“Selalu Ada kesamaan pola.” Demikian kasus-kasus penodaan atau penistaan agama selama kurun waktu lebih dari 40 tahun terakhir. dalam berbagai kasus selalu diawali dengan demonstrasi massa dan penegak hukum menjadikan alasan keresahan masyarakat akibat aksi massa ini, termasuk yang terjadi pada petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menurut pengamat Nahdlatul Ulama, NU. Apa dan bagaimana sebenarnya penistaan agama itu ?
Jakarta – (22/04/2021). Penistaan berasal dari kata nista, dalam kbbi.web.id bermakna rendah dan hina. Maka nista berarti menganggap rendah atau hina. Dengan demikian, kata penistaan maupun penodaan sebenarnya memiliki makna sama, yaitu anggapan seseorang yang menunjukkan sesuatu itu rendah, hina atau ternoda. Adapun kata-kata tersebut, dimungkinkan akan keluar dari mulut seseorang ketika dalam keadaan marah dan benci. Dalam bahasa Arab dikenal istilah al-istihzai yang berkonotasi sakhira (melecehkan) dengan kandungan pelecehan atas pihak yang dilecehkan disertai i’tiqad (keyakinan, maksud). Sedangkan dalam kamus Munawwir lafal haza’ dan sakhir diberi arti mengejek, mengolok-olok dan mencemooh. Hal tersebut diamini oleh kamus al-Muhit bahwa al-huz’u berarti menghina dan mengejek pihak tertentu. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, penistaan disebut dengan blasphemy. Namun, kemudian dalam kasus delik agama mengenai hukuman atas kasus penistaan agama mengalami polemik. Bbc.com mencatat bahwa dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun terakhir dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, kasus penistaan agama selalu diawali dengan demonstrasi massal dan penegak hukum selalu menjadikan alasan keresahan masyarakat sebagai akibat dari fenomena penistaan tersebut.
Seorang pakar dan peneliti, Melissa A. Crouch, dalam artikel Law and Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy Law, yang dimuat Asian Journal of Comparative Law, mencatat bahwa fenomena penistaan agama dari tahun 1998 sampai dengan 2011 setidaknya terdapat 120 orang yang diadili karena dianggap melecehkan agama di Indonesia. Sedangkan Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 5 orang yang dipenjara karena pilihan keyakinan mereka yang dianggap oleh hukum sebagai perilaku yang menyimpang.
Sejak Tahun 1965
Jika ditarik ke belakang, sebenarnya kasus penistaan agama di Indonesia sudah ada sejak 1965. Setara Institute mencatat pada 13 Januari 1965, dua sayap PKI, yaitu Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia, menyerang dan menyiksa peserta pelatihan Pelajar Islam Indonesia di Kabupaten Kediri. Dalam serangan ini, terjadi perampasan sejumlah mushaf al-Quran yang dirobek dan diinjak. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Setara Institute, Amnesty International serta penelusuran Tirto.co.id, dapat dilihat bahwa tren kasus penistaan agama mulai meningkat pada 2003. Pada periode ini, ditemukan 3 kasus yang terjadi, yaitu tafsiran dua kalimat syahadat pada buku karya Mas’ud yang berjudul ‘Kutemukan Kebenaran Sejati dalam al-Quran’, konflik internal gereja, serta pelafalan bacaan salat yang dilakukan oleh Yusman Roy dengan menambahkan bahasa Indonesia. Kemudian, dari 2004 hingga 2008, terdapat 19 kasus penistaan agama dengan jumlah kasus paling banyak terjadi pada 2006, yakni 7 kasus.
Pada 2009, tren kasus penodaan agama kembali tinggi, dengan jumlah sama seperti 2006. Pada tahun 2010, kasus penistaan agama kembali meningkat. Setidaknya terdapat 10 kasus yang terjadi pada saat itu. Tahun setelahnya, kasus penistaan agama yang terjadi sebanyak 3 kasus. Jumlah ini meningkat hingga mencapai 14 pada 2012, 10 kasus pada 2013 dan 6 kasus pada 2014.
