Jakarta – Raja Ampat selama ini dikenal sebagai surga terakhir di Bumi. Keindahan alam dan kekayaan hayatinya menjadikannya salah satu destinasi impian, tak hanya bagi wisatawan domestik, tetapi juga pelancong mancanegara.
Terletak di Provinsi Papua Barat, gugusan Raja Ampat terdiri dari empat pulau utama—Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta—yang menyajikan panorama laut biru jernih, tebing karst megah, dan keheningan alam yang belum banyak tersentuh.
Namun, di balik pesona lanskapnya, Raja Ampat juga menyimpan kekayaan biodiversitas yang luar biasa. Mengutip situs resmi Rajaampatkab.go.id, kawasan seluas lebih dari 4,6 juta hektare ini menjadi rumah bagi 1.318 jenis ikan, 699 jenis moluska, 537 spesies karang, serta 574 spesies terumbu karang. Hutan mangrove, padang lamun, dan pantai-pantai berbatu memperkaya ekosistem yang saling terhubung dan sangat rentan terhadap kerusakan.
Dr. John Veron, seorang ahli karang terkemuka dari Australia, bahkan menyebut Raja Ampat sebagai kawasan terumbu karang terbaik di Indonesia. Tak heran jika perairan ini masuk dalam daftar 10 lokasi penyelaman terbaik di dunia.
Namun, keindahan dan kekayaan ini kini berada di ujung tanduk. Ancaman datang dari aktivitas pertambangan, khususnya nikel, yang berpotensi merusak ekosistem laut dan darat secara permanen.
Mengorbankan ekosistem Raja Ampat demi kepentingan tambang adalah langkah mundur bagi upaya pelestarian alam dan warisan budaya. Masyarakat, terutama generasi muda, perlu bersuara dan menyuarakan kepeduliannya. Sebab, satu suara dapat menjadi awal perubahan.
Jaga Raja Ampat, jaga masa depan.
Baca Juga : Pemerintah Salurkan BSU Rp600 Ribu untuk Pekerja dan Guru pada Juni-Juli 2025