Prof. Ali Mochtar Ngabalin Dorong Harmoni di Tengah Keberagaman lewat Bhinneka Tunggal Ika dan Moderasi Beragama

Prof. Ali Mochtar Ngabalin

Prof. Ali Mochtar Ngabalin

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman agama terbesar di dunia. Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang interaksi budaya dan agama yang terjadi di Nusantara selama berabad-abad. 

Keberagaman agama di Indonesia bukan hanya mencakup agama-agama besar dunia, tetapi juga berbagai kepercayaan lokal yang telah berkembang di berbagai daerah. Keragaman ini adalah salah satu ciri khas Indonesia yang menjadikannya unik, namun juga menuntut komitmen kuat terhadap toleransi, saling menghormati, dan kebersamaan.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang kaya akan keberagaman, pilar persatuan menjadi sangat penting. Di Indonesia, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” telah menjadi landasan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ini sangat relevan ketika kita membahas moderasi beragama, yang sejalan dengan pemikiran tokoh nasional seperti Prof. Mochtar Ali Ngabalin.

Prof. Mochtar Ali Ngabalin, seorang tokoh pemikiran moderasi beragama di Indonesia, telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan konsep moderasi di kalangan masyarakat. Beliau menyampaikan bahwa penting bagi umat beragama untuk tidak terjebak dalam ekstremisme yang bisa merusak harmoni sosial.

Dalam pandangannya, moderasi adalah jalan terbaik untuk mencapai tujuan beragama. Dengan mengedepankan dialog dan saling menghargai, kita bisa menciptakan suasana yang kondusif bagi kerukunan antar umat beragama.

Pengertian Moderasi

Secara umum, moderasi berakar dari kata “moderat” yang berarti sikap pertengahan. Dalam sejarahnya, kata moderat muncul dalam dunia politik di mana terdapat dua kutub yang saling berlawanan—satu kubu mendukung pemerintah, sementara kubu lainnya menjadi oposisi. Penengah antara kedua kutub tersebut disebut sebagai kubu moderat, atau lebih tepatnya, kubu penengah.

Dalam berbagai aspek kehidupan, moderasi sering diartikan sebagai sikap pertengahan, yang tidak terlalu condong ke salah satu kutub ekstrem. Ini dapat diterapkan dalam banyak konteks, seperti:

Prinsip-Prinsip Dasar Moderasi

Berikut adalah beberapa prinsip utama dari moderasi:

  1. Keseimbangan: Moderasi menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab, serta antara kepentingan individu dan kepentingan bersama.
  2. Toleransi: Sikap moderat cenderung menerima dan menghargai perbedaan pandangan, baik itu terkait politik, agama, atau budaya. Ini mencakup kesediaan untuk mendengar dan memahami sudut pandang orang lain.
  3. Menghindari Ekstremisme: Moderasi menolak sikap ekstrem atau radikal yang dapat memecah belah masyarakat. Baik dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan verbal, atau pemikiran yang terlalu kaku, ekstremisme dipandang sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keharmonisan sosial.
  4. Keterbukaan terhadap Dialog: Moderasi menekankan pentingnya dialog dan diskusi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau konflik. Sikap moderat membuka ruang untuk diskusi yang sehat dan berbasis penghormatan terhadap perbedaan.
  5. Keadilan: Sikap moderat selalu mencari solusi yang adil, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan mencoba untuk tidak berpihak secara tidak adil pada satu kelompok atau individu.

 

Perkembangan terminologi moderat kemudian meluas ke ranah keagamaan. Dalam konteks ini, moderasi menjadi cara pandang yang menekankan sikap pertengahan dalam beragama. Sikap ini diperlukan agar umat beragama dapat hidup berdampingan secara harmonis dalam keragaman keyakinan yang ada

Moderasi dalam Islam

Dalam agama Islam, moderasi sangat ditekankan. Salah satu rujukan yang sering dipakai adalah Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi, “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian umat Islam sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kalian.”

Moderasi dalam Islam atau yang sering dikenal sebagai “wasathiyyah” adalah konsep yang menekankan keseimbangan, jalan tengah, dan sikap tidak ekstrem dalam menjalankan ajaran agama. Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap moderat, yaitu tidak berlebihan atau terlalu keras dalam menjalankan ajaran agama, tetapi juga tidak terlalu longgar. Konsep moderasi ini tercermin dalam berbagai ajaran Al-Qur’an dan Hadis, serta dalam praktik kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Dalam dunia modern yang semakin kompleks, moderasi dalam Islam memiliki peran yang sangat penting. Di era globalisasi ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan seperti radikalisme, intoleransi, dan konflik antaragama. Oleh karena itu, moderasi menjadi solusi untuk menjaga kerukunan sosial dan menjawab tantangan-tantangan tersebut.

