ting itu Diprotes Banyak Orang

Mengetahui kedatangan orangtua Ayu Ting Ting ke rumahnya, KD kemudian menyampaikan permintaan maaf nya di media sosial lewat sebuah unggahan video. Namun permintaan maaf tersebut ternyata tidak diterima pihak Ayu Ting Ting. Ayu Ting Ting tetap akan menempuh upaya hukum dan melaporkan KD di kantor polisi.

Ketua Fraksi PKB DPRD Jawa Timur, Fauzan Fuadi  ikut nimbrung. Ia menyayangkan sikap Ayu Ting Ting dan menyatakan KD sudah melakukan hal yang sudah benar. Jika pihak Ayu Ting Ting masih mau memperluas kasusnya, ia akan melaporkan balik Ayu Ting Ting.

Reaksi masyarakat

Penyanyi Ayu Ting Ting memang sudah lama menjadi bulan-bulanan hujatan haters. Ia pernah dihujat karena sering menangis di acara TV. Seorang netizen menganggap tindakan Ayu Ting Ting menendang salah satu talent (Andika Kangen Banda) live di Trans 7 juga dianggap buruk. “Saya berharap semoga orang yang berpikiran seperti itu tidak akan pernah berada di posisi seperti yang saya rasakan,” kata Ayu Ting Ting (12/8/2021). Kisruh kasus Ayu Ting Ting dengan haters nya di media sosial masih terus berlanjut dengan munculnya aksi boikot netizen pembencinya. Inisiator aksi tersebut belakangan diketahui bernama Putri Maharani yang berkesimpulan petisi itu dibat karena penyanyi dangdut berusia 26 tahun tersebut tidak beretika.

Lewat situs Change.Org, sebanyak 78.446 tandatangan berhasil dikumpulkannya dari target 150 ribu. Petisi itu bertujuan mem-black list Ayu Ting Ting muncul di televisi dan eksis industri hiburan. Menurut artis Nikita Mirzani petisi itu hadir karena ada haters yang mengompori sehingga semua kena imbasnya. “Buat gue nggak ada salahnya, namanya orangtua ketika satu orang menghujat anaknya keterlaluan gue pun kalau posisikan diri gue sebagai orang tua gue akan melakukan hal yang sama,” katanya di kanal YouTube Star Story (7/8/2021).

Menurut Nikita, tujuan menemui orangtua haters bukan untuk menghakimi, melainkan memberitahu bahwa sang anak telah melakukan hal tidak terpuji.

“Kalau nggak ketemu sama anaknya, at least kita bisa ngomong sama orang tuanya baik-baik. Tau nggak anaknya menghujat anak saya, cucu saya. Haters harus dikasih pelajaran supaya tidak belagu atau songong,” ujarnya lagi. Pembelaan Nikita Mirzani terhadap Ayu Ting Ting tampaknya aksi solider yang didorong oleh  pengalaman yang pernah menimpa beberapa waktu lalu saat konten di vlog nya diprotes dan dihujat warganet.

“Saya melihat hatersnya ini militan. Ini sudah viral dan liar bergulir. Saya pikir ini harus diwaspadai karena akan menghancurkan reputasi. Pasti ada sesuatu yang dilakukan Ayu Ting Ting hingga tercipta haters,” kata Denny Darko seorang Youtuber dari kanal YouTubenya (11/8/2021). Sementara itu pengacara Hotman Paris sempat menegur sikap orangtua Ayu Ting Ting dan menyatakan bahwa mereka agar berhati-hati dalam bertindak. “Mendatangi itu tidak salah. Tapi datang kesana berbuat apa, mengatakan apa, itu yang jadi parameternya. Kalau datang hanya sekadar ‘kamu jangan diulangi ya minta maaf’ ya oke. Kalau kata-katanya sudah diluar itu bisa jadi masalah hukum baru. Hunter menjadi hunted,” tambahnya dalam tayangan YouTube Sambel Lalap, (2/8/2021).