Era Pemerintahan Jokowi
Pada masa pemerintahan Jokowi, kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode ini, sebanyak 14 kasus yang terjadi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu yang disertai kutipan surat al Maidah ayat 51. Video dari pidato ini viral melalui jejaring Facebook milik Buni Yani. Melihat trennya, kasus penistaan agama terlihat erat kaitannya dengan tahun politik di Indonesia. Kasus ini mulai meningkat sejak pemilihan presiden secara langsung digelar pertama kali di Indonesia, yaitu pada 2004. Pada masa transisi pemerintahan pun, kasus penistaan agama kembali meningkat. Pada 2016 misalnya, yang merupakan transisi kursi kepala pemerintahan di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta. Marzena Romanowska pernah menuliskan fenomena ini dalam tesisnya yang berjudul Religious Offences as a Political Tool.
Ia menyatakan bahwa agama kerap dijadikan alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok atau negara demi kepentingan tertentu. Selama tidak ada batasan yang jelas mengenai kebebasan berpendapat dan pelanggaran terhadap agama, membawa agama ke ranah politik menjadi mungkin, terutama di negara yang tidak memisahkan antara kebebasan beragama dan dunia politik. Selain penistaan agama, Romanowska menyebutkan hate speech juga banyak dipakai sebagai alat politik sejak zaman dahulu. Bahkan hingga sekarang, ini merupakan elemen politik yang 355 kasus tersebut meliputi: Tajul Muluk yang dipenjara karena menjadi pemimpin Syiah di Jawa Timur; Andreas Guntur yang dipenjara karena menjadi Pemimpin sekte agama “menyimpang”; Herison Riwu dipenjara karena dianggap melakukan ‘perilaku tidak layak’’ di sebuah gereja; Sebastian Joe dipenjara karea dituduh menghina Islam, dan; Alexander An dipenjara karena keyakinan atheisnya.
Dalam membicarakan perpolitikan regional, maupun internasional. Ia juga menjelaskan penggunaan agama sebagai alat politik dapat dilakukan karena nilai absolut dalam agama. Agama dilihat sebagai kebenaran mutlak dan ada pemeluknya yang meyakini bahwa tidak ada ruang untuk dialog. Hal ini kemudian menjadi alat yang digunakan dalam politik dan membatasi kebebasan berpendapat.
Kubu Kiri dan Kubu Kanan
Dalam konteks pendapat para sarjan Islam Indonesia ada variasi pandangan. Katakanlah ada kubu kiri dan kubu kanan. Dari kubu kiri ada Abdurrahman Wahid bersama Musdah Mulia dan Maman Imanul Haq yang sama-sama menolak keberadaan konsepsi hukuman formal dalam al-Quran atas kasus penistaan agama, dibuktikan dengan permohonan penghapusan UU Penodaan Agama. Tidak tertinggal salah seorang tokoh bernama Ulil Abshar Abdalla ikut mengamini penghapusan ini. Ia berpandangan bahwa apabila UU tersebut tidak dihapus maka mayoritas bisa seenaknya menodai yang minoritas. Memang, nama-nama tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana penafsiran mereka atas ayat-ayat penistaan, namun Irwan Ahmad Akbar pengamat dari Fakultas Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga melihat, dari sikap yang tercermin dengan melakukan penolakan tersebut, secara tidak langsung mengakui bahwa di dalam al-Quran tidak ada seperangkat konsepsi hukuman atas penista agama.
Ahli Tafsir, Quraish Shihab dan Syafi’i Ma’arif sendiri ketika melihat kasus Ahok, mereka berpandangan bahwa Ahok tidak menistakan agama. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa Shihab dan Ma’arif sama-sama tidak mengakui keberadaan konsepsi hukuman formal dalam al-Qur’an terkait kasus penistaan agama. Sedangkan dari kubu kanan, Lanjut Irwan, terdapat beberapa tokoh seperti Riziq Shihab, Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Syafiq Riza, Hanan Attaki, Abdul Shomad dan beberapa nama lainnya yang notabene menyandarkan pendapat mereka kepada sejumlah sarjana Islam klasik. Seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Kathir, al-Baghawi dan al-Qurtuby yang kesemuanya berpandangan bahwa hukuman atas penista agama telah diatur oleh al-Quran.
