Ada suara-suara untuk menghentikan atau pembuatan SP3 atas kasus-kasus pidana dan munculnya harapan agar kasus tetap dapat berjalan on track dan media juga diminta untuk membantu mengawal kasus-kasus tersebut. Media/ pers dipercaya sangat penting perannya untuk mengkontrol dam mengawasi kasus-kasus yang agar tetap pada koridor hukum dan tidak ada yang melakukan intervensi kepada penegak hukum dan lainnya. Ketika menerbitkan SP3 kasus, polisi dan Polri dalam pandangan publik tidak jarang dianggap ngawur dan tidak memenuhi asak keadilan. Apakah memang demikian halnya bila kita merujuk pada penghentian kasus-kasus kriminalitas yang ditangani oleh Polri di masa lalu?
Jakarta, 18 Juni 2021. Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyatakan memiliki komitmen penuh dalam upaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus yang lama menjadi perhatian publik. Belum lama ini ramai diberitakan bahwa Kapolri menjelaskan perkembangan kasus berkaitan dengan Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI) dalam rapat bersama Komisi III DPR RI. Selain kasus penembakan yang menewaskan anggota FPI sesuai rekomentasi dari Komnas HAM, terdapat pula kasus menyangkut pelanggaran protokol kesehatan di mana Rizieq Shibab terlibat di dalamnya. Kasus pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi di tiga tempat telah berjalan dan disidangkan.
Kapolri juga menekankan bahwa kasus yang berkaitan dengan penembakan terhadap anggota FPI tersebut telah dihentikan. Pertimbangannya adalah karena pihak yang terlibat dalam kasus tersebut telah meninggal dunia. Sedangkan perkara penembakan anggota FPI tersebut ada kasus unlawful killing masih diproses karena masih dibutuhkan pelengkapan berkas-berkasnya. Persoalan-persoalan tersebut harus diakui memiliki banyak nuansa dan politis. Karenanya kasus-kasus tersebut amat menyita perhatian masyarakat di Indonesia, maka langsung mendapat sorotan, komentra dan kritik baik dari masyarakat maupun dari media dan para pengamat yang mengikuti masalah-masalah ini dengan seksama.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh Polri juga seringkali dianggap janggal dan dipertanyakan untuk mendapatkan tanggapan. Media juga tampaknya mengambil peran dalam memanaskan suasana. Mereka tampaknya tidak selalu melakukan pemberitaan yang profesional, kadang terjebak pada penciptaan hoaks lewat pencptaan opini yang tidak jarang meresahkan dianggap mem-framing serangan terhadap Polri. Pengamat Ninoy Karundeng menganggap bahwa media di Indonesia memang seringkali sengaja menyerang Polri seperti yang terlihat dalam kaitannya dengan kasus kematian dari 6 orang teroris FPI di KM 50.
Sebelumnya, pemberitaan yang hadir dan meluas menurutnya sengaja berupaya untuk menyudutkan Polri. Haruslah disadari bahwa opini-opini yang tendensius seperti itu mestinya dapat dibuktikan kebenarannya dan menyeimbangkan isi agar berita-berita yang beredar tidak masuk dalam kategori hoaks dan berhasil mengecoh pemahaman publik.
Faktor Peran Media
Penghentian kasus-kasus kriminal oleh telah diputuskan oleh Polri di masa lalu. Sebagaimana diberitakan media massa, banyak kasus-kasus yang kompleks pada akhirnya dihentikan lewat pertimbangan-pertimbangan terutama dasar hukum. Beberapa kasus telah terkatung-katung tidak kunjung selesai sesudah bertahun-tahun. Namun karena dinilai melibatkan campur tangan banyak pihak termasuk peran media, kasus-kasus tersebut kemudian mencuat dan dipertanyakan oleh khalayak publik. Media kerap melaporkan dalam judul-judul headline berita mengenai munculnya ketakutan masyarakat tentang adamua intervensi dari pihak pihak tertentu.
Ada banyak kasus yang menyangkut persoalan tanah dan mafia tanah yang kini semakin menjadi sorotan dari fokus penanganan-penanganan Polri. Dalam hal ini ada suara-suara untuk menghentikan atau pembuatan SP3 atas kasus tersebut dan munculnya harapan agar kasus tertap berjalan on track dan meminta media untuk membantu mengawal kasus-kasus tersebut. Pers dipercaya sangat penting perannya untuk mengkontrol dam mengawasi kasus-kasus yang agar tetap pada koridor hukum dan tidak ada yang melakukan intervensi kepada penegak hukum dan lainnya. Ketika menerbitkan SP3 kasus, polisi dan Polri tidak jarang dianggap ngawur dan tidak memenuhi asak keadilan. Apakah memang demikian halnya?