Anggota DPRD Jawa Timur Fauzan Fuadi yang membela Kartika Damayanti (KD) mengatakan pembelaannya terhadap KD menyebabkan dirinya ikut dirundung para penggemar Ayu. Sikap saling merundung ini menurutnya tidak akan menyelesaikan apa-apa. “Dan tahukah netizen, kata-kata tidak patut seperti apakah yang dilontarkan oleh ortu Ayu Ting Ting kepada keluarga Pak Madi di Bojonegoro? Bully berbalas bully, tidak akan pernah selesai,” ujarnya. Keterlibatan polisi dalam kasus ini juga disorot netizen. Seperti diketahui, oknum polisi Polda Metro Jaya dilaporkan mengawal perjalanan orangtua Ayu Ting Ting dari Depok-Jakarta sampai Bojonegoro.

Banyak netizen mempertanyakan apakah pengawalan itu perlu hanya untuk melabrak ortu ari tertuduh? Apakah kasus ini lebih genting daripada masalah Covid? PPKM darurat tengah dijalankan dan polisi tidak mencontohkan hal yang baik. Keterlibatan polisi seperti ini terlalu ‘receh’  karena memproses laporan soal ‘pencemaran’ yang datang dari level influencer atau artis.

Belajar Dari Kasus-Kasus Hater

Jelas begitu banyak dan beragam respon terhadap kasus ini. Kasus Ayu Ting Ting sesungguhnya memunculkan persoalan utama mengenai kualitas netiket di Indonesia ke permukaan. Ini bukanlah kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Selama ini sudah banyak kasus konten dalam berbagai platform yang mencuat. Selain melibatkan KPAI, masalah juga melibatkan pihak kepolisian.  Reaksi dan respon masyarakat di masa lalu juga tidak berbeda. Sesudah kasusnya menjadi viral dan digunjingkan, muncul upaya saling menyalahkan, saling hujat, bahkan saling mencari perhatian dan keuntungan dan pencarian solusi terbaik. Kasus-kasus itu juga tidak luput dihubungkan dengan tugas dan peran negara maupun aparat kepolisian dalam penegakan ketertiban umum. Di luar negeri seperti Australia kasus-kasus seperti ini dianggap  hanya refleksi kebebasan mengekspresikan opini pribadi dan pendapat serta penyaluran aspirasi warganet. Selain kejahatan siber yang serius seperti penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual dan radikalisme, penegak hukum jarang melakukan intervensi terkecuali ada kandungan unsur pidana atas konten negatif, ujaran kebencian atau hujatan yang muncul di media online. Kedewasaan warganet sudah tinggi dan mekanisme mediasi penyelesaian sudah berjalan.

Di Indonesia, kebijakan penggunaan siber tampaknya masih dikondisikan mesti sejalan dengan misi dan tujuan negara dan pemerintah. Ini tampak dari pembentukan polisi virtual dan polisi siber serta dibuatnya perangkat hukum UU ITE yang sudah banyak diterapkan. Orang Indonesia yang menggunakan media digital dituntut mampu menyeimbangkan diri antara ekspresi pribadi dengan masyarakatnya dengan mempertimbangkan karakteristik dan budaya Indonesia yang khas dan multikultur. Netizen di Indonesia harus menggunakan etika, peraturan dan perundangan yang bertujuan mendukung persatuan masyarakat dan berbangsa. Dalam hal ini megara berkepentingan mengintervensi bila mereka dianggap tidak sejalan dengan pemerintah. Majelis Ulama Indonesia juga turun tangan mengeluarkan pedoman berkomunikasi di media sosial melalui Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.

Fatwa mereka melarang penyebaran informasi palsu (hoaks), fitnah, gibah (penyampaian informasi faktual seseorang atau kelompok yang tak disukai), (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta, sampai ujaran kebencian dan permusuhan. Di masa lalu, KPAI pernah terlibat kasus Nikita Mirzani dalam vlognya (2006) yang viral karena mengunggah konten dewasa tentang ‘mandi kucing’ yang dianggap membahayakan bila ditonton anak-anak. Selain itu juga ada konten Youtube atau konten Vlog artis Anya Geraldine pernah dihujat karena dianggap berani memamerkan kemesraan dengan pasangannya Okky Raditya. Disebutkan bahwa konten-konten mereka dinilai tidak pantas. 

