Jakarta – Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja kembali memanas dan menyita perhatian internasional. Bentrokan yang terjadi sejak Kamis (24/7/2025) di wilayah perbatasan kedua negara telah menyebabkan puluhan korban jiwa dan luka-luka, serta memaksa ribuan warga sipil mengungsi.
Dikutip dari Al Jazeera, pertempuran melibatkan pengeboman, penembakan, dan penggunaan ranjau darat. Kementerian Kesehatan Thailand melaporkan bahwa sedikitnya 32 warga sipil dan 14 tentara terluka, sementara 13 warga sipil dan satu tentara dinyatakan tewas.
Menteri Kesehatan Thailand, Thepsuthin Somsak, menyebut tindakan militer Kamboja sebagai bentuk kejahatan perang. Ia juga menyatakan bahwa lebih dari 30 ribu warga sipil telah dievakuasi dan berlindung di bunker darurat yang dibangun dari beton, karung pasir, dan ban bekas.
Di sisi lain, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menanggapi situasi ini dengan menyerukan pertemuan darurat bersama Dewan Keamanan PBB. Ia menuding serangan dari Thailand sebagai ancaman nyata terhadap perdamaian di kawasan.
Apa Penyebabnya?
Eskalasi terbaru ini dipicu oleh ledakan di sebuah pom bensin di Provinsi Si Sa Ket, Thailand, yang diduga berasal dari serangan Kamboja. Sebagai respons, militer Thailand mengerahkan serangan udara menggunakan jet tempur ke wilayah perbatasan Kamboja. Pertempuran pun menyebar ke sedikitnya enam titik di sepanjang perbatasan kedua negara.
Namun, ketegangan sebenarnya telah meningkat sejak Mei 2025, ketika seorang tentara Kamboja tewas dan dua tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat. Hubungan diplomatik memburuk—kedua negara saling menarik duta besar dan saling tuding atas pelanggaran wilayah.
Inti dari konflik ini adalah sengketa lama mengenai Kuil Preah Vihear, sebuah kompleks keagamaan Hindu yang dibangun pada abad ke-11 dan terletak di perbatasan Thailand-Kamboja.
Sejarah Panjang Sengketa Preah Vihear
Kuil Preah Vihear dibangun pada masa kejayaan Kekaisaran Khmer, leluhur bangsa Kamboja. Namun, wilayah ini juga pernah berada di bawah kendali Kerajaan Siam, yang menjadi cikal bakal Thailand modern. Klaim sejarah inilah yang membuat kedua negara merasa memiliki hak atas kuil tersebut.
Pada tahun 1907, peta buatan kolonial Prancis menunjukkan lokasi kuil berada di wilayah Kamboja. Namun, Thailand menolak keabsahan peta tersebut dan mengklaim akses ke kuil lebih mudah dilakukan dari sisi Thailand.
Pada 1954, setelah pasukan Prancis mundur, Thailand mengambil alih Preah Vihear. Kamboja kemudian menggugat ke Mahkamah Internasional (ICJ), yang pada 1962 memutuskan bahwa kuil tersebut berada di bawah kedaulatan Kamboja. Meski begitu, wilayah sekitar kuil tetap menjadi wilayah sengketa hingga saat ini.
Ketegangan Berulang
Sengketa kembali mencuat pada 2008 saat Kamboja mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Thailand menolak langkah tersebut, mengklaim bahwa kawasan sekitar kuil masih masuk wilayahnya. UNESCO tetap menyetujui permintaan Kamboja, yang memicu bentrokan bersenjata di perbatasan pada 2009 dan tahun-tahun setelahnya.
Meski sempat ada upaya kerja sama dalam pengelolaan situs bersejarah tersebut, konflik kembali meletus karena tidak adanya kesepakatan permanen terkait perbatasan dan kepemilikan.
Konflik antara Thailand dan Kamboja tidak hanya berakar pada sengketa wilayah, tetapi juga menyangkut identitas nasional, sejarah panjang kekuasaan regional, serta simbol budaya yang diperebutkan. Selama belum ada penyelesaian diplomatik yang komprehensif, Kuil Preah Vihear akan terus menjadi pemicu ketegangan antara kedua negara.