Di Indonesia, moderasi beragama menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman agama dan budaya yang dimiliki Indonesia bisa menjadi kekuatan jika dikelola dengan sikap moderat yang menghargai perbedaan dan mengutamakan persatuan.

Para ulama dan tokoh masyarakat, seperti Prof. Ali Mochtar Ngabalin, sering kali menekankan pentingnya moderasi beragama sebagai upaya mencegah ekstremisme dan menjaga keutuhan bangsa. Menurut Ngabalin, moderasi beragama dapat dicapai melalui pendidikan, dialog antaragama, dan kerjasama antarumat beragama untuk menciptakan suasana yang kondusif dan damai.

 

Ciri-Ciri Moderasi dalam Islam

  1. Keseimbangan dalam Ibadah dan Kehidupan Dunia: Islam mendorong umatnya untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual (ibadah) dan kehidupan duniawi. Dalam menjalankan agama, Islam tidak menganjurkan untuk mengabaikan urusan dunia sepenuhnya atau sebaliknya, tenggelam dalam kehidupan dunia dan melupakan akhirat.

Sebagai contoh, ketika salah satu sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un, ingin menjalani kehidupan yang sangat zuhud dengan mengabaikan keluarganya, Nabi Muhammad SAW menegurnya dengan mengatakan bahwa tubuhnya, keluarganya, dan tamunya memiliki hak atas dirinya. Ini adalah contoh bagaimana Nabi mengajarkan keseimbangan dalam menjalankan kehidupan.

  1. Toleransi terhadap Perbedaan: Moderasi dalam Islam juga menekankan pentingnya menghormati dan menerima perbedaan, baik perbedaan dalam agama, budaya, maupun pendapat. Surah Al-Kafirun ayat 6 berbunyi, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku,” yang menunjukkan bahwa Islam menghargai kebebasan beragama dan tidak mengajarkan paksaan dalam keyakinan.

Sikap moderasi ini mendorong umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat beragama lain dan menghargai hak setiap orang untuk menjalankan agamanya masing-masing.

  1. Menjauhi Sikap Ekstremisme: Salah satu prinsip moderasi dalam Islam adalah menjauhi sikap ekstrem dalam memahami dan mengamalkan agama. Ekstremisme dalam bentuk radikalisme dan kekerasan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kasih sayang dan kedamaian. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda, “Jauhkanlah dirimu dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam agama, karena sesungguhnya sikap berlebihan telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad).

Sikap ini mengingatkan umat Islam untuk tidak terjebak dalam pemahaman agama yang sempit atau kaku, yang berpotensi memicu permusuhan dan konflik.

  1. Keadilan dalam Segala Hal: Moderasi dalam Islam juga tercermin dalam sikap adil dan tidak memihak secara berlebihan, baik dalam urusan agama, ekonomi, maupun sosial. Al-Qur’an menegaskan pentingnya berlaku adil, meskipun terhadap diri sendiri atau kelompok yang dekat dengan kita. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dan mencegah ketidakadilan yang dapat memicu konflik dan perpecahan.
    Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8).
  2. Mengedepankan Dialog dan Penyelesaian Masalah secara Damai: Dalam Islam, perbedaan pendapat atau perselisihan sebaiknya diselesaikan melalui dialog yang santun dan damai. Islam mendorong umatnya untuk saling mendengarkan dan mencari solusi terbaik tanpa menggunakan kekerasan. Prinsip moderasi ini penting untuk menjaga hubungan baik antara sesama Muslim maupun dengan umat agama lain.

Pengertian Moderasi dalam Islam

Dalam bahasa Arab, istilah “wasathiyyah” berasal dari kata “wasath,” yang berarti tengah atau pertengahan. Dengan demikian, moderasi dalam Islam berarti bersikap di tengah, menjaga keseimbangan antara dua kutub ekstrem, baik dalam hal keyakinan, praktik ibadah, maupun dalam hubungan sosial.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya moderasi dalam Surah Al-Baqarah ayat 143:

“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143).

Ayat ini menyebut umat Islam sebagai “umat pertengahan” (ummatan wasathan), yang berarti bahwa Islam menganut prinsip keseimbangan dan tidak mendukung sikap ekstremis, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Sebagai “umat pertengahan,” umat Islam diharapkan menjadi teladan dalam bersikap adil dan moderat di tengah berbagai perbedaan dan keragaman yang ada.

Sikap Terhadap Perbedaan

Moderasi beragama mengajarkan umat untuk menerima perbedaan sebagai bagian dari takdir Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan pilihan kepada manusia untuk memilih jalan yang benar. Misalnya, dalam Surah Al-Balad ayat 10, Allah berfirman, “Serta Kami juga telah menunjukkan kepadanya dua jalan [selamat dan celaka].” Umat Islam wajib meyakini bahwa selama mereka taat menjalankan perintah-Nya, mereka berada pada jalan yang selamat.