Di berbagai bagian dari dunia maya mereka diminta mempelajari etiket bermedia di internet. Kalau konten-konten seperti itu dihujat dan dikritik karena tidak sesuai dengan norma-norma kesusilaan di Indonesia, tidak selalu sama halnya di negara-negara lain.Selain itu, seperti di Australia, ada banyak konten humor, satir dan kritikan terhadap pejabat negara termasuk Perdana Menterinya yang muncul lewat media digital. Kritikan mereka dianggap sebagai bagian dari komunikasi politik yang menghibur warganya sehingga tidak dianggap membahayakan. Hal ini tentu saja berbeda dengan di Indonesia. Kasus terbaru misalnya telah menjerat Muhammad Arsyad, pemuda yang kemudian ditahan kepolisian karena perbuatannya menghina Presiden Joko Widodo melalui media sosial Facebook.

Haters di Indonesia Rendah Netiketnya

Dari kasus Ayu Ting Ting dan kasus-kasus itu tampak masih banyaknya warganet di Indonesia yang belum menerapkan netiket secara sungguh-sungguh dan disesuaikan dengan konteks Indonesia sehingga menimbulkan masalah-masalah baru seperti misinformasi, disinformasi maupun malinformasi (informasi yang dibagikan dan kemudian menyebabkan kerugian pihak lain seperti dalam kasus Ayu Ting Ting). Sesungguhnya di era globalisasi seperti saat ini, etika sudah menjadi hal yang makin langka dan tergerus zaman. Meski demikian, etika tetap diperlukan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan. Kalau netiket adalah etika yang berlaku dalam pergaulan dan pekerjaan sehari-hari, netiket adalah sopan santun pergaulan di dunia maya yang meliputi impresi diri, cara berpakaian, bertelepon, hingga cara menyapa dan membangun relasi di media sosial.

Menurut Direktur Eksekutif ICT Watch Donny BU, pengguna media sosial perlu mempelajari dan melek etiket dunia maya. Netiket media sosial agar jangan berbohong, membenci, mengutuk, melecehkan, hanya berbagi info yang akurat, mau perbaiki kesalahan, menghormati privasi, dan pertimbangan matang sebelum mengunggah. “Karena orang kan mentang-mentang pakai media sosial, gadget, lalu seolah tidak berhadapan langsung dengan yang bersangkutan. Merasa tidak ada konsekuensi,” jelasnya. Pengguna media sosial juga harus mampu membayangkan statusnya itu diucapkan secara langsung di hadapan publik sebelum mem-posting. Mereka juga harus memilkirkan apakah ada manfaatnya atau tidak konten itu. Apalagi penyebarannya harus bisa dipertanggungjawabkan.

Norma-norma atau etiket sosial ketika online adalah sama pentingnya dengan ketika berinteraksi di dunia nyata.Namun karena media sosial tanpa dihadiri oleh moderator, banyak netizen merasa bebas dan tidak merasa takut. Mereka juga bisa merasa bersembunyi di balik identitas terselubung yang tidak jelas ketika berkomunikasi dengan pihak yang mereka hadapi secara tidak langsung dan tanpa tatap muka. Menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono, dunia maya atau hyper realitas adalah ruang sosial yang memang sifatnya terbuka. Artinya, siapa saja bisa punya peluang akses dan mengambil manfaat dari dunia itu. Karena keterbukaannya itu, tidak sedikit yang memang sengaja melakukan hal-hal negatif termasuk melakukan perudungan. “Itu tidak bisa dielakkan, tergantung pada kejelasan netiketnya, aturan-aturan atau norma-norma di dalam penggunaan internet itu,” jelasnya.

Merujuk pada kasus Ayu Ting Ting tampak fenomena di mana banyak warganet yang masih tidak mengindahkan standar komunikasi ketika mereka berada di ruang siber. Mereka tidak mempertimbangkan potensi adanya pihak-pihak yang bisa tersinggung, marah, sedih atau terluka atas isi tulisan mereka, karena mereka seringkali tidak kenal langsung dengan pihak yang diajaknya berinteraksi. Akibatnya muncul perselisihan dan gugatan hukum. Menurut Akhmad Nasir, Indonesia berdasarkan Survey Digital Civility Index (DCI) menduduki peringkat paling bawah di kawasan Asia Tenggara untuk tingkat kesopanan digital global.  Duta Bahasa Jawa Barat Anggi Auliyani, menambahkan bahwa masyarakat Indonesia  memang belum utuh dalam tingkatan literasi berpikir dan bertindak. Ketika berliterasi digital tapi tak berbudaya, yang terjadi menurutnya seperti survei yang menyebutkan netizen Indonesia sebagai yang paling tidak sopan. Ini berarti bahwa masih ada masalah besar dalam cara orang Indonesia berkomunikasi dengan media digital yang belum berubah dan beradaptasi.

