Jakarta – Film animasi nasional berjudul Merah Putih: One For All baru-baru ini menjadi perbincangan hangat publik. Alih-alih mendapat pujian, film yang digadang-gadang sebagai karya patriotik ini justru menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Mulai dari kualitas visual hingga penggunaan anggaran, berikut lima fakta yang mencuri perhatian dari film ini.
1. Anggaran Mencapai Rp68 Miliar
Film ini diproduksi dengan dana besar, yakni sekitar Rp67–68 miliar. Jumlah ini menimbulkan ekspektasi tinggi dari masyarakat, mengingat dana tersebut jauh melampaui standar pembiayaan film animasi lokal. Namun, realisasi visual dan kualitas teknisnya dinilai tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
2. Digarap dalam Waktu Singkat
Menurut informasi yang beredar, proses produksi film ini hanya memakan waktu sekitar satu hingga dua bulan. Hal ini dilakukan demi mengejar penayangan di momen peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia. Namun, durasi produksi yang sangat terbatas ini turut menjadi salah satu alasan utama menurunnya kualitas animasi yang dihasilkan.
3. Visualisasi Mirip Game PS2
Kritik paling tajam datang dari segi visual. Banyak warganet menilai tampilan animasi dalam film ini terkesan kaku dan usang, bahkan disebut-sebut menyerupai kualitas grafis video game era PlayStation 2 atau tugas akhir mahasiswa desain animasi. Karakter tampak minim ekspresi dan gerakan yang kurang natural, sehingga tidak mampu memberikan pengalaman menonton yang imersif.
4. Gunakan Aset dari Marketplace
Salah satu kontroversi mencuat setelah diketahui bahwa beberapa aset animasi dalam film ini diduga berasal dari marketplace digital seperti Reallusion dan Daz3D. Aset karakter dan latar tersebut diketahui tersedia secara komersial dengan harga murah, sekitar US$43,50 per item. Hal ini memunculkan pertanyaan soal transparansi anggaran dan orisinalitas produksi.
5. Respons Produser Menuai Sorotan
Menanggapi kritik yang membanjir, produser film Toto Soegriwo memberikan pernyataan singkat di media sosial yang dianggap kurang simpatik. Ia menulis, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain…”—komentar yang justru memperkeruh situasi dan dinilai tidak mencerminkan sikap terbuka terhadap kritik konstruktif.