Kontroversi di Laut Mediterania: Ketika Kapal Bantuan Gaza Dihentikan, Greta Thunberg Diusir dari Israel
Jakarta – Dunia kembali menyorot aktivitas di lepas pantai Gaza ketika sebuah kapal yang membawa bantuan kemanusiaan dan sejumlah aktivis, termasuk ikon iklim Greta Thunberg, dihentikan oleh angkatan laut Israel. Insiden ini, yang terjadi pada awal Juni 2025, memicu gelombang protes dan perdebatan sengit mengenai hukum internasional, hak asasi manusia, dan blokade Gaza.
Misi Kemanusiaan yang Berujung pada Intersepsi
Greta Thunberg bersama 11 aktivis lainnya berada di kapal Madleen, yang merupakan bagian dari Freedom Flotilla Coalition. Misi mereka adalah untuk menyampaikan “simbolis” bantuan kemanusiaan ke Gaza, menentang blokade maritim Israel, dan menarik perhatian dunia pada krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di sana. Kapal tersebut, yang berlayar dari Italia, dihentikan oleh pasukan angkatan laut Israel pada hari Senin, 9 Juni 2025, sekitar 200 kilometer (125 mil) dari lepas pantai Gaza, di perairan internasional.
Pihak Freedom Flotilla Coalition dan kelompok hak asasi manusia mengecam tindakan Israel ini sebagai pelanggaran hukum internasional, mengingat intersepsi dilakukan di perairan internasional. Mereka berpendapat bahwa penahanan para aktivis dan penyitaan kapal adalah tindakan ilegal dan bermotif politik.
Klaim “Penculikan” dan Respon Israel
Setelah penahanan, Greta Thunberg dan beberapa aktivis lainnya dideportasi oleh Israel pada hari Selasa, 10 Juni 2025. Setibanya di Bandara Charles de Gaulle Paris, Thunberg secara langsung menuduh Israel telah melakukan tindakan “ilegal dengan menculik kami di perairan internasional dan membawa kami ke Israel di luar kehendak kami.” Ia menggambarkan pengalaman tersebut sebagai “cukup kacau dan tidak pasti,” meskipun menekankan bahwa kondisinya “tidak sebanding dengan apa yang dialami orang-orang di Palestina, terutama di Gaza saat ini.”
Seorang dokter Prancis yang berada di kapal yang sama, Baptiste André, juga mengklaim adanya perlakuan tidak pantas, seperti ejekan dan tindakan sengaja yang membuat penumpang sulit tidur, khususnya terhadap Thunberg.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Israel bersikeras bahwa blokade yang mereka lakukan adalah “sesuai dengan hukum internasional,” dan upaya tidak sah untuk menembus blokade tersebut adalah “berbahaya, melanggar hukum, dan merusak upaya kemanusiaan yang sedang berlangsung.” Israel memandang misi kapal tersebut sebagai “aksi publisitas” dan bahkan menyebutnya sebagai “kapal pesiar selfie” dengan jumlah bantuan yang “tidak seberapa.” Pihak Israel juga merilis foto-foto Thunberg di dalam pesawat, menyatakan bahwa ia telah dideportasi dan dalam keadaan aman.
Konsekuensi dan Perdebatan Hukum
Empat dari dua belas penumpang, termasuk Greta Thunberg dan Baptiste André, setuju untuk menandatangani dokumen deportasi dan meninggalkan Israel. Namun, delapan aktivis lainnya menolak deportasi dan masih ditahan di penjara Givon, Ramle, menunggu sidang pengadilan untuk menentukan status hukum mereka. Kelompok hak hukum Adalah, yang mewakili para aktivis, menyatakan akan menuntut keadilan untuk pembebasan mereka.
Insiden ini kembali memanaskan perdebatan global mengenai blokade Gaza dan kebebasan untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Klaim “penculikan” di perairan internasional oleh para aktivis, meskipun tidak dalam konteks penculikan kriminal biasa, menyoroti perbedaan interpretasi hukum dan moral antara pihak yang terlibat. Peristiwa ini menjadi pengingat betapa kompleksnya situasi di kawasan tersebut, di mana setiap tindakan dapat memicu resonansi politik dan kemanusiaan yang luas.