Tidak seperti pada budaya sebelumnya, netizen Indonesia harus disadarkan bahwa dalam era digital jejak mereka terekam dan dapat dikenali sehingga bisa dituntut pihak yang merasa dirugikan. Kesadaran atas pengaruh kuat dari uplod konten perlu diajari kepada masyarakat. Selain negara, aturan-aturan penggunaan internet atau netiket perlu melibatkan komunitas pengguna. Di lain pihak, setiap netizen juga harus menghadapi persoalan dengan tenang, jernih, tidak terpancing dan dewasa.

Kita juga harus menyadari bahwa di mana-mana termasuk di Indonesia, kasus-kasus yang viral dan mencuat seringkali bukan suatu kebetulan namun suatu kesengajaan. Dua sisi penggunaan media sosial adalah tujuan promosi, personal branding, mengumbar ketenaran, mencari pengikut, mencari ‘likes’ atau menggunakan teknik-teknik yang sengaja bertujuan merugikan reputasi orang. Media sosial dalam hal ini dipakai sebagai motif eksistensi dan bisnis demi kepentingan dan keuntungan tertentu termasuk mendeskriditkan ketenaran seseorang. Media menulis bahwa rating Ayu Ting Ting lengser dari 25 besar karena kasus ini. Sementara di media lain melaporkan bahwa meski dihujat oleh banyak netizen Indonesia, Ayu Ting Ting justru mendapat tawaran kolaborasi dari stasiun TV Korea Selatan.

Menciptakan Kedewasaan Warganet

Perilaku netizen dipengaruhi oleh aspek-aspek kesadaran, kebajikan, integritas, dan tanggung jawab yang berbeda-beda antar individu. Kedewasaan warganet adalah faktor yang menentukan kualitas netiket dari seorang netizen. Kedewasaan tersebut mereka dapatkan dari pengetahuan dan kesadaran atas ruang-ruang publik seperti yang dijelaskan Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa dengan dipenuhinya etiket dunia maya, akan tercipta ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang publik di sini adalah tempat banyak suara (many voices) untuk mengutarakan banyak sudut pandang dengan santun sehingga tercipta demokrasi komunikasi.

Bila mengacu pada kasus Ayu Ting Ting itu, jelas sekali kedewasaan warganet di Indonesia masih tergolong rendah sehingga masalah-masalah seperti ini akan kerap muncul kembali bisa tidak dilakukan intervensi perbaikannya. Kita masih melihat banyak ketidakjelasan dalam penerapan norma-norma sehingga penyimpangan-penyimpangan terhadap relasi sosial muncul. Perbaikan itu adalah penting sebelum penegakan hukumnya benar-benar diterapkan.

Dasar penegakan hukum

Perbuatan pelanggaran kasus-kasu semacam Ayu Ting Ting ini bisa dijerat Pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp750 juta.

Pasal 29 UU ITE juga menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Ancaman hukuman atas pelanggaran pasal itu adalah hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar, sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.

Menurut antropolog Undip  H. Amirudin, penerapan UU ITE secara konsisten dan tidak diskriminasi akan dapat dipakai mencegah lahirnya generasi maneki (generasi tanpa jiwa tanpa nilai budaya keindonesiaan) karena intensitas pemanfaatan teknologi media.

“Penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tanpa tebang pilih di tengah pandemik Covid-19 ini penting guna mencegah Generasi Z atau mereka yang lahir 1995-2010 tidak melakukan perundungan (bullying),” imbuhnya.

Tapi sekali lagi, mengingat fakta bahwa literasi digital masih rendah di Indonesia, upaya penegakan hukum pemidanaan yang ketat bukan satu-satunya solusi terbaik. Apalagi standar netiket di Indonesia terbukti masih rendah.

Mengedepankan restorative justice tampaknya cara yang lebih baik ketimbang pemidanaan. Sesuai arahan Kapolri, dijelaskan bahwa apabila ada pelanggaran UU ITE maka wajib mengedepankan “restorative justice” atau keadilan restoratif, yaitu dilakukan pendekatan untuk mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara pelapor dan pelaku. Jadi, penyelesaian kasus seperti Ayu Ting Ting ini bisa diupayakan dengan pendekatan restorative justice, yakni mengedepankan mediasi antara korban dan pelaku untuk mencari solusi terbaik.