Namun, Irwan sendiri meragukan penyematan mereka sebagai sarjana-sarjana Islam karena sulit sekali bagi peneliti untuk menemukan karya-karya yang dibuat mereka. Pada kenyataannya, peneliti berpendapat kalau mereka ikut andil besar dalam mempolemiskan kasus penistaan agama di Indonesia. Belum lagi, UU Penodaan agama, membuka peluang untuk melegitimasi mereka dalam judge perilaku pihak lain yang dianggap melakukan penistaan agama. Melihat pola gerakan Islam kiri yang cenderung tidak seaktif kubu Islam kanan, dalam kontestasi narasi di Indonesia, kubu Islam kanan cenderung diterima, terutama oleh kalangan muslim perkotaan. Karena Islam kanan ini cenderung diterima oleh masyarakat muslim Indonesia yang urban, sehingga lambat laun ia mewarnai rasionalitas beragama di Indonesia.
Sebenarnya, NU tidak terlalu mengamini gerakan Islam kanan tersebut, namun karena demo yang terjadi didominasi oleh muslim perkotaan, maka media memberitakan secara umum saja, tidak ada kecenderungan penjelasan dari muslim kota ataukah bukan. Mengingat, warga NU sendiri cenderung pasif, tidak ayal, narasi didominasi oleh Islam kanan sehingga berpengaruh pada warna nalar publik yang nampak didominasi Islam kanan. Selain itu NU sendiri masih kental dengan Islam kultural yang cenderung sulit diterima oleh muslim perkotaan. Sekalipun PBNU sendiri sudah menyuarakan untuk tidak ikut demo 212 misalnya, narasi PBNU tetap sulit diterima oleh kalangan muslim perkotaan, sebab PBNU sendiri telah dianggap melenceng dari ajaran Islam. Alasan ini dilandasi karena kalangan yang lahir dari PBNU banyak yang dianggap sebagai Islam liberal dan lain sebagainya, sebutlah Gus Dur, Saiq Aqil Siradj, Ulil Abshar (yang pernah mencalonkan diri sebagai ketua umum), dan lain sebagainya.
Hal tersebut mendorong bagi kalangan Islam yang awam, ketika mengetahui berita-berita yang didominasi oleh Islam kanan, ikut terpengaruhi. Ditambah, cyber army yang dimiliki oleh kubu Islam kanan yang teramat masif dalam media sosial untuk memberikan informasi berbentuk gambar, meme, dan video singkat, entah itu berita benar atau bohong. Gencaran ini semakin menambah informasi terkait adanya hukuman bagi penista di dalam al-Qur’an. Dari sinilah, nalar publik muslim Indonesia didominasi oleh Islam kanan. Sehingga pada nantinya akan membentuk suatu ‘konsensus’ tertentu terkait judgement terhadap pihak yang dianggap menista Islam.
Kritik Pedas
Ilham Manea, sementara itu, juga menyatakan kritik yang pedas dalam karyanya yang berjudul “In the Name of Culture and Religion: The Political Function of Blasphemy in Islamic States”. Ia menyoroti bagaimana undang-undang penodaan agama sering digunakan di negara Islam otoriter untuk membungkam kritik atas perintah politik, sosial, dan agama yang melanggar hak-hak dasar manusia. Menariknya, sejak 2011, penistaan agama tidak hanya melibatkan Pasal 156(a) dan Pasal 157 KUHP saja, melainkan juga Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dari sekian data yang ada ditemukan satu pola menarik bahwa kebanyakan kasus penistaan agama timbul karena sikap “alergi” umat Islam atas ekspresi pihak tertentu yang dianggap meyimpang.
