Sebagian pengamat memprediksikan bahwa sesudah 2 dekade, Taliban harusnya sudah belajar dari pengalamannya. Tidak mungkin mereka akan kembali melakukan dukungan kelompok-kelompok teroris seperti Al Qaeda dan ISIS mengingat konsekuensi yang mereka hadapi 20 tahun yang lalu. Taliban juga dianggap tidak akan mudah memberikan tempat kepada Al Qaeda dan ISIS di Afganistan melakukan aksinya, karena Taliban merasa memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan mereka, bahkan mereka kehilangan kekuasaan akibat ulah Al Qaeda, kata Peter Neumann, Profesor Security Studies dari King’s College London. Hanya dengan memberi pengakuan kepada Taliban oleh dunia internasional termasuk Amerika Serikat sendiri, Taliban dan Afganistan bisa terhindar dari potensi memainkan peran sebagai tuan rumah gerakan jihad global yang dikawatirkan itu.
Jakarta, 22 Agustus 2021. Amerika Serikat menginvasi Afganistan 20 tahun silam sebagai respon melawan terorisme. Tindakan itu dilakukan sebagai jawaban atas serangan 9/11 yang dilakukan oleh Al Qaeda dan difasilitasi oleh Taliban. Dengan kemenangan Taliban baru-baru ini, apakah hal ini tidak justru meresahkan? Apakah Afganistan akan muncul sebagai negara khilafah baru seperti yang dicita-citakan oleh Al Qaeda atau ISIS? Apakah kelompok radikal Islam akan menemukan surga di negeri Afghanistan yang baru? Apakah mereka juga menjadi tempat baru pembibitan bagi munculnya radikalisme dan terorisme Islamis dengan sokongan teknologi baru dan media sosial?
Janji Taliban baru
Zabihullah Mujahid, Juru bicara Taliban menyatakan bahwa jangan menyamakan mereka dengan Taliban yang 20 tahun yang lalu berkat,pengalaman, kedewasaan, dan visi mereka yang sudah jauh berubah. Mereka berjanji akan menghormati hak-hak perempuan dan menerapkan Afganistan yang memenuhi standar internasional. Sebelumnya pada Februari 2020 lalu, pihak Taliban sepakat dengan mantan Presiden AS Donald Trump mereka tidak akan mengizinkan angggotanya, individu-individu atau kelompok termasuk Al Qaeda menggunakan tanah Afghanistan untuk mengancam keamanan Amerika dan sekutu-sekutunya.
Nilai perjanjian dan janji tersebut kembali dipertanyakan sejak mundurnya pasukan Amerika dari Afganistan. Banyak yang percaya bahwa Taliban pasti akan mengulangi dorongan-dorongan yang menyebabkan kelompok-kelompok teroris Islam kembali mencari peluang-peluang baru untuk menyerang Amerika dan sekutu-sekutunyanya. Bahkan serangan-serangan itu dikhawatirkan bisa terjadi dalam skala yang lebih besar dari sebelumnya. Nathan Sales, mantan koordinator Counter terorisme Departemen Luar negeri AS menyatakan naiknya Taliban memunculkan baiknya resiko aksi terorisme terhadap Amerika karrena Al Qaeda akan dapat didirikan kembali di Afganistan dan akan melancarkan aksi terorisme yang baru. Melihat dan menganalisa sejarah lahir dan berkembangnya Taliban di Afganistan, seberapa besar potensi yang dikawatirkan dan menyangkut isu lahirnya khilafah dan terorisme itu sebenarnya diprediksi bisa terjadi?
