Kumparan.com – Belajar di tengah pandemi bukanlah situasi yang nyaman untuk beberapa anak. Kondisi ekonomi yang tak mumpuni sering kali menjadi beban tersendiri untuk pelajar daring masa kini. Saat hari beranjak senja, cobalah lewat perempatan Jalan Prof. Dr. Moestopo Surabaya. Di sana selalu ada anak-anak yang menjajakan koran hingga malam hari.
Anak-anak ini masih berstatus pelajar. Bahkan mereka sengaja ikut menjual koran supaya bisa membeli paket internet untuk pembelajaran jarak jauh.
Adalah Sulis Wulandari, Titania Asahro, dan Eliana Purnamasari, tiga dari beberapa anak penjaja koran yang ditemui Basra pada Senin sore 4 Agustus 2020.
Sulis Wulandari atau Wulan adalah pelajar kelas 10 di SMK Dr. Soetomo Surabaya. Sedangkan Titania Asahro atau Nia adalah pelajar kelas 5 MI Darussalam Tambak Madu. Ada juga Eliana, remaja kelas 9 di SMP Diponegoro Surabaya.
Mereka bertiga harus ikut ‘jungkir balik’ membagi waktu agar bisa belajar dan membantu keuangan keluarga.
Saat pagi Wulan, Nia, dan Eliana mengikuti sekolah online, malamnya mereka menjual koran.
Perjuangan Eliana untuk bisa belajar online sungguh diuji. Meski dia anak semata wayang di keluarganya, tapi hidupnya jauh dari kata nyaman. Eliana tinggal di rumah kos sederhana bertarif Rp 250 ribu bersama ibu dan ayahnya. Ibu Eliana juga berjualan koran, sedangkan ayahnya terbaring lumpuh tanpa obat-obatan yang semestinya.
Setiap hari, ayah Eliana hanya diberi obat tidur (CTM) karena Eliana dan ibunya tak sanggup menebus resep obat. “Mau gimana lagi? Hasil jualan koran cuma cukup buat sehari-hari, sama beli obat tidur buat bapak,” kata Eliana pada Basra, (4/8).
Bagi Eliana, pembelajaran jarak jauh cukup menyulitkan baginya. Ponsel satu-satunya yang dia miliki rusak hingga membuatnya harus nebeng di rumah teman. “Enggak mungkin beli HP, karena enggak cukup uangnya,” kata Eliana.
Pendapatan dari berjualan koran juga tak selalu menguntungkan. Eliana mengaku, 20-30 koran pagi yang dia jual malam lebih sering tak laku saat dijajakan.
“Kadang malah nomboki (mengganti) koran yang enggak laku. Karena ada koran yang bisa dikembalikan ke agen, ada yang tidak bisa. Koran-koran yang tidak bisa dikembalikan ini terpaksa dijual ke pasar loak,” kata Eliana yang mengambil untung Rp 500 – Rp 1.500 per koran.
Selain Eliana, kakak beradik Wulan dan Nia juga merasa kesulitan saat pembelajaran online.
Eliana dan Wulan masih punya 2 saudara lain yang juga sama-sama menjalani belajar online. Bahkan ponsel bekas yang mereka pakai untuk belajar didapat dari donasi salah satu komunitas di Surabaya.
“Saya ini repot kalau mereka tanya soal pelajaran ke saya, lha wong saya sendiri nggak sekolah. Niat saya menyekolahkan anak-anak saya ini kan biar mereka diajari sama gurunya, biar nggak bodoh seperti saya,” kata Yulika, ibu dari Wulan dan Nia.
Yulika juga bekerja sebagai penjaja koran, sang suami baru saja di-PHK. Dia bekerja setiap pagi sampai sore hari. Saat sore, dua anaknya akan menggantikannya dan setelah itu dia kembali mengurus rumah tangga.
Selama pembelajaran jarak jauh ini, Yulika mengaku setiap minggu dirinya membeli paket data unlimited sebesar Rp 22 ribu.
Menjadi anak-anak penjaja koran bukan tanpa tantangan. Bila ada razia dari petugas Satpol PP, anak-anak ini bisa diamankan. Kalau sudah begitu, Yulika akan beradu argumen untuk melindungi anak-anaknya.
“Kalau enggak bisa ngasih solusi, biarkan saya dan anak-anak saya jualan di jalan. Ini juga karena mereka yang mau bantu, bukan karena saya suruh. Kalau cuma saya aja yang kerja ya enggak cukup,” kata Yulika.