Namun, hal ini juga berlaku bagi penganut agama lain. Setiap orang berhak mengklaim bahwa jalan yang mereka tempuh adalah yang benar dan selamat menurut ajaran dan keyakinan mereka masing-masing. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk saling mengusik antar pemeluk agama, karena setiap orang akan mempertanggungjawabkan kebaikan dan kejahatan mereka di hadapan Allah

Moderasi sebagai Solusi

Dalam konteks perbedaan yang ada, Prof. Mochtar Ali Ngabalin menekankan pentingnya dialog antar agama sebagai sarana untuk mengurangi kesalahpahaman. Melalui dialog, kita dapat saling memahami dan menghargai perbedaan, sehingga bisa terbangun kerukunan dan persatuan

Secara umum, moderasi berakar dari kata moderat yang berarti sikap pertengahan. Dalam sejarahnya, kata moderat muncul dalam dunia politik, di mana terdapat dua kutub yang saling berlawanan: satu kutub pendukung utama pemerintah, dan kutub lainnya merupakan oposisi dan pemberontak. Penengah dari kedua kutub tersebut disebut sebagai kubu ‘moderat’ atau lebih tepatnya, kubu penengah.

Ia menyampaikan bahwa penting bagi umat beragama untuk tidak terjebak dalam ekstremisme yang bisa merusak harmoni sosial.

Dalam pandangannya, moderasi adalah jalan terbaik untuk mencapai tujuan beragama. Dengan mengedepankan dialog dan saling menghargai, kita bisa menciptakan suasana yang kondusif bagi kerukunan antar umat beragama.

Seiring dengan perkembangan zaman, terminologi moderat juga mulai digunakan dalam konteks keagamaan. Dalam tulisan ini, kita akan membahas substansi moderasi beragama, terutama dalam konteks Islam, yang dapat diterima oleh semua agama dan keyakinan serta didukung oleh konstitusi.

Ada tujuh langkah yang diidentifikasi Prof. Ngabalin yang dapat dilakukan untuk menjaga komitmen bersama dalam mempraktikkan hidup berdampingan di bawah payung ‘moderasi beragama’. Diantaranya sebagai berikut: 

  1. Melalui pendidikan, dengan memasukkan prinsip moderasi beragama ke dalam kurikulum pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman sejak dini. 
  2. Terlibat dalam dialog antaragama dan pengabdian masyarakat untuk mendorong pemikiran kritis dan menghormati beragam keyakinan. 
  3. Mendorong para pemimpin agama dan intelektual untuk berdiskusi danmemperkuat moderasi dalam komunitas mereka
  4. Melibatkan komunitas yang lebih luas dalam mendorong moderasi beragama danmembangun kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan.
  5. Pada tingkat pribadi, seimbangkan praktek keagamaan Anda dengan tidak menjaditerlalu boros atau terlalu asketis.
  6. Mendukung reformasi, yakni menyadari bahwa sikap moderat saja tidak cukup karena itu perlu gerakan reformis untuk mengatasi masalah dalam praktik dan keyakinan keagamaan.
  1. Keberanian moral dengan menumbuhkan keberanian moral untuk melawa ekstremisme dan meningkatkan toleransi dalam komunitas. Dengan mengambil langkah-langkah ini, individu dan komunitas

Moderasi dalam terminologi agama Islam diartikan sebagai sikap pertengahan dalam beragama. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 143 menyatakan, “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian umat Islam sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kalian.” Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah penganut agama yang memiliki prinsip moderasi.

Menerima Perbedaan: Keniscayaan dalam Moderasi Beragama

Moderasi dalam beragama berarti menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Dalam pandangan Al-Qur’an, meskipun Allah menekankan agar manusia beriman dan bertaqwa, Dia juga memberikan pilihan kepada hamba-Nya untuk memilih jalan masing-masing. Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk taat kepada Allah dan menghargai orang lain, bahkan jika mereka berbeda keyakinan.

Al-Qur’an dengan tegas menekankan bahwa “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ini menunjukkan bahwa kita harus saling menghormati satu sama lain dan tidak mencampuri keyakinan orang lain.

Toleransi dalam Praktik Beragama

Islam menekankan pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Dalam konteks sosial, kita diwajibkan untuk berbuat baik kepada teman dan tetangga, terlepas dari agama yang mereka anut. Hal ini selaras dengan sikap Nabi Muhammad, yang menunjukkan penghormatan kepada jenazah orang Yahudi yang lewat di depannya.

