Viral Dulu Utamakan, Minta Maaf Kemudian

Viral Dulu Utamakan, Minta Maaf Kemudian

Viral Dulu Utamakan, Minta Maaf Kemudian

Ibu korban kasus dugaan pencabulan di Bekasi, DN (34), meminta maaf kepada kepada jajaran aparat kepolisian. DN meminta maaf telah menyebut polisi menyuruhnya menangkap pelaku dugaan pencabulan terhadap anaknya. Begitu mudah orang mempercayai media sosial tanpa cek dan ricek dulu kebenarannya. Perlu sosialisasi keluarga sadar hukum.

Jakarta – (28/12/2021). Menurut DN, polisi telah menyambut dengan baik terkait dengan penanganan perkara dugaan pencabulan anaknya. “Kapolres serta jajaran dan penyidik PPA yang menyambut saya dengan baik. Sudah, sudah ada penjelasan,” ujar DN.

Sebelumnya, DN melaporkan pria yang juga tetangganya berinisial AY (31) ke Polres Bekasi karena diduga mencabuli anaknya yang masih berusia 11 tahun. Pada Selasa (21/12) pagi, DN melaporkan AY. Di hari yang sama siang harinya, DN mendapat informasi dari keluarganya bahwa AY akan pergi ke Surabaya dari Stasiun Bekasi.

Setelah memberi tahu polisi jika pelaku ingin kabur ke Surabaya, DN mendapat jawaban di luar dugaan. DN dan keluarganya diminta untuk menangkap sendiri AY oleh polisi. Pada saat itu, DN tidak menyebut siapa yang menyuruhnya menangkap sendiri AY. Di sinilah awal keriuhan di media sosial dengan berkembang narasi negatif bahwa polisi tidak melayani pelapor bahkan seolah-olah polisi menyuruhnya untuk menangkap sendiri pelaku. Faktanya, DN sendiri tidak bisa menyebutkan siapa yang menyuruh menangkap terduga pelaku.

Tapi nasi telah menjadi bubur — the damage has been done, kerusakan dan kehebohan serta citra Polri telah terganggu dengan sikap atau perilaku terburu-buru — ledakan emosi sesaat. Tanpa dipahami terlebih dulu duduk permasalahan sesungguhnya.

Boleh jadi inilah tantangan humas Polri dewasa ini yakni pada aspek 3V (variety, velocity, dan volume). V pertama adalah Variety. Informasi dan isu yang berkembang saat ini banyak jenis dan sumbernya. V kedua adalah Velocity. Informasi dan isu mengalir secara cepat. Apa yang ditulis di media sosial, dalam hitungan detik sudah jadi konsumsi publik, menyebar melintas batas pulau, benua, dan zona waktu. Berita tentang gangguan kerukunan agama, kekeliruan data penerimaan anggota polisi baru, kekerasan oleh polisi, dugaan penangkapan tebang pilih, keluhan pelayanan Polri termasuk laporan Ibu korban kasus dugaan pencabulan di Bekasi ini, tiba di publik tanpa bisa dicegah dan disaring. Tak ada editor seperti halnya media massa. Dan, tak ada yang menjamin kebenaran informasinya.

Fakta dan Kebenarannya

Bagaimanapun kasus Ibu DN ini telah menghebohkan dunia maya meskipun tidak didasari kebenaran dan fakta serta kronologis yang runtut. Perlu dipahami, dalam bekerja Polisi memiliki prosedur standar sebelum melakukan penindakan. Dalam proses pengajuan pelaporan, dalam kasus dugaan pencabulan ini misalnya, pelapor harus memiliki bukti yang cukup.

Kemudian polisi akan memberikan Surat Permintaan Visum er Repertum atau surat polisi yang meminta dokter untuk memeriksa tubuh korban dan semua proses tersebut tidak dikenakan biaya.

Dalam hal pelaporan ibu DN ke Polres Metro Bekasi Kota, polisi tidak mengacuhkan laporan pelecehan yang dilaporkan oleh DN, namun semua proses membutuhkan prosedur agar penindakan yang dilakukan polisi, sah secara prosedur dan benar secara hukum.

Setelah mengerti duduk masalah dan prosedur kerja Polisi, DN akhirnya melakukan klarifikasi dalam bentuk permintaan maaf kepada kepolisian. DN mengakui bahwa tindakannya gegabah. DN mengakui saat itu sedang dalam keadaan emosi dan tidak memahami prosedur yang ada sehingga mengambil kesimpulan sendiri yang berakibat munculnya pemberitaan yang tidak mengenakkan. Saat ini DN sudah meminta maaf kepada kepolisian atas tindakannya yang mendesak polisi dan membuat keramaian di pemberitaan nasional.