Penerbitan SP 3
SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut termasuk tidak diperoleh bukti yang cukup, yakni apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka; Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; alasan penghentian penyidikan demi hukum apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.
Itu sebabnya mengapa Polri kemudian mengeluarkan SP3 (Surat perintah penghentian penyidikan) dan menutup kasus-kasus ketika pelaku ternyata meninggal. Karena alasan-alasan tersebut, penyidikan memang dihentikan. Harus dicatat di sini bahwa walaupun SP3 dikeluarkan berkas perkara harus dirampungkan dan saksi-saksi diperiksa. Dalam satu kasus tahun 2020 misalnya, dilaporkan oleh media bahwa Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Edward Omar Sharif Hiariej pada 10/12/2020 dilaporkan memberikan kesaksian yang cukup mengejutkan dalam sidang di Pengadilan Negeri Solo.
Dalam kesempatan itu, Prof Edward menilai bahwa penghentian penyidikan atas laporan kasus dugaan pemberian keterangan palsu yang dilakukan penyidik Polresta Surakarta tidak bisa dibenarkan dalam hukum. Ia memberikan keterangan di pengadilan tersebut sebagai saksi ahli dalam kasus gugatan praperadilan yang diajukan Joenoes Rahardjo. Joenoes yang pernah dihukum selama empat bulan karena menganiaya adiknya secara bersama-sama dengan pelaku lain melaporkan balik adiknya yang memberikan keterangan palsu dalam persidangan.
Hanya saja, laporan Joenoes tersebut oleh penyidik dihentikan dengan terbitnya SP3. Tidak terima laporannya dihentikan petugas, Joenoes akhirnya mengajukan gugatan praperadilan. Adapun yang digugat tentunya penyidik Polresta Surakarta. “Sudah jelas sekali, penyidik menghentikan perkara ini (SP3) sebagai tindakan yang ngawur. Lha wong sudah ada surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kok dihentikan,” tegasnya ketika memberikan kesaksiannya di PN Solo itu.
Adapun penasehat hukum Joenoes Rahardjo, Kardiansyah Azkar SH mengemukakan, apa yang dilaporkan kliennya sudah cukup bukti sebab perkaranya sudah naik dari penyelidikan ke penyidikan, namun kenapa SP3 diterbitkan.
Kasus Bos Gula
Selain itu juga ada kasus lain yang menyita perhatian masyarakat yakni tentang bos gula pada 2018 lalu di mana ada penghentian penyidikan. Kasus dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (YPPU) dengan terlapor pengusaha gula Gunawan Jusuf.
Kasus sudah berjalan cukup lama, yakni mencapai 18 tahun. Kejaksaan Agung menjadi pihak yang menetapkan surt Perintah penghentian Penyidikan (SP3) kepada penyidik Badan Reserrse Kriminal (Bareskrim) Polri. Namun media melaporkan adanya kejanggalan ketika kejaksaan menetapkan SP3 sementara polisi baru mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya penyidikan (SPDP) dan belum ada tersangka.
Hal ini kemudian dianggap janggal kalau baru SPDP tapi ternyata sudah di SP3- kan. Namun alasan kadaluarsa memang bisa digunakan bila sebuah kasus telah berjalan lebih dari 18 tahun. Kasus dihentikan demi hukum. Dalam kasus-kasus di mana SP3 sudah dikeluarkan, pelapor memng dapat menempuh jalur perdata seperti tampak dilakukan pada kasus ini.
Dugaan penggelapan dan TPPU yang bermula ketika pelapor Toh Keng Siong menginvenstasikan dananya ke PT Makindo dengan Direktur Utama yakni Gunawan Jusuf. Sejak 1999 hingga 2002, total dana yang diinvestasikan dalam bentuk Time Deposit mencapai ratusan juta dolar AS dalam bentuk Time Deposit. Pengacara Toh Keh Siong, Denny Kailimang menduga Gunawan menggunakan dana pinjaman itu untuk membeli pabrik gula melalui lelang BPPN kemudian tidak mengembalikan uang tersebut hingga kini.
Kasus Cakap Mesum Rizieq
Kasus lain yang cukup mencuat adalah tentang kasus cakap mesum yang melibatkan Rizieq. Polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka dalam kasus cakap mesum pada Mei 2017 lalu. Namun, pimpinan Front Pembela Islam (FPI) kal itu ternyata kemudian pergi ke Mekah Saudi Arabia. Presidium Police Watch menilai sikap Polri dalam kasus ini tampak tertutup terutama ketika memberikan informasi kepada publik, padahal publik seharusnya diberikan asupan informasi, terutama pada kasus-kasus yang tergolong penting.