Prof Ali Mochtar Ngabalin menekankan bahwa moderasi beragama merupakan bagian integral dari kehidupan beragama di Indonesia. Menurutnya, moderasi beragama mencerminkan semangat toleransi dan saling menghargai antarumat beragama. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi jembatan untuk membangun hubungan harmonis di antara berbagai komunitas yang ada di Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pilar Kesatuan dalam Keberagaman Agama

Dalam upaya mencapai persatuan, moderasi beragama berperan penting dalam mencegah radikalisasi. Moderasi beragama mendorong dialog dan pemahaman antara kelompok agama yang berbeda, sehingga membantu menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis. Prof Ali Mochtar Ngabalin menjelaskan bahwa moderasi beragama berkontribusi dalam menciptakan kondisi sosial yang inklusif dan berkelanjutan.

Moderasi sangat diperlukan dalam memahami dan menerima eksistensi agama lain. Dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, setiap individu harus bisa menerima perbedaan sebagai bagian dari keindahan kehidupan. Bahkan, dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad telah memberi contoh yang sangat baik mengenai moderasi beragama.

Nabi Muhammad, dalam Piagam Madinah, menetapkan bahwa setiap warga negara harus saling menghargai dan menghormati keyakinan satu sama lain, serta bersatu untuk melawan musuh yang mengganggu keutuhan negara.

Sebagai contoh moderasi dalam praktik beragama, kita bisa merujuk pada kisah Sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un. Utsman adalah sosok yang sangat taat beribadah dan cenderung mengabaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Ketika Nabi Muhammad mengetahui hal ini, beliau menegur Utsman dengan lembut. “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu.”

Dalam teguran tersebut, Nabi Muhammad mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak-hak Allah, hak-hak diri sendiri, dan hak-hak orang lain. Prinsip ini sangat penting dalam moderasi beragama.

Bhinneka Tunggal Ika dalam Praktik Beragama 

Moderasi sangat diperlukan dalam memahami dan menerima eksistensi agama lain. Dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, setiap individu harus bisa menerima perbedaan sebagai bagian dari keindahan kehidupan. Bahkan, dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad telah memberi contoh yang sangat baik mengenai moderasi beragama.

Nabi Muhammad, dalam Piagam Madinah, menetapkan bahwa setiap warga negara harus saling menghargai dan menghormati keyakinan satu sama lain, serta bersatu untuk melawan musuh yang mengganggu keutuhan negara.

Sebagai contoh moderasi dalam praktik beragama, kita bisa merujuk pada kisah Sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un. Utsman adalah sosok yang sangat taat beribadah dan cenderung mengabaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Ketika Nabi Muhammad mengetahui hal ini, beliau menegur Utsman dengan lembut. “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu.”

Dalam teguran tersebut, Nabi Muhammad mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak-hak Allah, hak-hak diri sendiri, dan hak-hak orang lain. Prinsip ini sangat penting dalam moderasi beragama.

Tantangan Moderasi Beragama

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa moderasi beragama dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk ekstremisme dan intoleransi. Penting bagi kita untuk memahami bahwa setiap agama memiliki hak untuk diakui dan dihormati. Dalam konteks ini, moderasi beragama bukan hanya sekadar slogan, tetapi harus diterapkan dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Nabi Muhammad SAW merupakan teladan dalam moderasi beragama. Sebagai contoh, sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un, dikenal sebagai sosok yang sangat zuhud dan menjauhi kesenangan dunia. Namun, Nabi menegurnya dengan lembut, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ibadah dan hak-hak orang lain. Dari sini, kita dapat belajar bahwa moderasi dalam beragama tidak berarti mengabaikan tanggung jawab sosial dan keluarga.

Di Indonesia, moderasi beragama harus selaras dengan nilai-nilai kebangsaan. Negara kita adalah rumah bagi berbagai agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan ruang di mana semua orang dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka tanpa merasa terancam atau terpinggirkan.

Kesimpulan

Moderasi beragama merupakan pilar penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, terutama di Indonesia yang kaya akan keberagaman. 

Tak hanya moderasi beragama, Bhinneka Tunggal Ika adalah pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. Moderasi beragama merupakan cara untuk menjaga keharmonisan dalam keberagaman. Konsep ini selaras dengan ajaran Islam dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan pandangan yang moderat, kita dapat menghindari ekstremisme yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Di tengah tantangan global dan lokal, penting bagi kita untuk terus mengembangkan sikap moderasi dan toleransi, sebagaimana yang dicontohkan oleh Prof. Mochtar Ali Ngabalin.

Kita semua harus berupaya untuk hidup dalam kebhinekaan dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan harmonis.

Prof Ali Mochtar Ngabalin dengan tegas menekankan bahwa moderasi beragama adalah solusi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat multikultural. Melalui sikap saling menghormati dan toleransi, kita dapat menciptakan harmoni sosial yang mendukung proses pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengedepankan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika,” kita dapat memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari agama yang dianut, dapat hidup berdampingan dalam kedamaian dan kesejahteraan.

Exit mobile version