PEKANBARU – Konflik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, belum menemukan titik terang. Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) berupaya mengembalikan fungsi hutan. Namun, ribuan warga menolak keras relokasi. Warga telah lama tinggal di sana. Mereka menggantungkan hidup pada kebun kelapa sawit di area TNTN. Penertiban ini kerap memicu ketegangan dan protes di permukiman.
Konflik ini memuncak sejak 10 Juni 2025. Saat itu, Satgas PKH melakukan penyegelan. Satgas dipimpin oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah. Area seluas 81.793 hektare diminta dikosongkan. Batas waktunya 22 Agustus 2025.
Warga merasa terkejut dengan plang penyegelan. Mereka mengaku sebelumnya hanya mendapat sosialisasi pendataan. Tindakan Satgas PKH semakin intensif. Mereka memasang portal, memusnahkan tanaman sawit, dan melarang pabrik membeli buah dari kawasan TNTN. PLN juga diminta memutus aliran listrik. Larangan penerimaan murid baru di sekolah negeri dalam kawasan juga diberlakukan. Warga merasa terpojok karena mata pencaharian mereka diancam.
Juru Bicara Warga TNTN, Abdul Aziz, menjelaskan riwayat kawasan ini rumit. Lanskap Tesso Nilo seluas 337.500 hektare pernah ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas. Sejak 1974 hingga 2000-an, kawasan ini banyak diobral. Izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) diberikan kepada PT DM dan PT NM.
Desakan konservasi membuat pemerintah mencabut izin. Pada 2004, ditetapkanlah TNTN tahap pertama. Namun, area itu sudah tidak utuh. Laporan BBKSDA Riau 2006 menunjukkan tumpang tindih lahan. Ada tanaman akasia PT RAPP dan sawit PT IIS. Bahkan, pada 2006, lebih dari 10.000 hektare TNTN sudah dikuasai masyarakat.
Pada 2009, TNTN diperluas. Perluasan ini mencakup bekas konsesi PT NM. Namun, saat pengukuhan TNTN seluas 81.793 hektare pada 2014, sekitar 19.041 hektare sudah dikelola warga. Akses masyarakat masuk kawasan memang terbuka sejak perusahaan tidak beroperasi.
Enam desa terdampak penertiban kawasan hutan ini. Warga merasa dicap sebagai perambah hutan. Mereka menuntut proses penegakan hukum yang berkeadilan. Warga mendukung penertiban, namun menuntut proses yang menyeluruh.
Warga menilai, Satgas tidak boleh “hanya melihat kulitnya saja”. Pemerintah harus menelusuri kelalaian pemerintah kehutanan, pelanggaran perusahaan, dan peran pihak lain. Rakyat tidak sepenuhnya bersalah atas kerusakan Tesso Nilo yang sudah puluhan tahun berlangsung. Warga menyatakan siap pergi dari TNTN. Syaratnya, proses hukum harus adil dan menyeluruh.