Di sinilah terjadi polemik yang kian pelik atas judgement penista agama, ditambah oleh negara yang seakan memberi fasilitas melalui peraturannya.Melihat data-data di atas, beberapa kejadian terkait kasus penistaan agama sering terjadi khususnya Islam. Dari beberapa tren kasus tersebut, nampaknya Islam kanan selalu memiliki andil dalam beberapa demo yang terjadi. Belum lagi, tren di tahun politik yang sering terjadi demo menolak pemimpin tertentu. Setiap kasus ini membentuk satu ‘konsensus’ yang lambat laun menjelaskan terkait standar seseorang menista agama tertentu berdasarkan rasionalitas mereka. Bahwa, seseorang yang menista wajib dihukum, apabila hukum lengah, desak terus sehingga pihak berwenang menghukum mereka. ‘konsensus’ ini berdampak pada kekuatan yang dapat dihimpun dalam bentuk pengerahan masa untuk mendesak keputusan hakim. Hal ini sudah barang tentu, menjadi fenomena menarik karena hukum pada dasarnya independen, namun pada kesempatan tertentu, keputusan hakim dapat terpengaruh oleh people power. Konsensus ini menghimpun kekuatan Islam kanan yang semakin padu dalam menggerus setiap pihak yang dianggap menista Islam.
Subjektif Akibat Tekanan Massa
Senada dengan ulasan Irwan Ahamad Akbar dari UIN Sunan Kalijaga di atas, Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), mengatakan berbagai kasus penistaan ini, termasuk HB Yasin dan Arswendo Atmowiloto muncul akibat tekanan massa dan bersifat subjektif.”Bersifat subjektif dari berbagai macam riset, termasuk peneliti dari Amerika. Defisi penodaan agama tak jelas. Seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa saja, walaupun orang itu tak punya intensi atau niat untuk melakukan penodaan agama. “Tapi apa yang dilakukan menimbulkan kemarahan sejumlah orang, masyarakat dibuat resah. Keresahan itu yang dijadikan alasan orang ini melakukan penodaan agama,” kata Rumadi.
“Demo dan aksi dianggap sebagai keresahan masyarakat sehingga tindakan orang itu dikatakan mengganggu ketertiban umum,” tambahnya.Rumadi, yang melakukan riset kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mulai dari kasus HB Jassin pada 1968, mengatakan hampir tak ada kasus penistaan yang tak melibatkan massa. “Ada pola yang sama dari kasus pernistaan agama di indonesia. Hampir tak ada kasus yang tidak melibatkan massa. Kasus ini selalu diawali dengan demonstrasi dan pengerahan massa oleh sejumlah orang, diikuti tindakan aparat penegak hukum, menjadikan tersangka, diadili di pengadilan dan dihukum sekian tahun. Dan ada kecenderungan semakin kuat tekanan masa, hukuman lebih tinggi. Tekanan masa berimplikasi berapa tahun dia akan dipidana,” kata Rumadi. Ahok dijadikan tersangka terkait pernyataannya yang menyebutkan saingannya dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta menggunakan Surat Al Maidah 51, pernyataan yang kemudian viral dan menimbulkan demonstrasi besar dan yang terbesar saat itu. Ahok sendiri di tempat kampanye di kawasan Menteng, Jakarta mengatakan “menerima” keputusan menjadikannya tersangka yang ia sebutkan sebagai “contoh yang baik untuk demokrasi”.
“Dalam kasus Ahok, saya sudah lama duga Ahok akan dijerat, entah jadi tersangka, atau masuk pengadilan karena melihat kasus penodaan agama sejak tahun 1969 selalu begitu. Dan kalau ada kasus yang tak melibatkan massa, ada kecenderungan orang itu lolos dari jeratan hukum,” kata Rumadi. Besarnya efek media sosial juga semakin memicu besarnya tekanan massa ini, kata Rumadi.Melalui Facebook BBC Indonesia, banyak yang menyambut pengumuman polisi terkait status Ahok menjadi tersangka namun tak sedikit yang mengecam. Akun atas nama Wisye Supit antara lain menulis, “Saatnya mengheningkan cipta….Hari berkabung nasional…Rip bahasa dan hukum Indonesia,” sementara Ca Hasbiy menyatakan, “Membawa kasus ini ke meja hijau secara adil dan transparan akan memperkuat kepastian hukum di Indonesia dan menjaga keutuhan NKRI yg berdasarkan Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sbg semboyan berbangsa dan bernegara.”
