Jakarta – Dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang melibatkan Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali menjadi sorotan publik. Puluhan mantan pemain sirkus, sebagian besar direkrut sejak usia anak-anak, melaporkan pengalaman kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami selama bertahun-tahun di lingkungan sirkus yang tertutup. Mereka juga mengaku kehilangan identitas pribadi sejak direkrut sebagai pemain.
Pengakuan para korban disampaikan dalam audiensi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Selasa, 15 April 2025. Mereka mengklaim telah dipisahkan dari keluarga sejak dini, dipaksa tampil dalam pertunjukan, serta mengalami kekerasan fisik dan psikis selama berada di bawah naungan OCI.
Menanggapi laporan tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warga negara dari segala bentuk pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran terhadap hak identitas.
“Yang paling mendasar dalam kasus ini adalah hak atas identitas. Banyak dari mereka bahkan tidak tahu siapa orang tuanya atau dari mana asalnya. Ini merupakan pelanggaran HAM yang sangat serius,” ujar Mugiyanto usai audiensi bersama para mantan pemain OCI.
Kemenkumham, lanjut Mugiyanto, akan berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Pemerintah juga tengah mempertimbangkan pembentukan tim pencari fakta guna menggali keterangan dari para korban dan pihak-pihak terkait.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing, menyatakan bahwa kasus ini harus diselesaikan melalui jalur hukum. Komnas HAM mengaku telah sejak lama mencatat berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan OCI, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak anak.
“Terdapat empat bentuk pelanggaran HAM yang kami identifikasi sejak 1997, yaitu pelanggaran terhadap hak identitas, eksploitasi ekonomi terhadap anak, tidak terpenuhinya hak atas pendidikan, serta tidak adanya jaminan sosial dan perlindungan yang layak,” jelas Uli, dikutip dari Antara.
Komnas HAM juga mencatat bahwa tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar yang diajukan oleh kuasa hukum para korban kepada pihak Taman Safari Indonesia (TSI) belum juga dipenuhi hingga saat ini.
Muhammad Soleh, kuasa hukum korban, menyebut praktik eksploitasi dan kekerasan di OCI berlangsung dalam sistem yang tertutup dan dalam jangka waktu panjang. Salah satu kliennya, Fifi, pernah mencoba melarikan diri dari lingkungan Taman Safari, namun tertangkap dan mengalami kekerasan yang lebih parah.
“Fifi sempat melapor ke Komnas HAM pada 1997 setelah disiksa. Komnas HAM pun turun langsung saat itu, namun hingga kini keadilan belum datang,” ujar Soleh dalam sebuah tayangan podcast di kanal YouTube.
Menanggapi tudingan tersebut, pihak TSI Group membantah segala keterlibatan mereka dalam kasus ini. Melalui pernyataan resmi, Head of Media and Digital TSI, Finky Santika Nh, menegaskan bahwa tidak ada hubungan hukum maupun bisnis antara TSI dengan para mantan pemain OCI.
“Kami memahami bahwa dalam forum tersebut terdapat penyebutan nama-nama individu. Namun, permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak berkaitan dengan TSI Group secara kelembagaan,” ujar Finky.
Finky juga meminta agar nama dan reputasi TSI Group tidak dikaitkan dengan persoalan yang bukan menjadi tanggung jawab perusahaan, apalagi aduan tersebut disampaikan tanpa bukti yang jelas.
“Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta atau keterkaitan yang jelas,” tutupnya.
Baca Juga : Prabowo Ngobrol Bareng 6 Pemred Bahas Beragam Isu di Hambalang