Lahir dan Perkembangan Taliban
Taliban muncul pada tahun 1994. Dengan tersedianya sumber dana bantuan Arab Saudi, sejumlah pesantren/madrasah penganut aliran Suni garis keras di Afganistan dan Pakistan memiliki kemampuan mendidik para pengikutnya. Meskipun banyak warga Afganistan yang tergabung dalam Taliban mendapat pendidikan di madrasah konservatif di wilayah perbatasannya, Pakistan selama ini membantah sebagai arsitek bagi pendirian gerakan Taliban di Afganistan. Taliban dalam bahasa Pashtun berarti pelajar. Ia mengacu pada gerakan pelajar muslim yang bertujuan mengusir pasukan Uni Soviet dari Afganistan selama perang yang berlangsung pada 1979-1989.
Mereka bisa digolongkan sebagai gerakan nasionalis Islamis Suni yang terdiri atas para petani dan santri yang berjanji memulihkan perdamaian dan keamanan berdasarkan syariah Islam terhadap etnis Pashtun di Afghanistan maupun Pakistan. Bersama dengan kelompok Mujahidin, kelompok Taliban juga disuplai senjata dan dana oleh Amerika Serikat sebagai bagian kebijakan luar negeri melawan musuh-musuh perang dingin Amerika. Kelompok Taliban dan Mujahidin menggunakan bantuan tersbeut untuk menggulingkan pemimpin komunis dukungan Soviet, yang berhasil melakukan kudeta berdarah terhadap presiden Afganistan pertama, Mohammad Daoud Khan pada 1978.
Usaha mengusir pengaruh Soviet berhasil. Namun sesudah Soviet menarik mundur tentaranya pada 1989, terjadi banyak kekacauan dan perang sipil perebutan kekuasaan antara kelompok Mujahidin. Warga Afganistan merasa muak dan bosan dengan perilaku para mujahiddin yang saling bertikai. Dalam konteks ini, Taliban pun muncul. Taliban memperoleh kekuasaannya lewat berbagai faksi aksi bersenjata dalam perang sipil sehingga muncul sebagai pemain utama di awal 1990. Munculnya kekuatan Taliban dianggap warga Afganistan memberi harapan bagi masa depan baru. Apalagi mereka memiliki komitmen memberantas korupsi, menegakkam hukum serta melakukan pembangunan guna meningkatkan perdagangan.
Pada awalnya kelompok Taliban didominasi orang-orang Pashtun namun sejak 1994 meluas. Dari kekuatan di wilayah Barat daya, Taliban berangsur-angsur merebak pengaruhnya ke seluruh Afganistan. Mereka menguasai Kandahar, kota terbesar kedua sesudah Kabul dan pada September 1995 berhasil merebut Povinsi Herat yang berbatasn dengan Iran. Setahun kemudian mereka menguasai ibukota Kabul dan menyingkirkan Presiden Burhanuddin Rabbani dan Menteri Pertahanan Ahmed Shah Masood. Taliban menguasai hampir tiga perempat Afghanistan atau sekitar 85 persen, baik sebagai kekuatan politik maupun militer yang berpengaruh di masyarakat. Secara publik, pada 1996 Taliban kemudian mendeklarasikan Afghanistan sebagai negara Islam emirat yang menerapkan syariah Islam.
Isu Khilafah dan Terorisme
Syariah Islam merupakan salah satu hal yang menonjol dan menjadi sorotan dunia internasional. Rejim Taliban di Afganistan menerapkan hukuman brutal publik termasuk hukum cambuk, potong tangan dan ekseskusi masal guna penerapan ketat hukum syariah Islam tersebut. Selain itu, diterapkan pula tatacara berpakaian burka bagi perempuan dan wajib memelihara janggut bagi warga laki-laki. Musik, tari, tayangan televisi haram dan dilarang. Kaum perempuan dilarang bersekolah atau bekerja. Pada tahun-tahun sebelum terjadinya serangan September 2001, Taliban mengizinkan Al Qaidah tumbuh di Afganistan sehingga memungkinkan organisasi teroris itu merekrut, melatih dan mengekspor teroris ke negara-negara lain untuk melancarkan aksi kekerasannya.