Lia Aminudin, atau Lia Eden – mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril, 2006. Lia -yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria- dijebloskan ke penjara dua kali.Pertama pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama. Arswendo Atmowiloto – penulis yang dijeboloskan penjara karena survei tabloid Monitor, 1990 Penulis dan wartawan Arswendo Atmowiloto dipenjara selama empat tahun enam bulan, keputusan banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkahmah Agung, terkait survei untuk tabloid Monitor dengan lebih 33.000 kartu pos dari pembaca. Dalam survei tokoh pilihan pembaca tersebut, Presiden Soeharto kala itu berada di tempat pertama sementara Nabi Muhammad di urutan ke-11.Survei ini menimbulkan aksi massa.
Sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril dan menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa.HB Jassin telah meminta maaf namun tetap diadili karena penistaan dan dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun. Kasus-kasus di atas, menurut Rumadi Ahmad, “Dari HB Jassin, Arswendo, (Lia Aminudin), yang dijadikan argumen bukan semata-mata dia memenuhi norma penodaan agama dalam kasus 156a KUHP tapi yang jadi pintu masuk utama apakah ada keresehan sejumlah orang atau tidak.” Rumadi menyebut sejumlah kasus yang tidak menimbulkan aksi massa besar dan tertuduh tidak sampai dijebloskan ke penjara. Kasus yang disebut Rumadi termasuk Teguh Santosa, pemimpin Rakyat Merdeka online pada tahun 2006 dan harian The Jakarta Post pada 2014.
Preseden buruk
Teguh dilaporkan ke polisi karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad seperti yang dinaikkan koran di Denmark, Jylland Posten dan pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodingrat, diadukan karena membuat karikatur bergambar kelompok ISIS dengan lambang tengkorak dan ada tulisan Allah. “Kasus Teguh Santosa misalnya, ada kalangan yang meributkan, menuduh menyebarkan kartun. Tapi tak ada desakan massa, dia diajukan ke pengadilan tapi divonis bebas.” Sementara itu Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian menyatakan kasus penodaan agama terkait Ahok merupakan “preseden buruk” bagi demokrasi.
Hendardi, Ketua Setara Institute, mengatakan, “Penetapan status tersangka atas Basuki Tjahaya Purnama dalam kasus dugaan penodaan agama adalah preseden buruk bagi promosi pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia karena penegakan hukum atas dugaan penodaan agama tidak sepenuhnya dijalankan dengan mematuhi prinsip due process of law (proses hukum)”. Hendardi mengatakan penggunaan Pasal 156a KUHP “di tengah kontestasi politik Pilkada DKI, menegaskan bahwa Basuki terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu.”
Sikap Polri
Anggota Komisi III DPR Agun Gunandjar mengatakan, idealnya penistaan agama dikategorikan sebagai tindak pidana dengan delik umum, bukan delik aduan. Itu artinya penindakan pidana penistaan agama tak bergantung pelaporan dari masyarakat, tetapi berdasarkan penyelidikan polisi. Hal itu disampaikan Agun dalam rapat dengar pendapat (RDP) terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu. “Jangan dijadikan delik aduan, bahaya ini kalau nanti dijadikan delik aduan, biarkan negara hadir dan mengambil tindakan,” kata Agun.
Sebab, menurut Agun, jika hal itu dijadikan delik aduan, maka akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Nantinya dikhawatirkan banyak orang yang melaporkan dengan pemahaman yang bias. Hal senada disampaikan Ketua Tim Perumus RUU KUHP Muladi dari Kementerian Hukum dan HAM. Ia menjelaskan, meski dalam soal ini masyarakat memiliki hak untuk mengadu selaku pemeluk agama, namun sebaiknya itu tidak dilakukan. Sebab, nantinya akan muncul pelaporan yang bias dalam memahami makna penistaan agama dan ke depannya malah menimbulkan kekacauan.