Karenanya, sudah waktunya penerapan restorative justice ini dilegitimasi dan dipedomani oleh Undang-Undang atau setidaknya dalam peraturan pemerintah seperti yang disarankan eks Komisioner Kompolnas Andrea H Poeloengan (2/8/21).

Menurutnya, Polri memaknai restorative justice sebagai penyelesaian di luar hukum formal dan mendamaikan.

Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan menambahkan bahwa:

“Walaupun aparat penegak hukum mempunyai semangat yang besar dalam penerapan restorative justice, namun jika belum terjamin konsitensi penerapan restorative justice, akan membahayakan penegakan hukum,” jelasnya.

Perkuat literasi digital

Penerapan restorative justice dituntut harus dapat mengatur soal prosedur mempromosikan kemampuan masyarakat menyelesaikan persoalannya.

Sementara penerapan restorative justice makin digalakkan, sosialisasi pentingnya UU ITE dan penegakan hukum di Indonesia masih perlu diperluas. Masyarakat harus bisa diarahkan untuk melek proses hukum terkait pelanggaran ITE.

Lebih jauh lagi, perlu langkah pencegahan lewat sosialisasi etika berinternet dalam konsep ‘PIKIR’: Penting, Informatif, Kebaikan, Inspiratif, dan Realitas guna mencapai harapan agar kasus perudungan semakin sedikit muncul berkat meningkatnya kualitas netiket daei netizen di Indonesia.

Literasi digital atau kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber melalui piranti komputer harus terus digalakkan. Namun mengingat kondisi di Indonesia sekarang ini, muskil menuntut netizen melakukan peningkatan kapasitas netiketnya tanpa bantuan berbagai pihak.

Hal ini penting dilakukan karena begitu tingginya pengguna internet di Indonesia lewat telpon seluler. Menurut data Dewan Pers 2018, media informasi lewat gajet telepon seluler mencapai kenaikan 500 persen di Indonesia, yakni salah satu yang tertinggi di dunia. Bila hal ini tidak dibarengi adaptasi dan adopsi netiket dalam konteks literasi digital, maka jelas akan makin bermasalah di masa depan.

Selama ini pihak kepolisian sudah mencoba melakukan kampanye penyadaran netiket dengan menyebarkan beragam informasi seputar netiket yang diperlukan. Banyak suara di masyarakat yang menganggap bahwa sebaiknya polisi virtual lebih fokus mengajari warganet memahami netiket sebagai bagian edukasi daripada penangkapan. Penerapan restorative justice sesungguhnya mengandung elemen pendidikan tersebut.

Polisi memang berkepentingan pula mendidik, menyejukkan dan menyerukan perdamaian antar netizen di dunia digital yang terbukti mengabaikan dan menerapkan etika secara minim dan kurang bertanggungjawab. Meningkatnya penetrasi internet di Indonesia itu membuat kasus perundungan siber di media sosial makin marak terjadi. Perundungan siber tidak hanya menimpa kalangan selebritas, tetapi juga masyarakat biasa.

Ada tujuh bentuk perundungan siber menurut teori Willard, yaitu flaming (pertengkaran daring), harassment (pelecehan), denigration (ftnah), impersonating (akun palsu), trickery (tipu daya), exclusion (pengucilan), dan cyberstalking (penguntitan siber). Tiga objek perundungan siber yang kuat di Indonesia ada  pada individu wilayah, agama, dan institusi atau profesi tertentu.

Akhirnya, netiket sudah menjadi norma global seiring dengan semakin pentingnya penggunaan internet dalam peradaban manusia modern terkini. Kata kunci adalah adaptasi dan belajar terus-menerus. Ruang siber lebih besar dari kita yang dituntut memiliki perilaku baik, tidak kasar dan tidak disruptif. 

Pemahaman atas netiket mesti ditumbuhkan sebagai pengetahuan yang melekat pada individu. Sebab, ketidaktahuan netiket akan menimbulkan dampak negatif dan sangat merugikan. Harus ditekankan bahwa seseorang tidak boleh menyandang status netizen jika belum punya netiket.  (Isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version