Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Mei 1998 Picu Polemik, Aktivis Nilai Pengaburan Sejarah

Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Mei 1998 Picu Polemik, Aktivis Nilai Pengaburan Sejarah

Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Mei 1998 Picu Polemik, Aktivis Nilai Pengaburan Sejarah

Jakarta – Menteri Kebudayaan Fadli Zon memicu polemik usai menyatakan bahwa tidak ada bukti kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal, dalam Peristiwa Mei 1998. Dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 9 Juni 2025, Fadli menyebut isu pemerkosaan massal hanya sebatas “rumor” dan tidak tercatat dalam buku-buku sejarah resmi.

Pernyataan tersebut langsung menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis reformasi 1998, pegiat hak asasi manusia (HAM), hingga organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM berat dari ingatan kolektif bangsa.

Dikecam Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Fadli. Dalam pernyataan resminya yang dikutip dari laman KontraS, Senin (16/6/2025), koalisi menyebut pernyataan tersebut sebagai bentuk manipulasi sejarah serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran, khususnya dalam konteks kekerasan seksual terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998.

“Pernyataan ini merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap perjuangan korban dan kelompok yang selama ini mendorong pengakuan negara atas tragedi kemanusiaan tersebut,” tulis Koalisi.

Lebih lanjut, koalisi menilai Fadli gagal menunjukkan empati terhadap para korban. Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli dinilai abai terhadap peran penting sejarah dalam mengakui kekerasan berbasis gender dan etnis, serta dianggap tengah menjalankan proyek penulisan ulang sejarah yang berpotensi meniadakan narasi pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Kekerasan Seksual Terdokumentasi

Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 telah didokumentasikan secara resmi. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, merilis laporan pada 23 Oktober 1998 yang mencatat sedikitnya 85 korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan dan pelecehan. Sebagian besar korban berasal dari perempuan etnis Tionghoa.

Komnas Perempuan, yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 sebagai respons atas tragedi ini, juga mencatat berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dan etnis selama dan setelah peristiwa tersebut.

SETARA Institute: Narasi Ngawur dan Tidak Berempati

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, juga mengecam pernyataan Fadli Zon. Ia menilai pernyataan tersebut tidak hanya menafikan fakta sejarah, tetapi juga menunjukkan kurangnya empati terhadap korban. Menurutnya, Fadli sebagai figur publik yang dikenal pro-Orde Baru, tengah mencoba merevisi sejarah sesuai kepentingan politik.

“Pernyataan itu tidak hanya bertentangan dengan temuan resmi negara melalui TGPF, tetapi juga mencerminkan upaya pembelokan sejarah yang manipulatif dan penuh sensasi,” kata Hendardi.

Desakan untuk Minta Maaf

Koalisi masyarakat sipil mendesak Fadli Zon mencabut pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada para korban serta keluarga korban kekerasan seksual Mei 1998. Hal senada disampaikan sejarawan dan aktivis perempuan Ita Fatia Nadia.

Dalam konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025), Ita menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk pengingkaran terhadap kenyataan yang terjadi. Ia mengaku bersama Tim Relawan Kemanusiaan yang digagas Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sempat kewalahan menangani kasus-kasus pemerkosaan selama kerusuhan terjadi di Jakarta.

“Pernyataan Fadli Zon itu adalah dusta. Kami mengalami langsung beratnya situasi waktu itu,” tegas Ita.

Seruan untuk Menjaga Sejarah

Koalisi mendesak agar sejarah nasional tetap memuat kisah para korban sebagai bagian penting dari perjalanan demokrasi Indonesia. Mereka menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas korban untuk terus mengawal narasi sejarah agar tidak dipelintir atau dihapus dari memori kolektif bangsa.

“Kami menyerukan agar narasi sejarah Indonesia tidak jatuh pada revisi yang menyesatkan dan ahistoris,” tegas Koalisi.

Exit mobile version