Jakarta – Anggota Ombudsman Bidang Kemaritiman dan Investigasi, Hery Susanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi mandiri terkait kasus pagar laut ilegal di perairan Tangerang, Banten. Meski demikian, Hery menyatakan belum bisa membeberkan seluruh temuan karena kasus tersebut masih dalam tahap penanganan.
“Tidak tanggung-tanggung sih yang terlibat di dalam kasus ini. Nantilah ada topik yang berikutnya,” ujar Hery dalam konferensi pers proyeksi 2025 yang digelar di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Dugaan Kasus Sistemik
Hery menegaskan bahwa kasus pagar laut ini bukanlah kasus biasa. Ia menggambarkan tindakan para pelaku seperti “pagar makan tanaman,” yang kini meluas menjadi konflik dengan nelayan dan ekosistem laut.
“Dulu pagar makan tanaman, masuk hutan, sampai konflik dengan satwa seperti harimau, gajah, dan babi. Sekarang konflik dengan nelayan, ikan, dan kepiting. Luas perairan kita semakin terancam,” katanya.
Hery juga menyebut pola yang sama ditemukan di wilayah lain, termasuk Bekasi dan beberapa lokasi di seluruh Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke. Kasus-kasus tersebut terkait dengan berbagai peruntukan, seperti bisnis wisata, tambang, pelabuhan, dan perkebunan.
“Polanya tersistem. Tidak hanya di Jawa, tapi dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai peruntukan, baik untuk permukiman, bisnis wisata, hingga tambang dan perkebunan,” ungkapnya.
Pemagaran Laut Tanpa Izin
Dalam investigasinya, Hery menemukan bahwa pemagaran laut tersebut dilakukan tanpa izin resmi, termasuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Saat ini, pihaknya menunggu langkah lebih lanjut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) setelah penyegelan bilah-bilah bambu yang digunakan untuk memagari laut.
Selain itu, Hery juga menyoroti persoalan penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Surat Hak Milik (SHM) di wilayah perairan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menurutnya, penerbitan HGB dan SHM di laut merupakan bentuk pelanggaran karena tidak sesuai aturan.
Ego Sektoral dan Kolaborasi yang Lemah
Hery menilai bahwa lemahnya kerja sama antarinstansi dan adanya ego sektoral menjadi salah satu penyebab utama masalah ini. Ia mencontohkan perbedaan pendekatan antara ATR/BPN dan Kementerian KKP.
“Misalnya ATR/BPN menganggap wilayah yang dulunya darat namun berubah menjadi laut akibat abrasi tetap bisa diterbitkan HGB atau SHM. Sementara KKP punya kebijakan untuk menjaga kelautan dan perikanan nasional,” jelasnya.
Hery juga menyoroti bahwa pemberian SHM seluas 30 hektare di wilayah laut merupakan pelanggaran besar. “Jika untuk perusahaan, seharusnya cukup menggunakan Sertifikat Hak Guna Bangunan atau Sertifikat Hak Guna Usaha, bukan SHM,” tegasnya.
Harapan Penyelesaian
Melalui investigasi ini, Ombudsman berharap instansi terkait, termasuk KKP dan ATR/BPN, dapat segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan kasus pagar laut ilegal ini. “Kami mendorong pemerintah untuk memperbaiki tata kelola wilayah perairan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang merugikan masyarakat dan ekosistem laut,” tutup Hery.
Baca Juga : Patrick Kluivert Pelatih Timnas Indonesia: Siapa Dia?