Pemimpin Taliban, Mullah Mohammed Omar yang meninggal pada 2015 merupakan pendukung pemimpin Al Qaeda, Osama Bin Laden. Selama 1999-2000, di bawah Taliban, berbagai serangan serius terjadi di Kyrgystan. Perang sipil terjadi di Tajikistan dan pada 1999 terjadi peledakan 6 bom di Tashkent, ibukota Uzbekistan. Lebih jauh lagi, walau koneksi antara terorisme di Uyghur dengan Afganistan tidak jelas, ekstrimis Uyghur diketahui beroperasi di sepanjang batas sempit wilayah perbatasan anara Afganistan dan wilayah China. Peristiwa-peristiwa tersebut sering dinilai sebagai alasan untuk menempatkan Taliban sebagai kelompok teroris global.
Kekuasaan Taliban berakhir pada tahun 2001. Penyerbuan pasukan Amerika Serikat dan NATO mengakhiri kekuasaan mereka. Pemimpinnya, Mullah Umar dianggap tidak kooperatif menyerahkan Osama bin Laden, tersangka teroris yang bertanggungjawab atas peristiwa WTC September 2001. Hanya dalam waktu seminggu, rezim Taliban di Afganistan itu jatuh ke tangan Amerika. Meski Amerika Serikat dan sekutunya berhasil menggulingkan Taliban, Mullah Mohammad Omar tidak berhasil ditangkap, seperti juga halnya Osama Bin Laden. Pemimpin Taliban yang selamat dari serangan Amerika lari dalam persembunyian. Walaupun di bawah tekanan Pakistan, mereka akirnya berhasil menyusun kekuatan mereka kembali dari dalam Afganistan maupun Pakistan.
Selama masa tersebut, pihak Taliban dituduh melakukan aksi pembunuhan terhadap etnis minoritas di Afganistan. Menurut catatan PBB, 40 persen korban kekerasan Taliban adalah rakyat sipil. Peristiwa penembakan terhadap gadis berusia 15 tahun Malal Yusafzai (Oktober 2012 lalu) di dalam bus sepulang ujian sekolah sebagai penerapan syariat Islam yang keras juga dinilai sebagai bukti elemen terorisme Taliban. Ditambah dengan gugurnya lebih dari empat ribu tentara Amerika di Afganistan yang bertempur dengan Taliban, menyebabkan banyak pihak yang dimotori Amerika tidak saja mencap Afganistan sebagai sarang Al Qaeda, namun juga Taliban juga merupakan organisasi teroris. Untuk mendukung tuduhannya, laporan-laporan intelejen Amerika menyebutkan Taliban berada di belakang sejumlah aksi terorisme seperti serangan bom bunuh diri dan serangan-serangan lainnya baik di Afganistan maupun di Pakistan. Taliban juga dianggap memiliki kaitan yang kuat dengan Al Qaida dan merampas persenjataan Amerika.
Bersama kelompok kelompok lain, mereka dituduh menempatkan bahan peledak di tempat-tempat publik, mencederai warga sipil dan pembunuhan Bukti-bukti video yang memperlihatkan bagaimana mereka membebaskan Jihadis dan anggotanya berpencar ke seluruh pelosok negeri itu.yang menargetkan figur-figur yang pro Barat di Afganistan. Klaim-klaim itu selama ini dibantah pihak Taliban. Dan sekarang mereka telah berhasil menegakkan kekuasaannya kembali sesudah 2 dekade yang silam dengan janji-janji yang tidak dipercayai.