Kepolisian juga sudah menetapkan pelaku pelecehan seksual sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Metro Bekasi Kota. Tersangka tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak akan dijatuhi hukuman ancaman 15 tahun penjara atau denda 5 miliar rupiah.

Terima tanpa Cek dan ricek

Mengapa publik dengan mudahnya menelan berita yang beredar tanpa mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya? Penyebaran berita bohong atau sering disebut hoax kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius di Indonesia. Pasalnya, hoax menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, rusaknya nama baik atau reputasi sampai menimbulkan permusuhan.

Informasi yang bersifat hoax menyebar dengan cepat baik melalui saluran media sosial maupun grup di aplikasi chatting, misalnya WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan masih banyak lagi. Mengapa banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum dapat dipastikan?

Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax. “Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia.

Hal tersebut, menurut Laras, juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu suka terhadap kelompok, produk, dan kebijakan tertentu, jika menerima informasi yang sesuai dengan apa yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang.

Secara natural, perasaan positif akan timbul di dalam diri seseorang ketika ada yang mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoax ke pihak lain. Penyebaran hoax, selain karena adanya perasaan terafirmasi, juga dipengaruhi oleh anonimitas pesan hoax itu sendiri.

“Sering kali ada awalan pesan ‘sekadar share dari grup sebelah’. Anonimitas ini menimbulkan pemikiran bahwa jika informasinya salah, bukan tanggung jawab saya. Saya sekadar share,” ujarnya lagi.

Terbatasnya pengetahuan

Alasan kedua bagi seseorang mudah percaya pada hoax, lanjut Laras, bisa juga disebabkan terbatasnya pengetahuan. “Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya. Ia mencontohkan informasi yang ramai disebarkan melalui broadcast message berisi ajakan untuk mengunduh aplikasi tertentu atau donasi melalui perusahaan tertentu.

Kepercayaan terhadap informasi-informasi tersebut bisa jadi dikarenakan tidak ada pengetahuan sebelumnya mengenai aplikasi atau perusahaan yang dimaksud.

Fakta menariknya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar imun terhadap hoax. Siapa saja bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax. “Ketika berbicara soal media sosial, media digital, saya berpendapat, kita harus bedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan mengoperasikan gawai. Seseorang yang tech savvy belum tentu information literate,” ujarnya.

Oleh karena itu, secara teoretis, menurut Laras, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran memanfaatkan teknologi informasi.

Akan halnya ibu korban DN ini, dapat dipastikan karena kurangnya pengetahuan dan justru menyebabkan tersebarnya informasi yang tidak tepat tentang masalah yang dihadapinya. Jadi keterbatasan pengetahuan ini juga sangat berbahaya bila tidak segera menyadari risikonya.

Dampak psikologis

Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Namun, khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih. “Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.

Internet menghadirkan banyak kemudahan, sekaligus banyak bencana salah satunya menjadi ladang subur lahirnya berita bohong alias hoax. Menjamurnya hoax sering mengacaukan pikiran kita. Jika tak teliti, kita dapat dengan mudah ditipu olehnya. Organisasi non-profit First Draft mencatat setidaknya ada tujuh jenis mis-informasi serta disinformasi yang marak beredar di dunia maya. Apa saja itu?

Pertama adalah Satir. Satir merupakan konten yang dibuat sebagai sindiran pada pihak tertentu. Konten yang dimuat dikemas dalam unsur parodi, ironi bahkan sarkasme. Umumnya, satir dibuat sebagai bentuk kritik pada individu atau kelompok atas berbagai masalah yang sedang terjadi. Satir termasuk dalam konten yang tidak membahayakan. Namun, tak jarang pembaca justru menganggapnya sebagai sebuah hal serius. Alhasil, banyak yang tertipu dan meyakini konten satir adalah suatu kebenaran.

Kedua adalah Misleading Content (Konten Menyesatkan). Misleading content atau konten menyesatkan adalah penggunaan informasi untuk membingkai suatu isu atau pihak. Konten semacam ini dibuat secara sengaja dan diharapkan dapat menggiring opini sesuai dengan kehendak pembuat informasi. Misleading content  terjadi dengan cara memanfaatkan informasi asli seperti gambar, pernyataan resmi atau statistik namun diedit dan tidak dihubungkan dengan konteks aslinya.

