BI Luncurkan Payment ID 17 Agustus, Warga Khawatir Privasi dan Pajak Terganggu

Khawatir Privasi Terancam, Publik Soroti Sistem Payment ID BI

Khawatir Privasi Terancam, Publik Soroti Sistem Payment ID BI

Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan sistem identitas transaksi elektronik bernama Payment ID pada 17 Agustus 2025. Sistem ini akan terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) melalui Digital ID, dan diklaim dapat memperkuat tata kelola pembayaran digital sekaligus mendukung optimalisasi penerimaan pajak nasional.

Payment ID dirancang sebagai nomor identitas tunggal dalam seluruh transaksi keuangan digital, mulai dari rekening bank, dompet digital, pinjaman online, hingga transaksi perpajakan. BI menyebut sistem ini sebagai bagian dari implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025–2030.

Tujuan dan Manfaat Payment ID

Menurut BI, tujuan utama dari peluncuran Payment ID bukan semata-mata untuk meningkatkan penerimaan pajak, melainkan untuk:

“Payment ID akan membuat informasi ekonomi setiap warga—termasuk harta, utang, dan investasi—lebih terpantau. Ini mendukung sistem yang lebih efisien dan inklusif,” ujar Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam media briefing di Kantor DJP, Kamis (31/7/2025).

Respons Publik: Antara Dukungan dan Kekhawatiran

Meskipun diklaim membawa kemajuan, peluncuran Payment ID menuai pro dan kontra di masyarakat. Di media sosial, wacana ini memicu kekhawatiran terkait potensi pemajakan ganda dan pelanggaran privasi.

Salah satu warganet menyoroti kemungkinan dikenakannya pajak pada transfer dana pribadi, misalnya dari orang tua ke anak yang belum bekerja. “Kalau kirim uang bulanan ke anak dianggap pendapatan, apakah itu akan kena pajak lagi? Bukankah gaji orang tuanya sudah dipotong pajak?” tulis akun X @GNFI, Senin (4/8/2025).

Sementara itu, sebagian warga menyambut baik sistem ini. Wahyudi, pekerja sektor swasta, menilai kebijakan ini sebagai langkah positif untuk mengamankan potensi pajak. “Bagus, semua transaksi terdata. Pajak tidak ada yang lolos,” ujarnya kepada Tirto (5/8/2025).

Namun, ia juga mempertanyakan kesiapan teknis pemerintah. “Bicara soal implementasi, belum tentu semulus itu. Coretax saja banyak kendala padahal biayanya besar,” tambahnya.

Ancaman Keamanan Data

Kekhawatiran utama lainnya muncul terkait keamanan data pribadi. Integrasi total antara transaksi keuangan dengan Digital ID dikhawatirkan membuka celah bagi penyalahgunaan data jika sistem pengamanannya tidak memadai.

Ekonom Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menegaskan pentingnya pengamanan siber secara menyeluruh. “Sistem ini menyimpan data strategis warga. Kalau tidak disiapkan matang, rawan terjadi kebocoran,” katanya kepada Tirto, Selasa (5/8/2025).

Senada, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai Payment ID berpotensi melanggar hak privasi warga. Ia menyarankan agar pengawasan lebih difokuskan pada pihak penjual dalam ekosistem digital, bukan pembeli.

“Selama ini rekening penjual sudah bisa diawasi DJP. Tak perlu sampai mengintip data digital pembeli. Ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem digital,” ujarnya.

Kritik terhadap Implementasi dan Pemanfaatan Data

Bhima juga mengkritik langkah pemerintah yang seolah terus mencari data baru, padahal menurutnya basis data perpajakan sudah cukup kuat sejak dilakukannya tax amnesty dan diterapkannya Automatic Exchange of Information (AEoI).

“Masalahnya bukan kekurangan data, tapi lemahnya penyidikan dan penagihan pajak,” tegas Bhima.

Kolaborasi Antar Lembaga

Penerapan Payment ID juga akan mendorong pertukaran data antar kementerian dan lembaga. DJP menyebut sistem ini akan menghapus silo antarinstansi dan memungkinkan interoperabilitas data.

Langkah ini dilanjutkan dengan integrasi NIK dan NPWP yang sudah dimulai sejak Juli 2022, serta kolaborasi DJP dengan Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri untuk memperkaya data penduduk sebagai bagian dari pengembangan Digital ID.

“Dengan Digital ID, data individu bisa semakin kaya. Ini sangat bermanfaat untuk optimalisasi penerimaan pajak,” ujar Bimo Wijayanto.

BI dan DJP menyatakan kesiapan untuk menjamin keamanan dan manfaat Payment ID, namun publik berharap implementasinya dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tidak mengorbankan hak warga negara.

Exit mobile version