Wacana pembentukan Tim Reformasi Polri, yang sejatinya diharapkan menjadi angin segar bagi pembenahan institusi penegak hukum, kini mengemuka ke publik dengan nuansa berbeda. Alih-alih menjadi diskursus konstruktif, isu ini justru memicu polemik yang dinilai kontraproduktif. Politisi Ferdinand Hutahaean menilai eskalasi perdebatan ini telah memasuki tahap yang membahayakan, berpotensi menggerus wibawa institusi negara, baik Kepresidenan maupun Kepolisian.
Menurutnya, polemik yang berkembang bukan lagi sekadar adu gagasan, melainkan telah menjelma menjadi bola liar yang dampaknya bisa merembet ke stabilitas dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, ia mendorong agar polemik ini segera diakhiri sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas.
Ancaman Persepsi Publik yang Negatif
Di ruang digital dan perbincangan publik, narasi-narasi liar mulai berkembang seiring memanasnya isu ini. Menurut Ferdinand, salah satu dampak paling nyata dari polemik ini adalah munculnya persepsi publik yang negatif dan berpotensi memecah belah. Narasi yang seolah-olah membenturkan Presiden dengan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) mulai terdengar, seperti “Kapolri melawan Presiden” atau seruan agar “Presiden harus mencopot Kapolri”.
Informasi yang simpang siur seperti ini dinilainya sangat tidak sehat bagi iklim sosial-politik nasional. Kondisi ini, dalam pandangannya, menciptakan kesan adanya disharmoni di pucuk pimpinan negara.
“Ini tidak baik, karena biar bagaimanapun Presiden adalah pemimpin tertinggi negara kita, dan Kapolri adalah jajaran dari pemerintahan Pak Prabowo saat ini,” tegas Ferdinand.
Pada akhirnya, kesan adanya keretakan atau konflik di jantung pemerintahan ini tidak hanya melemahkan institusi secara individual, tetapi juga mengikis fondasi kepercayaan masyarakat terhadap soliditas pemerintahan secara keseluruhan. Padahal, kepercayaan publik adalah aset vital dalam menjalankan roda pembangunan.
Menjaga Marwah Kepresidenan dan Kepolisian
Lebih jauh, Ferdinand berpandangan bahwa polemik yang dibiarkan berlarut-larut ibarat pedang bermata dua yang merugikan kedua belah pihak. Bagi institusi Polri, energi yang seharusnya terfokus penuh untuk menjalankan reformasi internal secara substantif, menjadi terpecah oleh hiruk pikuk politik di luar. Fokus untuk membenahi pelayanan, meningkatkan profesionalisme, dan memberantas praktik-praktik yang tidak sehat bisa terganggu.
Sementara itu, dari sisi Kepresidenan, wacana yang tak kunjung usai ini dapat memunculkan citra seolah-olah soliditas komando dalam kabinet tidak berjalan mulus. Hal ini dapat menjadi celah bagi spekulasi yang tidak perlu mengenai hubungan antarlembaga di bawah koordinasi Presiden.
Oleh karena itu, Ferdinand menekankan bahwa mengakhiri perdebatan ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tujuannya jelas: menunjukkan kepada publik bahwa negara dikelola dengan kepemimpinan yang solid dan satu komando, demi menjaga marwah serta efektivitas jalannya roda pemerintahan.