“Sudah benar digolongkan ke delik umum seperti sekarang. Kalau jadi delik aduan nanti malah jadi kacau,” kata Muladi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Muladi mengatakan, meski bersifat delik umum, polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum harus benar-benar adil dalam menindak pidana penistaan agama. Hal itu wajib dilakukan agar tak ada kesan keberpihakan polisi kepada kelompok agama tertentu yang tengah terlibat dalam penindakan. Selain itu, kata Muladi, hakim yang menangani juga harus berpengalaman dan ahli. Sebab, di pengadilanlah nantinya motif tersangka dalam melakukan dugaan penistaan agama akan dinilai. “Jadi selain polisi harus benar-benar netral, hakim juga harus yang pengalaman. Jadi maksud tersangka di pengadilan benar-benar terbukti,” ujar Muladi. “Sebab maksud dalam dugaan penista agama itu harus bisa dibuktikan, supaya tidak sewenang-wenang meskipun ini masuk ke delik umum,” kata dia.
Pimpinan Komisi III Benny Harman juga menganjurkan agar pidana penistaan agama masuk ke dalam delik umum. Hal itu dilakukan agar tak menimbulkan kegaduhan di masyarakat dengan banyaknya laporan yang berpotensi bias. Menurut Benny, hal itu tentunya akan memunculkan gejolak sosial melebihi saat ini. “Sekarang saja penistaan agama masuk ke delik umum sudah seperti ini, apalagi kalau nanti jadi delik aduan,” tutur Benny.
Polri Jangan Hanya Menunggu
Dalam kasus penistaan agama, selama ini polisi berpatokan selalu denga adanya pengaduan atau menimbulkan keresahan di masyarakat. Kini agaknya Polri harus mengubah diri, apalagi bila penistaan agama ini masuk delik umum, berarti tidak perlu ada lapaoran baru polisi bergerak. Semoga saja ini bisa dilakukan oleh Polri secara konsisten. Dalam hal kasus penistaan agama terbaru 2021 misalnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoeljono yang mengaku nabi ke 26, bisa saja dideportasi oleh Pemerintah Jerman. Namun, semua menunggu terbitnya red notice dari Interpol.
“Jadi kemungkinannya itu kuncinya setelah red notice dikeluarkan, tentu akan dikomunikasikan dengan pemerintah setempat. Pemerintah negara dia tinggal di Jerman,” kata Ramadhan di Mabes Polri pada Selasa, 20 April 2021. Selain itu, Ramadhan mengatakan Polri juga bisa saja melakukan penjemputan paksa terhadap Paul Zhang yang diketahui keberadaannya di Jerman. Akan tetapi, tunggu proses yang dilakukan penyidik karena tidak bisa langsung begitu saja. “Tunggu saja, tidak bisa langsung tapi melalui Sekretariat NCB Interpol Indonesia dan dikomunikasikan ke Interpol yang ada di Lion, Perancis. Itu mekanismenya,” ujarnya. Karena, kata dia, Indonesia tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Jerman makanya perlu menunggu terbitnya red notice dari Interpol di Lion, Perancis untuk bisa mengambil tindakan hukum terhadap Paul Zhang.
“Jadi untuk Indonesia dan Jerman tidak ada perjanjian ekstradisi. Apabila ada red notice tersebut, kita bisa melakukan penjemputan terhadap tersangka sepanjang yang bersangkutan masih WNI,” jelas dia. Menurut dia, Indonesia menganut asas teritorial dan nasionality. Bicara asas teritorial, artinya berlaku kepada suluruh warga negara manapun yang melakukan tindak pidana di Indonesia bisa diproses. Kemudian asas nasionality, kata dia, semua warga Negara Indonesia melakukan perbuatan tindak pidana di mana saja, itu bisa diproses dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Ya diharapkan Polri lebih proaktif dalam menangani kasus penistaan agama jangan sampai didahului oleh demo-demo dan pengerahan massa yang melakukan penekanan kustru kepada polisi dan penegak hukum. (Saf).