Harapan Baru Untuk Taliban Baru
Sebagian pengamat memprediksikan bahwa sesudah 2 dekade, Taliban harusnya sudah belajar dari pengalamannya selama ini. Tidak mungkin mereka akan kembali melakukan dukungan kelompok-kelompok teroris seperti Al Qaeda dan ISIS mengingat konsekuensi yang mereka hadapi 20 tahun yang lalu. Taliban juga dianggap tidak akan mudah memberikan tempat kepada Al Qaeda dan ISIS di Afganistan melakukan aksinya, karena Taliban merasa memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan mereka, bahkan mereka kehilangan kekuasaan akibat ulah Al Qaeda. Demikian pendapat Peter Neumann, Profesor Security Studies dari King’s College London. Noor Dahri, ahli counter terorisme dari Inggris juga menyatakan bahwa karena saling bertentangan, ISIS dan Taliban tidak mungkin bisa disatukan, apalagi mereka mau menawarkan negeri mereka digunakan untuk menyerang target internasional seperti selama ini. Menurutnya,Taliban juga tidak disukai ISIS karena pernah medukung dan bernegosiasi dengan Amerika.
Harus diakui masih banyak bekas-bekas kehadiran Al Qaeda dan ISIS di Aghanistan. Namun menurut Sawers, Taliban tidak akan melawan mereka atau menimbulkan reaksi dan kemarahan internasional yang cuma akan menciptakan situasi tidak menguntungkan seperti sebelumnya. Ia percaya bahwa hanya dengan memberi pengakuan kepada Taliban oleh dunia internasional termasuk Amerika Serikat sendiri, Taliban dan Afganistan bisa terhindar dari potensi memainkan peran sebagai tuan rumah gerakan jihad global yang dikawatirkan itu.
Kewaspadaan Perlu
Mantan pemimpin Jemaah Islamiyah (JI) Indonesia Nasir Abbas menganggap kemenangan Taliban perlu diwaspadai di Indonesia karena dapat menimbulkan euforian di kalangan simpatisannya. Euforian ini menurutnya bisa berbuntut pada upaya rekrutmen terhadap kelompok JI. Banyak pihak menganggap kemenangan Taliban identik degan kemenangan Islam. Ia berkaca pada kejadian saat ISIS menyatakan kemenangan di Suria dan kemudian membentuk negara Khilafah.
Simpatisan mereka di Indonesia menyambut kemenangan itu sebagai kemenangan Islam. Mereka mampu menggiring opini itu di dalam masyarakat. Simpatisan JI masih banyak yang tersisa di Indonesia. Mereka memiliki struktur dan strategi baru, termasuk faktor pendanaan gerakan mereka. Menurut banyak pengamat, pengumuman Afghanistan sekarang menjadi Imarah Islamiyah Afghanistan (secara harfiah artinya Keamiran Islam Afghanistan atau Emirat Islam Afghanistan) tidak otomatis berarti mereka sedang mendirikan negara Khilafah.
Sistem Keamiran berbeda dengan sistem khilafah. Dalam sistem keamiran, kekuasaan tertinggi dipegang seorang amir atau “amirul mukninin”, yang dipilih Majlis Syura. Seorang amir yang dipilih juga harus berasal dari Majlis Syura, bukan dari luar atau orang awam. Menurut mantan Wakil kepala BIN KH As’ad Said Ali, yang pernah terlibat dialog dengan delegasi Taliban, sistem Imarah Islam Afganistan’ berbeda dengan khilafah ala ISIS karena tidak menganggap diri sebagai penguasa dunia Islam.
Pengamat Timur Tengah Faisal Asegaf juga menganggap bahwa Taliban tidak memiliki ambisi mendirikan khilafah dunia seperti halnya ISIS yang membuat cabang-cabang milisi di berbagai negara seperti Al Qaedah. Mereka juga berjanji tidak akan mengekspor ideologi negara islam ke negara lainnya. Walaupun demikian, KH As’as Said Ali percaya bahwa kewaspadaan tetap diperlukan karena kemenangan Taliban ini berpotensi digunakan oleh pendukung khilafah untuk menjadi isu politik guna membangkitkan spirit perlawanan mereka di negara-negara muslim.