Kasus anak kejang-kejang di Magelang adalah contohnya. Video yang beredar memang menunjukkan seorang anak yang sedang berada di puskesmas. Namun, dokter yang ketika itu menangani tidak mengeluarkan rujukan dengan diagnosa kecanduan game. Hal ini berbeda dengan postingan salah satu akun Facebook  yang memakai video tersebut. Alhasil, pihak puskesmas melalui surat resmi mengimbau untuk tidak menyebarkan informasi tidak benar tersebut.

Ketiga adalah False Context (Informasi Salah Konteks). Sesuai dengan namanya, false context menggunakan informasi asli namun disebar dalam konteks yang keliru. Umumnya, informasi yang dipakai adalah pernyataan, foto atau video peristiwa yang pernah terjadi pada suatu tempat namun konteks yang ditulis tidak sesuai dengan realita. Ini terjadi lantaran karena jurnalistik yang buruk atau untuk mendorong opini khalayak.

Sebagai contoh, dalam cuitan salah satu akun Twitter tertulis narasi yang mempertanyakan kesiapan Brimob untuk mengamankan kondisi di Papua dilengkapi dengan video. Namun, penelusuran Turn Back Hoax justru menemukan fakta bahwa video yang digunakan adalah kejadian bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pada 2006 di halaman kampus Universitas Cendrawasih. Jelas berbeda dari narasi yang ditulis oleh akun tersebut.

Keempat adalah False Connection (Salah Koneksi).Selain false context, ada pula false connection yang memakai caption, judul, atau sumber visual yang tidak sesuai dengan konten tulisan. Berita bohong semacam ini biasanya dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan berupa profit atau ekspos berlebih dari konten sensasional.

Kasus domba ini jadi salah satunya. Didasarkan pada temuan Turn Back Hoax, cuitan salah satu akun Twitter terbukti melakukan false connection dengan menggunakan video domba Beltex yang dicukur bulunya sebagai hewan kloning bernama Khanzarof. Sangat berbeda dari fakta bahwa domba Beltex berasal dari Selandia Baru dan mendapatkan suntikan otot ganda texel dari Belgia.

Kelima adalah Imposter Content (Konten Tiruan). Sesuatu yang berbau tiruan juga merambah pada ranah informasi. Konten tiruan atau imposter content mendompleng ketenaran suatu pihak. Mereka membuat tiruan yang terlihat seolah asli agar dapat menipu masyarakat. Sudah banyak kasus semacam ini mencatut lembaga atau perusahaan resmi. Salah satunya dialami GOJEK.

Startup layanan transportasi ini dicatut namanya oleh pihak tak bertanggung jawab dalam layanan berbagi pesan. Peniru mengatasnamakan GO-JEK mengirimkan pesan berupa tautan voucher Gopay. Pihak GO-JEK sendiri telah membantah sedang mengadakan event bagi-bagi voucher  dan meminta masyarakat waspada terhadap akun tiruan.

Keenam Manipulated Content (Konten Manipulasi). Kecanggihan teknologi memungkinkan sebuah informasi asli dimanipulasi untuk mengelabui bahkan memprovokasi pembaca agar percaya pada konten yang dibuat. Peristiwa semacam ini sering menimpa media-media besar yang beritanya disunting oleh tangan-tangan usil. Penelusuran Turn Back Hoax lagi-lagi menemukan hal tersebut. Sebuah akun Facebook mengunggah potongan gambar judul berita beserta penulisnya. Setelah diselidiki, ternyata itu merupakan hasil edit dari artikel asli salah satu portal berita.

Ketujuh Fabricated Content (Konten Palsu). Di antara jenis berita bohong lain, fabricated content termasuk konten dengan menciptakan informasi baru yang sama sekali tidak dapat dipercaya. Fabricated content berbahaya bila pembaca tidak cermat ketika mengakses informasi tersebut. Ada banyak contoh dari fabricated content. Informasi lowongan pekerjaan jadi salah satunya.

Mengatasnamakan salah satu PT Timah, oknum nakal memberikan informasi lowongan pekerjaan lengkap dengan posisi yang dibutuhkan serta alamat e-mail instansi. Namun, pihak perusahaan membantah informasi tersebut dan menekankan bahwa informasi resmi bisa didapat melalui situs serta sosial media resmi perusahaan milik negara tersebut.

Penyebaran hoax yang kian masif perlu jadi perhatian kita. Sudah sewajarnya kita lebih cermat dalam memilah informasi. Manfaatkan pula sarana cek informasi melalui situs resmi seperti Turn Back Hoax agar kita terhindar dari kabar yang tidak jelas kebenarannya.

