Jakarta – Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali menuai sorotan tajam. Di balik janji pengurangan tarif dan perluasan akses pasar, terselip komitmen kontroversial yang berpotensi mengancam kedaulatan digital Indonesia izin pemindahan data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat.
Komitmen tersebut tercantum dalam dokumen resmi yang dirilis Gedung Putih pekan ini. Salah satu poin utamanya menyebut bahwa Indonesia akan memberikan kepastian hukum terkait kemampuan perusahaan-perusahaan AS untuk mentransfer data pribadi dari Indonesia ke yurisdiksi Amerika Serikat.
Pakar: Ini Bukan Soal Teknis, tapi Geopolitik
Pakar keamanan siber sekaligus Chairman CISSReC, Pratama Persadha, menilai isu ini jauh lebih besar dari sekadar urusan teknis. Menurutnya, ini adalah persoalan geopolitik digital yang menyentuh inti kedaulatan negara.
“Setelah data keluar dari Indonesia, pengawasan kita berkurang drastis. Kita tidak bisa memastikan data itu digunakan untuk apa dan oleh siapa,” ujarnya kepada wartawan.
Data pribadi kini dianggap sebagai komoditas strategis di era digital, setara dengan sumber daya alam. Kendali atas data, menurut Pratama, merupakan bagian tak terpisahkan dari kedaulatan negara.
Ia juga menyoroti lemahnya perlindungan data di Amerika Serikat dibandingkan dengan standar Uni Eropa yang menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR). Tanpa pengawasan ketat, pemindahan data ke luar negeri membuka celah intervensi asing.
Ekosistem Digital Nasional Terancam
Kekhawatiran lain muncul terkait dominasi perusahaan teknologi raksasa asal AS, seperti Google, Meta, Amazon, dan Microsoft, yang mengandalkan arus data lintas negara. Komitmen dalam kesepakatan ini dikhawatirkan akan memperkuat ketergantungan Indonesia terhadap mereka.
“Ekosistem digital kita bisa jadi sekadar penonton. Kita sediakan bahan mentah berupa data, tapi nilai tambah ekonominya dinikmati luar negeri,” kata Pratama.
Pakar siber lainnya, Alfons Tanujaya, menambahkan bahwa pemindahan data ke luar negeri memang dapat memangkas biaya operasional. Namun, konsekuensinya adalah hilangnya kontrol negara atas lalu lintas data penting, termasuk dari sektor keuangan dan layanan publik.
Celah Hukum dan Risiko Diplomatik
Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Regulasi ini memperbolehkan transfer data ke luar negeri hanya jika negara tujuan memiliki tingkat perlindungan yang setara atau lebih tinggi. Namun, status Amerika Serikat dalam hal ini masih belum jelas.
Tanpa kejelasan tersebut, transfer data seharusnya memerlukan persetujuan eksplisit dari pemilik data. Dalam konteks perjanjian dagang antarnegara, mekanisme ini rawan terabaikan.
Lebih jauh, para pengamat menilai bahwa keputusan Indonesia untuk membuka jalur pemindahan data ke AS juga membawa implikasi politik. Langkah ini bisa dianggap sebagai keberpihakan dalam rivalitas digital antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dan berpotensi memengaruhi posisi Indonesia dalam forum-forum internasional seperti ASEAN dan G20.
“Selama ini kita berusaha netral. Tapi langkah ini bisa dianggap sebagai perubahan haluan,” kata Pratama.
Dorongan Perkuat Regulasi dan Kedaulatan Data
Para pakar sepakat bahwa pemerintah perlu memperkuat sistem tata kelola data nasional, serta memastikan bahwa keputusan strategis terkait data tidak dikendalikan oleh kepentingan asing.
“Jangan sampai kepentingan jangka pendek seperti tarif dan investasi mengorbankan prinsip besar kedaulatan digital,” tutup Pratama.
Baca Juga : 28 Negara Desak Israel Hentikan Perang di Gaza, Kecam Pelanggaran HAM dan Pemukiman Ilegal