Potensi Terorisme
Dengan mempertimbangkan peran stategisnys di kawasan itu, Amerika serikat tidak ingin melihat kebangkitan Taliban menjadi sarang perlindungan teroris di waktu dekat. Apalagi saat ini terjadi masa vakum sejak penarikan kekuasaan Amerika sehingga bisa memungkinkan pembukaan dan pengorganisasikan kembali kelompok teroris yang ditakuti selama ini. Selama ini ada sejarah kekerasan yang terjadi di Afganistan dan masih adanya eksistensi Al Qaeda. Antonio Giustozzi penulis Koran, Kalashnikov and Laptop: The Neo-Taliban Insurgency in Afghanistan (2007) menganggap gerakan Taliban sekarang sudah jauh berubah sejak pertama kali dibentuk. Ia sudah menjadi bagian tegral dari gerakan jihadis global. Karennanya, Taliban dapat menggunakan kemenanganya melawan Pemerintah Afghanistan dan pihak Barat sebagai kekuatan utama untuk melipatgandakan upaya merekrut dan meradikalisasi calon-calon Jihadis di seluruh dunia.
Menurut Michele Groppi, tindakan Taliban selama ini memburu mereka yang berkolaborasi dengan barat dan upaya membumihanguskan kebebasan dasar bisa segera menjadi pusat surganya bagi teroris dengan konsekuensi berat bagi pihak barat sendiri. Kelompok-kelompok teroris dikawatirkan akan bermunculan terutama kelompok muda dari daerah-daerah miskin yang merasa terasing dan sekarang terinspirasi kemenangan Taliban untuk merencanakan serangan-serangan. Kemenangan ini akan juga menginspirasi individu-individu di Barat.
Pihak Al Qaida menajdi pihak yang diuntungkan dengan kemunculan Taliban kata ahli terorisme Bruche Hoffman dan Jacob Ware. Apalagi dengan menipisnya sumber countrer terorisme selama ini. Al Qaeda, dengan suntikan dana dan rekrutmen baru akan mampu berdiri kembali di Afghanistan dalam waktu 3 sampai 6 bulan ke depan kata seorang pengamat. Ini karena menurunnya lemampuan intelejen Amerika di Afghanistan sejak absennya pasukan militer dan diplomasi.
Sejak Taliban mencapai tampuk kekuasaannya kembali, situasi di Pakistan menunjukkan perkembangan baru yang meresahkan. Taliban Pakistani melihat kesuksesan di negara tegangganya telah menginspirasi perjuangan mereka di Pakistan. Peter Neumann, Profesor Security Studies dari King’s College London juga menyatakan bahwa kemenangan Taliban atas setan Amerika berpotensi memberikan kepercayaan pada ‘lone actors’ untuk melakukan aksi terorisme secara lokal, sebagai dampak dari kampanye mereka di media sosial. Konten di sosial media dan chat room memang telah menunjukkan bahwa munculnya taliban telah meniup angin harapan baru bagii ‘perahu-perahu’ gerakan jihadis global untuk berlayar kembali.
Menurut Raffaello Pantuccy, analis terorisme dari Rajaratnam School of Internasional Studies Singapore, kemenangan Taliban di Afganistan merupakan puncak dari kesusksesan yang meliputi Afrika maupun Asia. Terdapat naratif-naratif kemenangan yang menyatakan bahwa bila berjuang selama 20 tahun kekuasaan yang mereka dambakan akan berhasil diraih. Pendeknya, perlu dicari jalan keluar terbaik bagaimana mengakomodasikan Taliban untuk menghindari ancaman gerakan pendirian khilafah dan aksi terorisme global yang menjadi ancaman baru sehubungan dengan eksistensi baru Taliban di Afganistan. Hanya dengan kolaborasi antara Taliban secara diam-diam dengan Amerika dan dunia internasional, Al Qaeda dan organisasi-organisasi terorisme yang membahayakan lainnya bisa dihambat dan dikurangi pertumbuhannya. (Isk – dari berbagai sumber)