Belajar dari kasus ibu DN

            Belajar dari kasus yang dialami ibu korban DN di Bekasi, kita sebagai warganet juga perlu waspada. Karena akibat ketidaktahuan, kurang info maupun pengetahuan, juga bisa berakibat fatal. Bisa saja karena ketidaktahuan kita, justru kita menjadi penyebab timbulnya hoax yang merugikan pihak lain.

Lantas, sebagai warganet, sebenarnya apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi suatu pemberitaan dan mencegah berita hoax menyebar? Berikut di antaranya.

Pertama, kembangkan rasa penasaranmu setiap saat, jangan langsung menyebarkan suatu berita tanpa mengecek kebenarannya.

Menurut Tom Stafford, seorang psikolog dari The University of Sheffield kita mendapat banyak manfaat dengan menjadi lebih ingin tahu atau penasaran. Sementara itu, pendidikan zaman sekarang gak banyak mencegah pemikiran masyarakat terbuka. Justru rasa penasaran terbukti ilmiah bisa membuka pemikiran lebih terbuka. Sehingga, kita tidak buta hanya dengan satu ideologi saja.

Kedua, berhati-hatilah dengan judul yang provokatif. Seringkali, berita hoax punya judul yang mengundang sensasi, seperti bersifat menghasut atau provokatif. Bahkan, lebih ngeri lagi, kadang isinya diambil dari media atau surat kabar resmi. Hanya saja, sedikit diubah agar sesuai dengan persepsi dari pembuat hoax.

Untuk itu, coba ambil koran untuk memastikan kebenaran. Bisa juga dengan mengeceknya dengan berselancar ke internet. Kita bisa membaca media berita yang ada. Dengan kredibilitasnya, sudah pasti media mengecek kebenarannya sebelum disiarkan ke khalayak ramai. Coba perhatikan apakah ada perbedaan.

Ketiga, cari tahu keaslian alamat situs laman. Jika kita mendapatkan berita dari sebuah artikel, coba perhatikan tautannya. Apakah tautan tersebut berupa blog atau media berita asli. Jangan sampai terkecoh, kadang ada orang yang gak bertanggung jawab membuat berita bohong dengan menggunakan tautan yang mirip dengan media berita asli.

Dilansir dari Dewan Pers, di Indonesia terdapat lebih dari 43.000 situs yang mengklaim dirinya sebagai media berita. Namun, yang sudah terverifikasi gak sampai 300. Itu artinya, ada kemungkinan banyak berita bohong yang bisa beredar.

Keempat, perhatikan keaslian foto. Tidak hanya tulisan saja, berita bohong ada kalanya berupa foto yang telah dimanipulasi. Pembuat berita palsu bisa saja telah mengedit sebuah foto lalu disiarkan ke internet dengan tujuan memprovokasi. Namun, kamu pun bisa mengecek keaslian sebuah foto dengan mesin pencari Google Images dengan tautan images.google.com. Kita  bisa mengunggah sebuah foto atau dengan fitur drag and drop. Dengan begitu, kamu bisa membandingkan hasilnya dan mengambil kesimpulan apakah foto tersebut asli atau bohong.

Kelima, periksa keaslian berita dengan mencari tahu asal sumbernya. Sudah umum kalau berita dikuatkan dengan sumber. Biasanya kita akan melihat sumber, misalnya dari polisi atau KPK. Kamu bisa mengecek dan membandingkannya dari siaran pers langsung atau dari media berita. Selain itu, kita pun perlu membedakan mana berita berupa fakta dan mana yang berupa opini. Itu karena gak semua opini perlu kita sepakati. Bisa jadi kita punya pemikiran lain.

Keenam, ikut serta dalam grup diskusi antihoax di media sosial. Untuk mendukung gerakan antihoax, ada banyak grup di media sosial yang berguna untuk mendiskusikan apabila ada suatu pemberitaan baru yang kontroversi. Kamu bisa bergabung dan menyimaknya. Siapa tahu dengan begitu pemikiran kita akan terbuka.

Ketujuh, segera adukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika apabila menemukan berita hoax. Setelah melakukan semua cara di atas dan terbukti kita menemukan suatu berita adalah hoax, jangan ragu untuk melaporkannya ke Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui surel aduankonten@mail.kominfo.go.id.

Itulah beberapa cara mencegah berita hoax menyebar yang bisa kamu lakukan. Ayo perangi hoax! Kontribusi kecil kita penting untuk mengingatkan keluarga kita yang mungkin sering terpapar hoax. Ajak sebanyak mungkin teman-teman untuk mendukung gerakan antihoax. Kalau dilakukan bersama-sama, masyarakat gak akan dengan mudah terhasut sama berita bohong.(SAF)

Exit mobile version