Dengan pengumuman SP3 yang diperoleh publik lewat keterangan Rizieq itu diangap tidak menguntungkan. Menurutnya, Polri harus memberitahu lebih dahulu ke masyarakat untuk mengurangi friksi yang selama ini terjadi antara Polri dan pendukung Rizieq. Pihak kepolisian dianggapnya tidak berhasil menemukan alat bukti, sementara mereka sudah gembar-gembor dan tidak sudi bersikap transparan.
Penerbitan SP3 kasus chat mesum oleh Polri yang melibatkan Rizieq Shihab pada 2018 lalu sempat dinilai pula oleh pengamat dari insitutute for security and Strategic Studies Bambang Rukminto bisa berdampak negatif pada kredibilitas kepolisian. “Bila melihat fenomena kasus Rizieq, penanganan kasus yang berkepanjangan dan ujung-ujungnya adalah SP3, memunculkan preseden negatif bagi penegakan hukum yang dilakukan Polri,” jelasnya. Is juga menilai bahwa polisi memainkan hukum. Selain itu, menurut hematnya, ada kesan kepolisian juga terpengaruh tekanan politik maupun sosial.
Selanjutnya, Ketua Pemuda Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Dahnil Anzar juga sempat mempertanyakan bahwa keputusan itu apakah diambil berdasarkan hukum, bukan yang lain, apalagi kalau politik.
Kasus Penghentian Penyelidikan Kasus Dugaan Suap UNJ
Kasus lain yang menyita perhatian publik adalah soal dugaan suap yang dilakukan oleh konum pejabat Universitas Negeri Jakarta. Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya juga pernah menghentikan penyelidikan kasus dugaan suap atau tindak pidana korupsi. Kasus itu terkait pemberian tunjangan hari raya (THR) yang diduga dilakukan pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Berdasarkan hasil penyelidikan Polda Metro Jaya, tidak ditemukan pelanggaran pidana, sehingga kasusnya dihentikan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus menyatakan bahwa setelah menerima pelimpahan perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik Ditreskrimsus Polda Metro melakukan langkah-langkah melengkapi administrasi, penyelidikan, dan meminta keterangan 44 saksi, dua di antaranya merupakan saksi ahli.
“Hasil pemeriksaan saksi ahli yang ada, dua saksi ahli kita lakukan (pemeriksaan), dinyatakan bahwa perbuatan pidana ini tidak sempurna dan tidak masuk dalam unsur-unsur pasal yang dipersangkakan. Itu hasil saksi ahli,” jelas Yusri di di Mapolda Metro Jaya (9/7/2020).
SP3 dan Prospeknya Terhadap Penyelesaian Kasus
Pada tahun 2015, pakar hukum Margarito pernah menilai bahwa kasus pidana yang sampai dua kali mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) akan sulit dibuka kembali. Penerbitan SP3 yang sampai dua kali menurutnya mengindikasikan adanya kurangnya bukti. Hal itu dikatakan Margarito terutama untuk menanggapi kasus perseteruan antara pengusaha asal Pontianak, Adipurna Sakti dengan rekan bisnisnya di PT Salembaran Jatimulia (SJ), yakni Yusuf Ngadiman dan Suryadi Wongso.
Kasus kerja sama bisnis yang berujung dugaan laporan ke Bareskrim Polri oleh kubu Adipurna itu sempat dua kali dihentikan penyidikannya dengan SP3. Namun, dalam perkembangan penyidikan tidak ditemukan bukti-bukti terhadap tindak pidana itu. Karenanya Bareskrim mengeluarkan SP3 pada 24 April 2013 berdasarkan hasil gelar perkara 20 Februari 2013. Hanya saja, Adipurna mengajukan praperadilan atas SP3 kasus itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim lantas memutus agar kasus itu kembali dibuka dengan sejumlah petunjuk.
Mabes Polri dalam hal ini menuruti perintah pengadilan. Kabareskrim saat itu, Komjen Suhardi Alius meminta berkas dialihkan ke Direktorat Tipideksus sekaligus mengganti penyidik yang menanganinya. Ketika berkas dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana umum (Jampidum) Kejagung, jaksa menyatakan bahwa lingkup kasus tersebut adalah keperdataan dan bukan pidana.
Bareskrim Polri pun menerbitkan SP3 karena kasus itu tidak masuk dalam ranah pidana. Hasil gelar perkara yang dilakukan Direktorat II Tipideksus pada 15 Juni 2015 menyatakan bahwa perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan dan penyidikan dihentikan dengan alasan bukan tindak pidana. (Isk – dari berbagai sumber).